Indonesia Harus Akhiri Status 'Penyumbang Sampah Plastik' Dunia

Sejumlah upaya dilakukan Indonesia untuk mencoba mengurangi limbah plastik. Cara seperti apa yang sebenarnya efektif?

oleh Citra Dewi diperbarui 08 Sep 2017, 10:33 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2017, 10:33 WIB
Ilustrasi limbah plastik
Ilustrasi (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Brantas, Bengawan Solo, Serayu, dan Progo termasuk dalam 20 sungai terkotor di dunia. Hal itu menjadikan Indonesia pengotor laut dari sampah plastik terbesar kedua di dunia sesudah China.

Berdasarkan artikel ilmiah di Nature, sekitar 1,15 hingga 1,41 juta ton limbah plastik dari sungai mencemari lautan tiap tahun. Dari jumlah tersebut Indonesia diperkirakan menyumbang sekitar 200.000 ton plastik.

Dalam tulisannya, Thomas Wright dan Dr Sarah Waddell, menyebut bahwa limbah plastik itu dapat mengganggu bahkan membunuh binatang laut. Makhluk-makhluk tersebut dapat mati kelaparan sesudah memakan limbah plastik, di mana partikelnya tak dapat diserap tubuhnya.

Selain itu, plastik yang mulai terurai mengeluarkan zat kimia berbahaya dan mencemari laut. Hal itu menyebabkan risiko kesehatan terhadap binatang-binatang dan juga dapat memasuki rantai makanan -- dan bisa berakhir di makanan yang kita santap.

Sadar akan bahaya itu, sejumlah upaya pun telah dilakukan untuk mengurangi limbah, salah satunya dengan membatasi penggunaan plastik.

Dikutip dari The Conversation, Kamis (7/9/2017), pada Februari 2016 Pemerintah Indonesia mencoba mengurangi penggunaan plastik melalui program kantong plastik berbayar seharga Rp 200. Namun belum genap setahun, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memutuskan menghentikan program dengan alasan ketiadaan payung hukum untuk pelaksanaan di lapangan.

Selain itu, pengelolaan sampah darat yang lebih baik diperlukan. Pasalnya, menurut penelitian yang dipublikasikan Nature, menunjukkan bahwa sumber limbah dari daratan dianggap menjadi sumber utama limbah plastik laut.

Dalam Konferensi Kelautan PBB yang pertama pada Juni 2017, Indonesia berkomitmen mengurangi 70 persen sampah plastik pada 2025. Ini adalah Konferensi PBB pertama di dunia dengan fokus sumber daya laut yang berkelanjutan.

Namun beberapa pemerhati lingkungan dan cendekiawan meragukan efektivitas pemerintahan saat ini dalam mencapai perubahan. Sejauh ini dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah tidak terdapat rujukan khusus mengenai limbah plastik.

Aturan Ketat dan Tegas Diperlukan

Aturan yang lebih ketat dapat membatasi penggunaan plastik, menetapkan standar untuk mengurangi limbah dalam proses pengemasan, dan mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab terhadap pembuangan limbah. Aturan yang lebih ketat juga dapat mengatur kewajiban-kewajiban mengenai penggunaan ulang, daur ulang, dan pembuangan.

Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah menyatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memegang tanggung jawab bersama atas sampah. Namun undang-undang tersebut tidak menjelaskan siapa melakukan apa.

Pemerintah pusat memiliki kekuasaan untuk menetapkan strategi dan kebijakan nasional. Pemerintah pusat adalah tingkat pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk menetapkan 'norma, standar, prosedur, dan kriteria'.

Pemerintah pusat juga berwenang untuk menciptakan insentif dan disinsentif untuk mengurangi sampah. Namun, tidak jelas apakah pemerintah daerah dapat melakukan hal yang sama.

Pada Desember 2014, Gubernur Bali mengumumkan pulau tersebut akan bebas plastik pada 2018. Namun tindak lanjut inisiatif ini berjalan lambat. Penyebabnya sebagian karena ada kebingungan level pemerintahan mana yang harus bergerak terlebih dahulu.

Pemerintah Indonesia saat ini sedang menyusun sebuah program manajemen limbah dari darat dalam kurun waktu empat tahun. Dana hingga Rp 13,3 triliun (atau US$1 miliar) disebut-sebut disiapkan untuk mengurangi limbah plastik.

Selain upaya dari pemerintah, LSM, dan organisasi publik dan komersial, masyarakat juga harus sadar akan bahaya sampah plastik yang dikelola dengan buruk.

Namun itu tidak cukup untuk benar-benar mengurangi ketergantungan pada penggunaan plastik sekali pakai.

Untuk memenangi perang terhadap limbah plastik, pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat kerangka hukum.

Perlu ada definisi-definisi yang bisa dipakai secara nasional untuk membedakan berbagai jenis plastik. Selain itu, diperlukan juga kejelasan mengenai tanggung jawab di setiap tingkat pemerintahan dan pembuatan norma-norma baru, standar, prosedur, dan kriteria.

Pemerintah harus melakukan pendekatan multilevel yang melibatkan komunitas yang terdampak, yakni mereka yang merasakan dampak dari limbah plastik dalam keadaan genting dan membutuhkan penanganan cepat.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya