Kisah Warga Australia Jadi Pemandu Wisata di Korea Utara

Matt Kulesza, merupakan seorang pemandu wisata yang beroperasi di China. Ia secara teratur mengajak para petualang dari Beijing ke Korut.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Nov 2017, 06:27 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2017, 06:27 WIB
Matt Kulesza menjadi pemandu wisata dengan rute dari China ke Korea Utara (ABC News)
Matt Kulesza menjadi pemandu wisata dengan rute dari China ke Korea Utara (ABC News)

Liputan6.com, Pyongyang - Bagaimana gambaran mengenai Korea Utara yang selama ini akrab kita kenali? Mungkin berupa pawai militer besar-besaran, tank rudal balistik, dan ribuan wajah dan kaki yang berbaris dengan sempurna.

Selain itu juga mungkin gambaran kemiskinan, pelanggaran HAM dan rezim represif yang berada di ambang peperangan.

Banyak orang yang mau berkunjung ke negara itu mungkin merasa ngeri dengan apa yang dialami seorang mahasiswa AS.

Mahasiswa bernama Otto Warmbier itu dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa karena dituduh mencuri poster propaganda.

Dia meninggal pada bulan Juni lalu, hanya enam hari setelah kembali ke negaranya Amerika Serikat.

Peringatan resmi Pemerintah Australia bagi pengunjung yang ingin datang ke Korut adalah "mempertimbangkan kembali perlunya Anda ke sana", satu tingkat di atas peringatannya paling keras yang melarang kunjungan ke sana.

Akan tetapi, seorang warga Australia, Matt Kulesza, tidak terpengaruh dengan peringatan itu. Dia seorang pemandu wisata yang beroperasi di China. Dia secara teratur mengajak para petualang dari Beijing ke Korea Utara dalam tur wisata.

Wisata semacam itu memang cuma memberikan sedikit gambaran tentang Korut yang sebenarnya. Pemandu lokal selalu mengawasi secara seksama para turis yang hanya diperlihatkan versi resmi yang disterilkan, jauh dari kenyataan.

Para pengkritik menyebut operator tur semacam ini turut mendanai rezim otoriter. Namun Kulesza memiliki pandangan berbeda.

"Semakin berhubungan secara pribadi dengan mereka yang bekerja denganku di negara itu, saya semakin ingin menunjukkan kepada orang sisi berbeda dari Korut yang tidak sering digambarkan dalam pemberitaan atau dokumenter," kata Kulesza seperti dikutip dari ABC Australia Plus pada Kamis (22/11/2017).

"Begitu banyak hal menarik yang terjadi selain tes rudal dan dinasti atau rezim Kim (Jong-un)," ujarnya.

"Saya berpendapat banyak hal buruk juga terjadi di banyak negara lain," kata Kulesza.

"Saya akan menyarankan orang datang ke Australia meskipun ada perlakuan mengerikan kita terhadap penduduk pribumi, ada kamp-kamp pengungsi. Begitu pula saya akan senang datang ke Amerika walaupun banyak hal yang tidak saya percayai dalam politik Amerika. Negara itu memiliki persentase terbesar narapidana per kapita misalnya, atau pembantaian tragis di Las Vegas belum lama ini," paparnya.

Tur Terakhir Kulesza di Korut

Ancaman Hukuman Mati

Kulesza bersedia membagikan video tur terakhirnya di Korea Utara.

Tur dimulai dengan briefing terhadap sekitar 20 peserta saat Kulesza menguraikan apa yang "boleh" dan "tak boleh" dilakukan saat berkunjung.

Setelah beristirahat semalam, Kulesza bersama tiga pemandu Korea Utara mengajak rombongan untuk melihat objek kunjungan resmi: Monumen Mansudae - tugu peringatan untuk menghormati pendiri negara serta stasiun metro Pyongyang, yang berfungsi ganda sebagai tempat perlindungan serangan bom sedalam 110 meter di bawah tanah.

Kereta bawah tanah itu sangat mengesankan, dihiasi dengan mozaik dan mural sepanjang sisi yang dibangun hampir setengah dekade lalu.

Pemberhentian berikutnya yaitu Grand People's Study House. Inilah perpustakaan dengan 600 ruangan, tapi sebagian besarnya kosong.

Saat berada di sini, rombongan diperlihatkan internet, tapi hanya terkoneksi dengan puluhan situs website Pemerintah Korea Utara.

Semua situs asing dilarang dan jika mengaksesnya bisa terancam hukuman mati.

'Mereka orang biasa'

Dalam berbagai perjalanannya itu, Kulesza telah menjalin pertemanan dengan penduduk setempat. Menurut dia, orang Korea Utara bukanlah robot yang dicuci otaknya, sebagaimana sering digambarkan dalam pemberitaan dan budaya populer di negara barat.

"Bila Anda ke sana sebagai turis, (penduduk setempat) tidak membicarakan hal-hal itu (propaganda). Mereka itu orang biasa. Makam malam, minum atau di hotel atau bar lokal, mereka orang biasa yang menyenangkan," ujarnya.

"Mereka semaksimalnya memanfaatkan situasi yang tidak mereka kendalikan... mereka tidak punya pilihan di mana mereka dilahirkan. Mereka memanfaatkan sebaik mungkin situasi spesifik mereka itu," tutur Kulesza.

Dalam video itu, Kulesza kemudian tampak membawa rombongan ke Istana Anak Manyungdae, sebuah aula mewah di mana anak-anak mengenakan kostum tradisional, bernyanyi dan menari bagi para penonton.

Di sela pertunjukan, tayangan video peluncuran rudal nuklir terlihat di layar dan pertunjukan pun berubah menjadi puja-puji bagi program nuklir itu.

Semesta yang lain

Kulesza menjelaskan bahwa pajangan militer di sana mungkin sering disalahartikan.

"Kim Jong-un menginginkan persenjataan nuklir untuk tetap berkuasa. Namun, dari sudut pandang rakyat, dari mereka yang pernah saya ajak bicara, mereka melihatnya sebagai pertahanan. Mereka tidak ingin menyerang Korea Selatan atau Amerika meski propagandanya begitu," katanya.

"Mereka melihat hal ini sebagai pertahanan. Mereka merasa terancam oleh AS dan Korea Selatan," tambah Kulesza.

Tur tersebut diakhiri dengan kunjungan ke Zona Demiliterisasi (DMZ), garis pemisah yang membelah Semenanjung Korea menjadi dua.

Zona ini didirikan oleh Korean Armistice Agreement dan berfungsi sebagai penyangga antara Korea Utara dan Korea Selatan.

Kunjungan ke sana berubah menjadi pelajaran sejarah dari perspektif Korea Utara.

"Ini agak menegangkan. Sensitivitasnya masih menonjol saat ini. Sangat menarik untuk mendengar sisi cerita ini," kata Kerstie Cooper dari Inggris.

Saat kunjungan berakhir, kelompok tur kembali ke kereta, menyapa selamat tinggal kepada pemandu lokal mereka dan berefleksi mengenai perjalanan yang telah mereka tempuh.

"Ini membuka mata. Rasanya seperti kembali ke semesta lain. Bagaimana segala sesuatunya beroperasi sangat berbeda dari dunia barat," ujar Beth Blount, seorang guru asal Inggris yang mengunjungi Korut untuk pertama kalinya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya