Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI menyatakan terus mengamati perkembangan situasi dan keamanan WNI di Lebanon. Hal itu dilakukan di tengah tensi politik tinggi antara Arab Saudi dan Lebanon dalam beberapa hari terakhir.
Tensi politik tinggi itu memuncak setelah Menteri Urusan Teluk Arab Saudi menyebut bahwa Lebanon telah menyatakan perangn terhadap Arab Saudi. Pernyataan tersebut terus diikuti dengan pemberlakukan travel warning oleh Riyadh bagi Warga Negara Arab Saudi ke Lebanon.
Baca Juga
"Selain terus mengamati perkembangan situasi, Kemlu RI juga terus melakukan langkah antisipasi. Antara lain, dengan mendata ulang WNI yang berada di Lebanon dan mengintensifkan komunikasi dengan KBRI Beirut," papar rilis dari Direktorat Perlindungan WNI Kemlu RI, seperti yang diterima Liputan6.com pada Minggu 12 November 2017.
Advertisement
Menurut data Kemlu RI, saat ini, terdapat 155 WNI di Lebanon, termasuk di dalamnya adalah keluarga staf KBRI dan pelajar/mahasiswa. Di luar itu, juga terdapat 1.296 pasukan perdamaian PBB di bawah misi United Nations Interim Force in Lebanon (UNFIL).
Keamanan di Lebanon juga penting bagi sekitar 1.000 WNI yang masih berada di Suriah -- di mana kedua negara saling berbatasan.
Seperti diketahui sebelumnya, Lebanon merupakan satu-satunya pintu keluar yang aman dari Suriah saat ini. Rute itu pernah digunakan untuk mengevakuasi 7.000 pekerja migran perempuan Indonesia yang bekerja di Suriah pada 2012 - 2014, ketika konflik bersenjata yang dipicu isu terorisme mulai berkembang di kawasan.
Â
Arab Saudi Cs Minta Warganya Segera Tinggalkan Lebanon, Ada Apa?
Arab Saudi telah memerintahkan seluruh warganya untuk meninggalkan Lebanon sesegera mungkin dan tidak bepergian ke negara itu. Hal ini disampaikan melalui kantor berita resmi Saudi Press Agency (SPA).
"Mempertimbangkan kondisi di Republik Lebanon, kerajaan meminta warganya yang berkunjung atau tinggal di sana untuk segera pergi," ujar seorang sumber di Kementerian Luar Negeri Saudi seraya menambahkan agar warga Saudi disarankan tidak bepergian ke Lebanon dari negara mana pun. Demikian seperti dikutip dari abc.net.au pada Jumat, 10 November 2017.
Kuwait, Bahrain, dan Uni Emirat Arab yang merupakan sekutu Saudi juga merilis peringatan serupa.
Pada Sabtu, 4 November, dunia dikejutkan dengan pernyataan Saad Hariri yang mengundurkan diri dari posisinya sebagai Perdana Menteri. Ia menyampaikan pengumuman tersebut melalui sebuah video dari Arab Saudi.
Hariri menuding Iran dan kelompok Hizbullah Lebanon telah menabur perselisihan di negara-negara Arab dan ia takut dirinya menjadi korban pembunuhan.
Meski demikian, elite politik Lebanon meminta agar Hariri yang saat ini masih berada di Arab Saudi untuk kembali. Sebagian pihak meyakini bahwa pengunduran diri Hariri dibayangi tekanan Riyadh.
"Kembalinya Perdana Menteri Lebanon, pemimpin nasional, Saad Hariri, yang juga pimpinan Future Movement, dibutuhkan untuk memulihkan martabat dan kehormatan Lebanon di dalam dan luar negeri," ujar mantan Perdana Menteri Lebanon Fouad Saniora.
Saniora memimpin kubu Future Movement di parlemen.
Adapun Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir pada awal pekan ini memperingatkan bahwa pemerintahannya akan menganggap Lebanon sebagai musuh selama kelompok Hizbullah bercokol di pemerintahan Lebanon.
Al-Jubeir menegaskan bahwa partisipasi Hizbullah dalam pemerintahan merupakan "tindakan perang" melawan Arab Saudi. Riyadh memandang Hizbullah sebagai perwakilan Iran di tengah rivalitas Sunni dan Syiah.
Arab Saudi belum lama ini menuding kelompok Hizbullah yang mendapat dukungan dari Iran, menembakkan rudal ke wilayah mereka dari Yaman. Rudal tersebut berhasil dicegat.
Ketegangan ini mencuat di saat kondisi dalam negeri Arab Saudi gonjang-ganjing terkait penangkapan sejumlah pangeran, menteri dan mantan menteri atas dugaan korupsi. Jumlah mereka yang ditahan kabarnya mencapai 200 orang lebih.
Advertisement