Kecerdasan Buatan Bantu Menguak Taktik ISIS di Masa Depan

Para peneliti Amerika Serikat (AS) melaporkan penggunaan algoritma AI yang dipakai untuk memprediksi ancaman masa depan oleh ISIS.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 08 Sep 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2017, 11:30 WIB
Drone militer AS
Bahayanya, perang cyber mungkin saja memanfaatkan drone militer dengan cara diretas dan mengancam kita sendiri

Liputan6.com, Jakarta - Konon di masa depan, dalam kisah-kisah fiksi ilmiah, ada robot-robot yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Mereka punya peran penting dalam menjaga perdamaian dunia, atau sebaliknya, bisa ditugaskan untuk  maju berperang.

Ternyata, penggunaan AI dalam pertempuran sudah dilakukan sejak sekarang. Baru-baru ini para peneliti Amerika Serikat (AS) melaporkan penggunaan algoritma AI yang dipakai untuk memprediksi ancaman masa depan ISIS di masa depan.

Menurut para ilmuwan di Arizona State University, mereka mampu menggunakan AI untuk lebih memahmi strategi militer ISIS.

Dikutip dari silicon.co.uk pada Kamis (7/9/2017), penggunaan algoritma AI untuk mempelajari pola dan perilaku kelompok ISIS dapat "sangat" membantu pihak militer dan para pembuat kebijakan AS.

Sebenarnya, dalam penugasan drone pemburu-pembunuh (hunter-killer drone), pihak AS dan sekutunya sekarang ini pun sudah menggunakan analisis pola-kehidupan (pattern-of-life) untuk menentukan tingkat ancaman sasaran potensial.

 

 

Analisis Perilaku

Sejumlah pakar robot yang dilengkapi kecerdasan buatan (artificial intelligence) mengajukan petisi kepada PBB.

Namun demikian, peningkatan dari analisis perilaku menuju ke tingkatan AI dapat membantu pihak militer yang sedang melawan ISIS untuk lebih siap menghadapi insiden semisal serangan-serangan, bom-bom bunuh diri, dan serangan-serangan udara.

Salah satu bentuk ancaman yang dianalisa dalam penelitian yang bertajuk "Mining for Causal Relationships: A Data-Driven Study of the Islamic State" itu adalah perangkat ledak yang ditingkatkan kemampuannya (improvised explosive device, IED).

Algoritma yang dipakai oleh AI akan mencari pola lonjakan kejadian IED dan kemudian menentukan lokasi serta frekuensi insiden di masa depan.

Menurut makalah penelitian itu, "Insiden IED menjadi taktik yang lazim dipakai oleh para pemberontak selama Operasi Iraqi Freedom yang dipimpin AS."

"Walaupun IED merupakan bagian kecil dari sistem persenjataan yang biasanya dipakai sel-sel pemberontak lokal, adanya lonjakan kegiatan itu menjadi terasa juga."

Lonjakan terjadi serangan IED bisa menandakan dua hal. Misalnya, lonjakan jumlah insiden IED bisa menandakan adanya aksi yang digagas di komando tingkat strategis, tapi kemudian dilaksanakan di tingkat kota.

Atau, lonjakan jumlah insiden IED bisa juga menandakan adanya perbaikan logistik yang memasok sel-sel lokal dengan amunisi yang cukup untuk melakukan operasi serangan dalam jumlah besar.

"Di masa depan, kami mencoba memperluas tugas ini dalam beberapa cara. Kami juga berupaya memanfaatkan variabel-variabel tambahan lainnya tentang lingkungan, termasuk data cuaca, informasi (termasuk operasi media sosial), dan situasi politik agar bisa menemukan kaitan-kaitan yang menarik."

Bisa Memicu Perang Dunia III

Elon Musk (AFP)

Walaupun AI belum terlibat sepenuhnya, sudah ada kecaman dari para ilmuwan dan pemikir terkemuka terhadap pemerintah dan pihak militer yang merencanakan menyerahkan sistem persenjataan kepada AI.

Surat terbuka dari Future of Life Institute menyerukan larangan senjata otonom mematikan yang melebihi kendali manusia, misalnya drone AI. Larangan itu demi menyelamatkan manusia dari perlombaan senjata AI.

Surat itu ditandatangani oleh Stephen Hawking, Elon Musk (pendiri PayPal dan Tesla), dan salah satu pendiri Apple, Steve Wozniak.

Surat itu menyerukan agar pemerintah-pemerintah merenungkan dampak membahayakan drone dan robot yang dikendalikan AI sepenuhnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya