Presiden Rusia Melawat ke Teheran, Bahas Kesepakatan Nuklir Iran

Pembahasan kesepakatan nuklir itu menjadi salah satu agenda pertemuan antara Presiden Putin dan Pemimpin Tertinggi Iran.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 02 Nov 2017, 20:42 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2017, 20:42 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) saat bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei (Alexey Druzhinin/AFP)
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) saat bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei (Alexey Druzhinin/AFP)

Liputan6.com, Teheran - Presiden Rusia Vladimir Putin mengunjungi Teheran atau Tehran pada Rabu, 1 November 2017 waktu setempat untuk melaksanakan pertemuan dengan pemimpin Iran dan Azerbaijan.

Di Tehran, Putin bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Presiden Iran Hassan Rouhani, dan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev. Pertemuan itu berlangsung tertutup, tapi Kantor Pemimpin Tertinggi Iran merilis pernyataan resmi yang membeberkan hasil pembicaraan para pemimpin ketiga negara.

Agenda utama pertemuan itu adalah rencana Rusia-Iran-Azerbaijan dalam mengembangkan megaproyek transportasi darat. Proyek yang dimaksud adalah pembangunan jaringan jalan raya dan rel kereta yang menghubungkan ketiga negara di kawasan Laut Kaspia. Demikian seperti dikutip ABC News, Kamis (2/11/2017).

Akan tetapi, di samping pembahasan tentang proyek tersebut, Presiden Putin dan kedua petinggi Negeri Para Mullah turut membahas mengenai isu nuklir Iran.

"Kami menentang perubahan unilateral sepihak dalam kesepakatan nuklir (Iran) yang sejatinya bersifat multilateral. Kami juga menentang ketika isu nuklir Iran kerap dikaitkan dengan isu-isu keamanan," kata Putin saat bertemu dengan Khamenei, seperti yang tercantum dalam pernyataan resmi yang dirilis oleh kantor Pemimpin Tertinggi Iran.

Sementara itu, berdasarkan rilis tersebut, Khamenei memuji Putin dalam menyikapi isu kesepakatan nuklir Iran. Ia kemudian mengatakan, "Karena alasan itu, sangat mungkin untuk melakukan dialog logis dan kooperasi dengan Rusia."

Pernyataan itu seakan mengkritik sikap Amerika Serikat yang berencana untuk menarik diri dan merevisi secara sepihak Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran. Rencana itu digagas pada Oktober lalu.

JCPOA merupakan pakta kesepakatan multilateral, melibatkan Iran (sebagai negara yang diawasi) dan sejumlah pihak yang terdiri dari negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Jerman, dan Uni Eropa (sebagai negara yang mengawasi Iran).

Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari negara-negara yang menandatangani kesepakatan tersebut.

Pakta itu memiliki mekanisme pengawasan rutin. Secara berkala, yakni per 90 hari, para negara anggota akan memberikan sertifikasi kepatuhan kepada Iran setelah melakukan peninjauan. Terakhir kali, sertifikasi kepatuhan diberikan kepada Iran pada Juli 2017.

Namun, pada Oktober lalu, Presiden Trump menolak untuk memberikan sertifikasi kepatuhan terhadap Iran. Ia beranggapan bahwa Tehran tidak memberikan kontribusi positif terhadap perdamaian dan keamanan regional serta internasional, sebuah harapan yang disematkan dalam pembukaan JCPOA.

Rusia, China, Prancis, Inggris, Jerman, dan Uni Eropa mendesak agar AS mengubah sikapnya dan segera memberikan sertifikasi tersebut kepada Iran.

Alasan Trump Tak Lagi Mendukung Kesepakatan Nuklir Iran

Alasan Presiden Trump menolak memberikan sertifikasi kepatuhan nuklir kepada Iran karena dirinya beranggapan bahwa Negeri Para Mullah tidak memberikan kontribusi positif terhadap perdamaian dan keamanan regional serta internasional.

"Kami tidak akan terus menyusuri jalan yang justru akan lebih banyak menimbulkan kekacauan dan ancaman nyata terhadap isu nuklir Iran," ujar Trump dalam sebuah pidato di Gedung Putih, seperti dikutip dari The New York Times, Sabtu, 14 Oktober 2017.

The New York Times melanjutkan, Trump juga mengancam akan membuat AS meninggalkan pakta JCPOA. Ancaman itu dapat menjadi kenyataan jika ada tiga pemicu.

Pertama, Iran kembali mengaktifkan misil balistik lintas benuanya. Kedua, Negeri Para Mullah menolak melakukan negosiasi untuk memperpanjang perjanjian yang membatasi aktivitas nuklir mereka. Terakhir, Tehran terbukti kembali membuat bom.

"Jika kami tidak dapat menemukan solusi dengan Kongres AS dan sekutu kami, maka perjanjian itu akan dibatalkan," jelas Trump.

Sementara itu, menanggapi ancaman Trump, Presiden Iran Hassan Rouhani menyatakan, negaranya tidak akan memasuki negosiasi dan melakukan amendemen dalam bentuk apa pun terkait JCPOA.

Sebelumnya, Iran diketahui pernah melakukan uji coba rudal balistik, sesuatu yang memicu kemarahan AS, meski uji coba semacam itu bukan merupakan bentuk pelanggaran atas JCPOA.

Diprediksi, ke depannya Trump mungkin akan membujuk Senat AS untuk membentuk produk undang-undang (act) yang berisi sikap baru Washington terhadap isu nuklir Iran.

Namun, untuk membentuk legislasi semacam itu, butuh 60 suara dari total Senat AS. Itu berarti, Partai Republik -- yang mengusung Trump -- membutuhkan "kata sepakat" delapan suara anggota Senat dari Partai Demokrat agar aturan tersebut dapat rampung.

Akan tetapi, seperti dikutip dari The New York Times, seluruh anggota Senat dari Partai Demokrat terus konsisten mendesak Trump untuk tetap berkomitmen pada JCPOA.

Sejak masih menjadi kandidat presiden, Trump selalu menyebut kesepakatan nuklir Iran sebagai salah satu transaksi terburuk dan paling sepihak yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat.

Di sisi lain, beberapa pihak yang mendorong agar AS konsisten terhadap komitmen traktat tersebut menganggap, JCPOA dapat menjadi fondasi bagi hubungan baru antara Washington - Tehran.

"Kami jelas prihatin secara mendalam terhadap aktivitas regional yang mendistorsi Iran ... tapi saya tetap pada pendirian bahwa kesepakatan nuklir Iran merupakan capaian bersejarah yang tidak diragukan lagi telah membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman," jelas Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya