Razia Massal Pekerja Migran Ilegal, 300 TKI di Malaysia Ditahan

Pasca-razia massal tenaga kerja asing ilegal, 300 TKI tanpa izin di Malaysia ditahan keimigrasian setempat.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Jul 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2017, 19:00 WIB
(dari kiri ke kanan) Sestama BNP2TKI Hermono, Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal, dan Direktur Asia Tenggara Kemlu RI Denny Abdi (Liputan6.com/Rizki Akbar Hasan)
(dari kiri ke kanan) Sestama BNP2TKI Hermono, Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal, dan Direktur Asia Tenggara Kemlu RI Denny Abdi (Liputan6.com/Rizki Akbar Hasan)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan sejak Malaysia melakukan operasi razia tenaga kerja asing ilegal secara massal pada 1 hingga 10 Juli lalu, sekitar 3.014 individu terjaring oleh Dinas Keimigrasian Negeri Jiran. Dari para individu yang telah ditahan, ratusan di antaranya merupakan Tenaga Kerja Indonesia yang berstatus Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI).

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengonfirmasikan hal tersebut dan menjelaskan, bahwa otoritas setempat telah menjaring 695 warga negara Indonesia yang berstatus TKI tanpa izin, dan 300 di antaranya kini berstatus tahanan Dinas Keimigrasian Malaysia.

"Sejak Malaysia menggencarkan razia tersebut periode 1 hingga 10 Juli, sekitar 695 WNI yang berstatus sebagai TKI PATI telah terjaring dalam operasi otoritas setempat. Dan 300 di antaranya ditahan oleh keimigrasian," jelas Lalu Muhammad Iqbal, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kemlu RI, di Jakarta, Jumat (14/7/2017).

Ke-300 TKI tanpa izin tersebut kini ditahan di pusat detensi imigrasi Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Dan seluruhnya, menurut keterangan pria yang karib disapa Lalu Iqbal, dalam kondisi yang baik.

"Tim perlindungan WNI dari Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur telah berkunjung ke depo detensi imigrasi Bukit Jalil kemarin. Di sana, tim memastikan bahwa dari 300 WNI yang berstatus Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI), telah ditahan oleh dinas keimigrasian setempat. Dan mereka dalam kondisi yang baik," tambahnya.

Para WNI yang ditahan di depo detensi Bukit Jalil merupakan TKI PATI yang tidak mendaftar dalam mekanisme Re-Hiring dan tidak memiliki kartu E-Kad (Enforcement Card atau pas status legal sementara). Tenaga kerja asing yang tidak memenuhi kedua persyaratan tersebut, merupakan target razia dinas keimigrasian Negeri Jiran.

Polemik TKI, Re-Hiring, dan E-Kad

Re-hiring merupakan kebijakan yang diterapkan pemerintah Malaysia guna membuka kesempatan kepada tenaga kerja ilegal, agar mampu memiliki izin bekerja yang sah. Sasaran kebijakan itu ditujukan kepada para pekerja asing di Malaysia yang masa izinnya telah habis atau tidak memiliki dokumen legal.

Setelah mendaftar dalam program Re-hiring, para tenaga kerja asing mendapat kartu E-Kad. Kartu itu merupakan pas sementara bagi pekerja asing yang belum memiliki dokumen izin bekerja.

E-Kad berfungsi untuk membantu proses Re-Hiring dan sebagai pas sementara pekerja asing tak berdokumen, agar tetap dapat bekerja sambil mengurus dokumen ketenagakerjaan secara resmi.

Menurut Kemlu, program Re-hiring pada tahun ini dimulai pada Februari hingga Desember 2017. Sementara itu, proses pembuatan E-Kad dimulai pada Februari 2017 dan telah berakhir pada 30 Juni 2017.

Kemlu menjelaskan, ke-300 TKI PATI yang telah ditahan dapat memilih dua pilihan. Pertama, mereka mampu mengikuti program deportasi sukarela (VD) dengan membayar uang denda dan administrasi kepada dinas keimigrasian sebesar 800 Ringgit Malaysia.

Jika opsi tersebut dipilih, para TKI PATI akan dapat dideportasi tanpa harus menjalani hukuman penjara.

Opsi kedua, jika para TKI PATI tidak mampu membayar untuk mengikuti program VD, mau tidak-mau, mereka harus menjalani mekanisme deportasi reguler dan terancam hukuman penjara, sesuai dengan ketentuan pidana keimigrasian yang berlaku di Negeri Jiran.

Diprediksi, untuk beberapa waktu ke depan, angka TKI PATI yang terjaring operasi razia keimigrasian di Negeri Jiran terkait degan program Re-Hiring dan E-Kad, akan terus bertambah. Hal ini disebabkan karena masih banyak TKI ilegal di Malaysia yang masih belum mendaftar kebijakan tersebut.

Ditambah lagi, saat ini, menurut data spekulatif pemerintah Indonesia dan Malaysia, TKI PATI di Negeri Jiran berjumlah berkisar 1,25 juta jiwa. Dan berdasarkan penghitungan dari BNP2TKI dan Kemlu RI, hanya 35.590 TKI yang telah mendaftar dalam program Re-hiring dan mendapatkan kartu E-Kad.

"Angkanya masih kecil. Namun di sisi positifnya, jumlah itu mengalami kenaikan sekitar 22 persen dari data tahun lalu," jelas Sekretaris Utama (Sestama) BNP2TKI, Hermono, di Jakarta.

Hermono menambahkan, penyebab rendahnya angka TKI PATI yang tidak mendaftar program Re-Hiring dan E-Kad dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

"Pertama, majikan di Malaysia tidak proaktif untuk mendaftarkan tenaga kerja asingnya, termasuk yang dari Indonesia, untuk mendaftar kedua program tersebut," jelas sang Sestama.

Kedua, menurut Hermono, kedua program tersebut memiliki persyaratan yang sangat ketat. Misalnya, TKI PATI yang masuk ke Malaysia melalui 'jalur tikus' atau yang tidak terdaftar dalam keimigrasian Syahbandar, tidak dibolehkan untuk mendaftar.

"TKI PATI yang berganti-ganti majikan, mereka yang melarikan diri dari tempat kerjanya, serta mereka yang masuk ke Malaysia setelah September 2016, juga tidak boleh mendaftar Re-hiring dan E-Kad," tambahnya.

Ketiga dan yang terpenting, sejumlah polemik yang bersifat sangat mengakar. Seperti tidak adanya dasar hukum yang mengikat kedua negara mengenai penempatan tenaga kerja asing, polemik kualitas tenaga kerja Indonesia, serta minimnya dialog bilateral antara Kuala Lumpur dan Jakarta untuk membahas isu pekerja migran secara lebih holistik.

Pada kesempatan yang sama, Direktorat Asia Tenggara Kemlu RI menilai bahwa gagasan untuk melaksanakan dialog holistik antara Indonesia - Malaysia dianggap mampu mengatasi isu pekerja migran secara lebih komprehensif.

"Kita memang harus menanamkan perspektif hubungan bilateral yang layak bagi kedua negara untuk isu tersebut. Dari dulu, seakan-akan isu pekerja migran hanya urusan Indonesia, mengingat banyak warga negara kita yang membutuhkan lapangan pekerjaan di sana. Sekarang kita harus mengubah pandangan itu, layaknya mekanisme supply and demand. Jadi tidak hanya Indonesia, Malaysia juga harus memperhatikan isu tersebut secara seksama, melalui pembahasan-pembahasan," jelas Direktur Asia Tenggara Kemlu RI, Denny Abdi.

"Dan di sisi lain, Indonesia juga harus banyak melakukan pekerjaan rumah, seperti meningkatkan skill tenaga kerja, serta mendorong para pekerja migran kita lebih banyak memasuki sektor lapangan pekerjaan formal," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya