Menlu Bishop: Australia Berkomitmen Atasi Perbudakan Modern

Pada Bali Process Government and Business Forum, Menlu Australia Julie Bishop berkomitmen memberangus perbudakan modern.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Agu 2017, 17:52 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2017, 17:52 WIB
Menlu Australia Berkomitmen Atasi Perbudakan Modern
Menlu Australia Berkomitmen Atasi Perbudakan Modern (Akun Twitter Julie Bishop)

Liputan6.com, Perth - Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, menjadi salah satu figur penting dalam Bali Process Government and Business Forum yang dilaksanakan di Perth, Australia, Jumat (25/8/2017).

Perhelatan itu merupakan ajang pertemuan tokoh setingkat menteri sejumlah negara dan pelaku bisnis dari kawasan Asia-Pasifik serta perwakilan PBB, yang secara umum membahas berbagai spektrum isu perbudakan modern.

"Hari ini saya menjadi ketua bersama dari sektor pemerintah (Government Co-Chairs) dalam pertemuan Bali Process Government and Business Forum bersama dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi," ujar Menlu Australia Julie Bishop.

Bishop melanjutkan, para menteri dan pemimpin bisnis dari 48 anggota Bali Process bertemu untuk mengembangkan strategi inovatif memerangi perbudakan modern, perdagangan manusia, kerja paksa, serta mencegah eksploitasi pekerja migran dan karyawan rentan.

Andrew Forrest (Chairman Fortescue Metals Group dari Australia) dan Eddy Sariaatmadja (Chairman Emtek Group dari Indonesia) menjadi ketua bersama mewakili sektor bisnis (Business Co-Chairs).

"Forum yang dilaksanakan di Perth ini, untuk pertama kalinya, mempertemukan pemerintah dan sektor swasta guna menangani kejahatan itu secara komprehensif. Kerja sama semacam ini dianggap penting, guna menemukan solusi praktis untuk menghadapi akar perbudakan modern dan perdagangan manusia," ucap Bishop.

Saksikan video komentar Menlu Australia Julie Bishop terkait Bali Process Government and Business Forum berikut ini

Menurut data Kemlu Australia, dari puluhan juta orang di seluruh dunia yang menjadi sasaran perdagangan manusia atau kerja paksa, lebih dari setengahnya berada di wilayah Indo-Pasifik, termasuk di antaranya adalah Tanah Air dan Negeri Kanguru.

Meski begitu, dalam pertemuan itu Bishop tidak menyebut jangka waktu pasti kapan Australia akan memproduksi Undang-Undang Anti-Perbudakan Modern. Demikian seperti dilansir The Guardian, Jumat (25/8/2017).

"Jangka waktunya adalah sesegera mungkin, tapi kami masih memerlukan konsultasi lebih lanjut. Saya tidak akan menetapkan tanggal spesifik," ujar Menlu Australia itu dalam konferensi pers pasca-forum.

"Rancangan kerja telah terbentuk sebelum forum ini terlaksana. Dan forum ini jadi bukti komitmen kami akan hal itu," ia menjelaskan.

 

Bali Process Government and Business Forum

Hari ini, Jumat, 25 Agustus 2017, perwakilan pemerintah dan pelaku usaha dari sejumlah negara berkumpul bersama di Perth, Australia. Tujuannya, untuk menemukan langkah bersama memberantas perbudakan modern.

"Kita berkumpul di sini untuk mengangani tantangan endemik, pelecehan, dan eksploitasi kejam terhadap manusia," kata Co-Chair Bali Process Government and Business Forum dari sektor swasta dan bisnis, Eddy Sariaatmadja, di Goverment House, Perth Australia.

Founder and Chairman Emtek Group itu menambahkan, ada berbagai istilah yang lekat dengan perbudakan modern. Salah satunya adalah perdagangan manusia (human trafficking).

"Namun, jargon-jargon tersebut menunjukkan hal yang sama, mengacu pada eksploitasi, penindasan, ketidakadilan. Juga terkait para korban yang tak berdaya dan penyerangan terhadap martabat manusia," kata dia.

Eddy menambahkan, kita semua tak bisa mengabaikan permasalahan tersebut.

"Permasalahan itu memengaruhi kehidupan nyata manusia, sekitar 45 juta orang di seluruh dunia. Jumlah itu nyaris dua kali jumlah penduduk Australia," ia menjelaskan.

"Dan sering kali, mereka dikaburkan dari mata publik, mungkin karena media juga sibuk memantau tweet Presiden Trump," ujar Eddy.

Bos Emtek Group itu menambahkan, selama beberapa dekade, permasalahan perbudakan modern telah ada dan berkembang. Namun sayangnya, hal itu tak disadari banyak orang di dunia.

"Mungkin karena dunia bisnis menganggap itu praktik yang bisa diterima. Atau karena tidak ada yang berbicara atas nama korban," ucap dia.

Ada banyak lagi faktor yang lain yang membuat persoalan serius itu tidak muncul ke permukaan. Tak ketinggalan, hanya ada sedikit kemauan politik (political will) untuk mengatasinya.

"Arti penting dari pertemuan kita saat ini tak hanya untuk mengidentifikasi tantangannya, melainkan bertekad untuk memberantasnya," kata sang pebisnis.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya