Liputan6.com, Washington D.C - Anggota legistatif Amerika Serikat telah mengusulkan sanksi terhadap militer Myanmar atas perlakuannya terhadap kelompok etnis Rohingya.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump berangkat untuk lawatan 12 hari di Asia. Dalam lawatannya, ia akan bertemu dengan anggota pemerintah Myanmar dalam KTT ASEAN.
Dilansir dari laman VOA Indonesia, Minggu (5/11/2017), RUU bipartisan itu diajukan di Senat DPR. Kedua badan legislatif itu meminta diperbaharuinya pembatasan perdagangan dan impor terhadap Myanmar.
Advertisement
Baca Juga
Pembatasan tersebut dimaksudkan sebagai hukuman atas perlakuan militer terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar utara.
Senator John McCain mengatakan, RUU Senat itu akan meminta pertanggungjawaban pejabat militer senior atas pembantaian dan kaburnya laki-laki, wanita, dan anak-anak yang tidak berdosa di Rakhine. Ia menegaskan bahwa AS tidak akan diam menghadapi kekejaman tersebut.
Berbicara untuk legislasif di DPR, anggota DPR Eliot Engel mengatakan bahwa anggota legislatif ingin menggunakan sanksi untuk mengirim "pesan jelas" kepada kepemimpinan Myanmar, baik militer maupun sipil.
"Kekerasan ini harus dihentikan, pelaku harus dimintai pertanggungjawaban, dan harus ada kontrol sipil yang berarti atas pasukan militer dan keamanan Myanmar," kata Engel.
UNICEF: Anak-Anak Rohingya Menjadi Saksi 'Neraka di Bumi'
Badan PBB untuk Urusan Anak (UNICEF) menyatakan, mayoritas Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar adalah anak di bawah umur. Saat ini total jumlah pengungsi sudah mencapai 600 ribu orang.
Dikutip dari laman VOA Indonesia, bahkan UNICEF menyebut anak-anak pengungsi Rohingya telah menyaksikan "neraka di Bumi", dalam arti yang sesungguhnya.
Badan PBB juga mengeluarkan laporan tentang nasib anak-anak Rohingya yang jumlahnya mencapai 58 persen dari pengungsi yang mengalir ke Cox’s Bazar di Bangladesh.
Dalam laporan yang ditulis oleh seorang reporter bernama Simon Ingram, satu dari lima anak di sana mengalami kekurangan gizi akut.
Laporan itu dikeluarkan menjelang konferensi donor di Jenewa, yang akan diselenggarakan pada 23 Oktober 2017. Tujuannya untuk menggalang bantuan dana internasional bagi pengungsi Rohingya.
"Banyak pengungsi anak Rohingya di Bangladesh telah menyaksikan berbagai kekejaman di Myanmar yang seharusnya tidak mereka pernah lihat dan mereka sudah sangat menderita," kata Direktur Eksekutif UNICEF, Anthony Lake.
Mereka sekarang membutuhkan air bersih, makanan, sanitasi, tempat berteduh dan vaksin untuk mencegah kemungkinan munculnya wabah Kolera yang menyebar dari air yang kurang bersih.
Lembaga kemanusiaan PBB memerlukan 434 juta dolar untuk pengungsi Rohingya.
Advertisement