Liputan6.com, Pyongyang - Kelompok pengawas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuduh Korea Utara melakukan kekerasan terhadap anak-anak, termasuk penyiksaan dalam tahanan, hukuman fisik di sekolah, dan kerja paksa.
Korea Utara adalah satu dari delapan negara yang diperiksa komisi PBB yang memantau pelaksanaan Konvensi Hak Anak-Anak.
Dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (6/10/2017), di antara hal yang banyak dicemaskan, komite PBB yang beranggota 18 orang menyatakan bahwa tidak ada ketentuan hukum di Korea Utara yang menjamin anak-anak bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam lain, atau perlakuan yang merendahkan atau hukuman.
Advertisement
Baca Juga
Pakar mengatakan, anak-anak yang paling berisiko adalah mereka yang telah meninggalkan negara tanpa izin resmi dan dipaksa untuk kembali. Seperti anak-anak jalanan, dan mereka yang berada dalam tahanan dan kamp-kamp tahanan.
Anggota Komite, Kirsten Sandberg, mengatakan, hukum di Korea Utara tidak melarang pekerja anak di bawah umur. Ia mengatakan bahwa anak-anak sering dipaksa melakukan pekerjaan berbahaya, yang mampu menghambat dan mengancam perkembangan fisik serta mental mereka.
"Anak-anak di Korut menghabiskan banyak waktu untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan. Mulai dari bekerja di sektor pertanian hingga proyek bangunan," ujar Sandberg.
"Belum lagi bagi mereka yang juga bersekolah, harus membagi waktu antara bekerja dan belajar," ujar Sandberg.
Komite itu gusar ketika melihat banyaknya anak-anak yang ditempatkan di lembaga-lembaga pekerjaan sejak lahir hingga berumur 16 tahun.
Tindakan lain yang meresahkan adalah pendaftaran anak-anak usia 16 hingga 17 tahun ke dalam brigade pemuda gaya militer selama 10 tahun, di mana mereka dipaksa bekerja keras berjam-jam.
2014 Adalah Tahun Tersuram bagi Anak-Anak Sedunia
Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, menyatakan 2014 sebagai tahun kehancuran bagi anak-anak dengan 15 juta anak yang terjebak dalam konflik di Republik Afrika Tengah, Irak, Sudan Selatan, Suriah, Ukraina, dan wilayah Palestina.
Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake mengatakan, tingginya jumlah krisis menyebabkan banyak di antara mereka segera dilupakan atau tidak menjadi berita utama dunia, seperti mereka yang ada di Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Pakistan, Somalia, Sudan dan Yaman.
Secara global, UNICEF mengatakan sekitar 230 juta anak tinggal di negara dan wilayah yang terkena dampak konflik bersenjata.
"Anak-anak tewas saat belajar di dalam kelas dan saat tidur di tempat tidur mereka; mereka menjadi yatim piatu, diculik, disiksa, direkrut, diperkosa, dan bahkan dijual sebagai budak," kata Lake dalam sebuah pernyataan. "Tidak pernah ada dalam ingatan, begitu banyak anak-anak menjadi subjek kebrutalan luar biasa seperti itu."
Ancaman nyata juga terjadi pada masalah kesehatan anak-anak, mirip seperti wabah mematikan ebola di negara-negara Afrika Barat yaitu Guinea, Liberia, dan Sierra Leone, yang menyebabkan ribuan anak menjadi yatim piatu dan sekitar 5 juta berhenti sekolah.
"Kekerasan dan trauma lebih dari sekadar merugikan anak-anak secara individual - mereka merongrong kekuatan masyarakat," kata Lake.
Di Republik Afrika Tengah, di mana kekerasan sektarian telah memaksa seperlima populasinya mengungsi, sekitar 2,3 juta anak-anak terkena dampak konflik dengan lebih dari 10 ribu diyakini telah direkrut oleh kelompok bersenjata selama setahun terakhir dan lebih dari 430 anak tewas atau cacat, kata UNICEF.
Sekitar 538 anak tewas dan 3.370 lainnya cidera di Jalur Gaza, Palestina dalam perang 50 hari antara tentara Israel dan militan Hamas, katanya.
Di Suriah, kata UNICEF, lebih dari 7,3 juta anak terkena dampak perang sipil, termasuk 1,7 juta anak yang lari meninggalkan negaranya.
Di negara tetangganya Irak, sekitar 2,7 juta anak terkena dampak konflik, imbuhnya, dengan setidaknya 700 anak cacat atau tewas pada 2014.
"Di kedua negara itu, anak-anak menjadi korban, menyaksikan dan bahkan menjadi pelaku kekerasan brutal dan ekstrem yang makin meningkat," kata UNICEF.
Sekitar 750 ribu anak di Sudan Selatan meninggalkan rumah mereka sementara 320 ribu anak hidup sebagai pengungsi. PBB mengatakan lebih dari 600 anak tewas dan lebih dari 200 anak cacat pada 2014, sementara sekitar 12 ribu anak dimanfaatkan oleh kelompok bersenjata.
Advertisement