Indonesia Kurang Dana untuk Bersihkan Laut dari Sampah Plastik

Indonesia disebut sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia, satu posisi di bawah China.

oleh Citra Dewi diperbarui 05 Des 2017, 16:09 WIB
Diterbitkan 05 Des 2017, 16:09 WIB
sampah plastik Indonesia
Havas Oegroseno (ke-7 dari kiri) beserta para speaker dalam acara Regional Forum on Managing Marine Plastic Pollution: Policy Initiatives in ASEAN Countries (5/12/2017) (Liputan6.com/Citra Dewi)

Liputan6.com, Jakarta - Limbah plastik yang berada di lautan, sebanyak 80 persennya berasal dari darat. Indonesia sendiri menjadi penyumbang sampah plastik terbesar kedua, di bawah China.

Diperkirakan, terdapat 1 ton plastik di setiap 3 ton ikan pada 2025. Sementara itu, pada 2050, diperkirakan akan terdapat lebih banyak limbah plastik dibanding ikan.

Hal tersebut disampaikan oleh Chargé d'Affaires Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Hendrik Barkeling, dalam sambutannya pada Regional Forum on Managing Marine Plastic Pollution: Policy Initiatives in ASEAN Countries.

Dalam acara yang diselenggarakan atas kerja sama Kedutaan Republik Federal Jerman di Jakarta, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) itu, Barkeling menyebut bahwa limbah plastik adalah masalah global.

"Ini adalah masalah global, jadi membutuhkan penyelesaian global," ujar Barkeling pada 5 Desember 2017.

Barkeling juga menyebut bahwa persoalan limbah lautan telah dibahas di level internasional, yakni di KTT G20 yang diadakan di Hamburg, Jerman, pada Juli 2017.

Dalam kesempatan itu, Deputi Menteri Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinasi Maritim Indonesia, Havas Oegroseno, menyebut bahwa Indonesia berkeinginan untuk mengurangi 70 persen sampah plastik di laut pada 2025.

Pria yang akrab disapa Havas itu menitikberatkan soal kurangnya dana untuk mewujudkan tujuan itu.

"Tolak ukur internasional untuk pengelolaan limbah padat adalah US$ 50 per orang per tahun (sekitar Rp 678 ribu), namun di pemerintah lokal di Indonesia pengelolaan limbah padat hanya US$ 6 dolar (sekitar Rp 81 ribu) per orang per tahun," ujar Havas.

"Mungkin kita berhasil mengubah cara pandang masyarakat (tentang limbah plastik di laut) melalui kampanye, tapi ketika mereka ingin membuang sampah, tidak ada tempat sampah yang tersedia."

"Jadi, permasalahan mendasar adalah kurangnya dana," tegas dia.

Selain itu, kurangnya kerja sama dengan sektor swasta dalam upaya mengurangi sampah plastik juga disayangkan oleh Havas.

 

Ramalan Bumi Masa Depan: dari Planet Hijau ke 'Planet Plastik'

Ilmuwan Amerika Serikat telah menghitung jumlah plastik yang pernah diproduksi di seluruh Bumi sejak 65 tahun lalu. Hasilnya mencengangkan, yakni 8,3 miliar ton -- setara dengan 25.000 kali gedung Empire State di New York atau satu miliar gajah.

Satu hal yang paling disoroti dari hal tersebut ialah benda-benda yang terbuat dari plastik, termasuk bungkus produk, hanya digunakan dalam waktu singkat. Padahal, dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk menguraikannya di dalam tanah.

Seperti dimuat dalam BBC, saat ini lebih dari 70 persen produksi plastik total terbuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Meski demikian, banyak limbah plastik berakhir di tempat yang tak seharusnya, termasuk lautan.

"Kita dengan cepat berjalan menuju 'Planet Plastik', dan jika kita tidak ingin hidup di dunia semacam itu, maka kita harus memikirkan kembali cara menggunakan beberapa material, terutama plastik," ujar Dr Roland Gayer.

Artikel yang disusun oleh ahli ekologi industri dari University of California, Santa Barbara itu dipublikasikan di jurnal Science Advances. Penelitian yang mereka lakukan merupakan perhitungan global pertama tentang jumlah, penggunaan, dan limbah plastik.

Sejak diproduksi secara massal pada 1950-an, saat ini polimer ada di sekeliling kita, mulai dari pembungkus makanan, baju, hingga bagian pesawat. Namun, daya tahan yang dimiliki plastik itu justru menimbulkan masalah baru.

Hingga saat ini, plastik yang biasa digunakan sangat jarang yang mudah terurai di alam. Salah satu cara untuk menghilangkan limbah tersebut adalah dengan memanaskannya. Namun, cara tersebut memicu kekhawatiran akan adanya dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan.

Menurut Gayer, saat ini limbah plastik telah menggunung dan jika dikumpulkan cukup untuk menutupi seluruh wilayah Argentina. Tim peneliti berharap, analisis baru mereka akan memberi dorongan dalam upaya untuk menangani masalah plastik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya