Hadapi Ancaman Rudal Korut, AS Berencana 'Melangkahi' DK PBB?

AS mengatakan bahwa mereka berencana untuk tidak akan memanfaatkan mekanisme Dewan Keamanan PBB untuk merespons isu rudal Korut.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 31 Jul 2017, 13:46 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2017, 13:46 WIB
Kim Jong-un
Peluncuran rudal balistik antarbenua Hwasong-14, ICBM, di barat laut Korea Utara, 4 Juli 2017. Peluncuran rudal balistik ini merupakan gerakan menantang Washington secara militer. (KRT via AP Video)

Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka berencana untuk tidak akan memanfaatkan mekanisme Dewan Keamanan PBB untuk membahas atau merespons segala hal terkait isu rudal Korea Utara. Mekanisme itu, menurut AS, hanya akan menghasilkan produk kebijakan 'tanpa konsekuensi'.

Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley, dalam sebuah rilis resmi menjelaskan, alur pembahasan dan respons melalui mekanisme DK PBB --yang dinilai tidak efektif oleh AS-- justru hanya akan menimbulkan kesan pada Korea Utara bahwa komunitas internasional nampak tidak serius untuk menangani situasi di Semenanjung. Demikian seperti yang dilansir dari BBC, Senin (31/7/2017).

Nikki Haley juga menyatakan, Korut telah menjadi sasaran sejumlah resolusi DK PBB selama beberapa periode terakhir. Namun, menurut sang dubes, resolusi itu kerap dilanggar oleh Pyongyang dan mereka selalu terbebas dari sanksi atas pelanggaran itu.

"Menambah resolusi DK PBB namun tidak secara signifikan meningkatkan tekanan internasional terhadap Korea Utara, sama saja tidak berguna," jelas Nikki Haley.

"Bahkan, hal itu justru lebih buruk, karena seakan memberikan kesan kepada Korut bahwa komunitas internasional tidak serius menangani mereka," tambahnya.

Pada rilis yang sama, Haley juga mendesak agar China mampu berkontibrusi lebih untuk menekan Korea Utara. Ia mengatakan, "Tiongkok harus segera berkomitmen untuk mengambil langkah vital. Sudah bukan saatnya lagi melakukan dialog."

Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengkritik pemerintahan China yang dinilai pasif terkait isu Korea Utara. Melalui Twitter, Presiden Trump mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintahan Komunis China yang dianggap tidak melakukan apa pun guna menghentikan program rudal dan misil Korea Utara.

Pernyataan AS itu datang selang beberapa hari setelah Korea Utara dilaporkan kembali melakukan uji coba Intercontinental ballistic missile atau rudal balistik antarbenua (ICBM) pada Jumat petang, 28 Juli lalu.

"Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengatakan tes tersebut membuktikan bahwa seluruh AS berada dalam jangkauan rudal," demikian diberitakan media pemerintah Pyongyang, seperti dikutip dari BBC, Sabtu 29 Juli 2017.

Mengonfirmasi peluncuran tersebut, pihak Korut mengatakan bahwa ICBM terbang selama lebih dari 47 menit, mencapai ketinggian 3.724 km (2.300 mil), dan jatuh di utara Laut Jepang. Pemberitaan tersebut juga menyatakan bahwa roket yang digunakan adalah Hwasong-14, model sama yang diuji Korea Utara pada 3 Juli lalu.

Uji coba teranyar itu menandai kali kedua Korut melakukan tes rudal jarak jauh dalam kurun waktu kurang dari 30 hari.

Merespons hal itu, AS dan Korea Selatan dilaporkan melakukan unjuk gigi dengan melakukan uji coba peluncuran sistem misil taktis US Army’s Tactical Missile System (ATACMS) dan Hyunmoo Missile II milik Korsel. Tes gabungan itu ditujukan untuk 'melatih aset guna membalas misil Korea Utara', jelas pernyataan bersama dari AS - Korsel.

Proyektil misil taktis itu dikabarkan jatuh di kawasan yang sama dengan rudal Hwasong-14 Korut yang di-uji coba-kan pada Jumat 28 Juli lalu.

Sementara itu, pada Sabtu 29 Juli, Amerika Serikat dilaporkan mengirim 2 pesawat bomber jenis Rockwell B-1 Lancer ke Semenanjung Korea. Dua pesawat B-1 itu lepas landas dari Andersen Air Force Base di Guam, Jepang, melintasi wilayah udara Negeri Sakura, kemudian menuju Korea Selatan. Di Jepang, kedua pesawat bomber itu turut dikawal oleh dua jet tempur Japan Air Self Defense Force.

Mereka kemudian terbang melintasi Semenanjung Korea dan di atas Osan Air Base, Korea Selatan, yang hanya berjarak sekitar 244 km dari Pyongyang, Korea Utara.

Operasi aviasi itu berlangsung sekitar 10 jam. Selama periode tersebut, keempat pesawat melakukan simulasi terbang dalam formasi dan latihan pencegatan.

Negeri Ginseng juga dilaporkan tengah merencanakan untuk memproduksi misil miliknya sendiri, sebagai salah satu upaya untuk menghadapi ancaman dari Utara.

Saksikan juga video berikut ini

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya