Letusan Gunung Agung Bisa Turunkan Suhu Bumi, Ini Alasannya

Jika Gunung Agung erupsi dalam skala yang lebih besar, terdapat kemungkinan bahwa Bumi akan mengalami penurunan suhu. Apa penyebabnya?

oleh Citra Dewi diperbarui 29 Nov 2017, 22:13 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2017, 22:13 WIB
Aktivitas Warga Ditengah Erupsi Gunung Agung
Gunung Agung yang mengeluarkan asap dan abu vulkanis terlihat dari Karangasem, Bali, Rabu (29/11). Gunung Agung masih menghembuskan asap tebal berwarna abu-abu yang mengarah ke selatan-barat daya karena hembusan angin. (AP/Firdia Lisnawati)

Liputan6.com, Denpasar - Gunung Agung meletus dua kali dalam jarak kurang dari sepekan, yakni pada 21 dan 25 November 2017. Meski erupsinya tak dahsyat, pemerintah setempat telah mengevakuasi warga dan membuat Bandara Ngurah Rai tutup.

Namun, jika Gunung Agung meletus dalam skala yang lebih besar, ada hal yang mungkin tak pernah terlintas dalam pikiran Anda: suhu permukaan Bumi akan mengalami penurunan.

Meski demikian, penurunan suhu Bumi itu tak serta merta menghentikan pemanasan global, yang saat ini menjadi masalah utama yang dialami Planet Biru ini.

Saat Gunung Agung terakhir kali erupsi, yakni pada 1963, suhu permukaan global mengalami penurunan. Menurut sejumlah ahli, temperatur Bumi kala itu turun sebanyak 0,1 hingga 0,4 derajat Celsius.

Meski terlihat tak banyak, suhu tersebut membawa pengaruh yang signifikan. Jika dibandingkan, Zaman Es terjadi karena temperatur Bumi turun 'hanya' 5 derajat Celsius.

Lalu, mengapa suhu saat itu bisa mengalami penurunan?

Dikutip dari abc.net.au, Rabu (29/11/2017), fenomena itu terjadi karena abu dan gas beracun masuk ke dalam atmosfer Bumi.

Menurut seorang Profesor Emeritus di bidang geologi di Australian National University, Richard Arculus, abu dan sulfur dioksida dalam jumlah besar dimuntahkan ke atmosfer saat Gunung Agung meletus pada 1963.

Sulfur oksida itu kemudian bereaksi dengan uap air di udara dan membentuk tetesan kecil asam sulfat. Sekitar 10 juta ton tetesan tersebut terakumulasi di stratosfer Bumi dan membentuk kabut.

Kabut itu kemudian bertindak sebagai penghalang sinar Matahari dan mengurangi jumlah sinar ultraviolet (UV) yang masuk ke Bumi. Hal itu menciptakan efek pendinginan.

 

Penurunan Suhu Tak Bertahan Lama

Penurunan Suhu Tak Bertahan Lama

Menurut Profesor Arculus, kabut asam sulfat itu dapat berada di stratosfer selama beberapa tahun. Namun, tetesan kecil zat itu segera menghujani Bumi.

"Itu cukup kecil sehingga mereka bisa berada di atas sana selama beberapa waktu...namun zat itu akan kembali ke Bumi bersama hujan," ujar Arculus.

Oleh karena itu, turunnya suhu akibat erupsi tak serta merta 'menyembuhkan' Bumi dari pemanasan global.

"Ini adalah efek jangka pendek, tak seperti injeksi karbon dioksida yang bertahan bertahun-tahun akibat pembakaran bahan bakar fosil -- yang terus terakumulasi," kata Profesor Arculus.

Jika Gunung Agunung mengalami erupsi yang sama seperti pada tahun 1963, Anda tak akan merasakan perubahan penurunan suhu Bumi.

"(Perubahan suhu) tidak cukup lama hingga kita sadar akan perubahannya. Ini lebih ke perubahan yang disadari ilmuwan melalui sebuah instrumen ilmiah," jelas Arculus.

Namun, erupsi gunung pernah membuat penduduk Bumi sadar akan perubahannya. Yakni, kala Gunung Tambora meletus dahsyat pada 1815.

"Setelah (Gunung Tambora) erupsi, kejadian itu disadari hingga ke Eropa Utara dan Amerika, mereka menyebutnya 'Tahun Tanpa Musim Panas'," kata Arculus.

"Erupsi menyebabkan penurunan suhu yang cukup besar sehingga membuat beku wilayah New England dan Amerika Serikat pada Agustus, di mana hal itu tak pernah terjadi. Dan (ada) kegagalan panen yang meluas."

"Belum ada anggapan bahwa Gunung Agung akan mengalami letusan sebesar Tambora," jelas dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya