Liputan6.com, Washington, DC - Tidak ada bencana yang sangat sulit untuk diprediksi ketimbang gempa bumi. Itu kata sejumlah ilmuwan.
Tak seperti beragam jenis badai yang bisa diprediksi sebelum dan sesudah terjadi, lindu justru sering kali mengguncang tanpa ada peringatan.
Namun, sejumlah ilmuwan -- berdasarkan sebuah studi terbaru -- memprediksi bahwa 2018 nanti akan menjadi tahun terburuk bagi bencana gempa bumi.
Advertisement
Studi menunjukkan, lindu pada tahun depan akan semakin banyak ketimbang periode sebelumnya. Penyebabnya ialah rotasi Bumi yang semakin melambat. Demikian seperti dikutip dari Time, Selasa (5/12/2017).
Baca Juga
Dalam forum tahunan komunitas akademis bidang kepakaran geologi di AS, Geological Society of America, ilmuwan meyakini, melambatnya rotasi Bumi pada 2018 akan memicu aktivitas seismik yang intens dan menyebabkan melonjaknya kuantitas gempa tahun depan.
Meskipun melambatnya rotasi itu cukup kecil -- sekitar 1 milidetik, dampak yang dihasilkan dapat memicu peristiwa alam yang cukup signifikan, yakni pelepasan sejumlah besar energi bawah tanah yang memicu aktivitas seismik.
"Korelasi antara rotasi dan gempa menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Korelasi itu menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah gempa bumi yang hebat pada tahun depan," kata Roger Bilham dari University of Colorado in Boulder.
Bilham dan rekan, Rebecca Bendick, dari University of Montana in Missoula, mencapai kesimpulan itu dengan menilik lindu berkekuatan 7 SR dan yang lebih besar yang terjadi sejak 1900.
Dari data itu, Bilham dan Bendick menemukan beberapa periode tahun ketika gempa berskala besar terjadi secara signifikan dan lebih banyak dibandingkan dengan periode tahun lain.
"Pada lima periode itu, ada 25 sampai 30 gempa dalam setahun. Sementara pada periode lain, hanya ada rata-rata 15 gempa per tahunnya," papar Bilham.
Kedua ilmuwan itu pun lantas melakukan pemeriksaan dan menemukan korelasi antara aktivitas seismik intens dengan variasi dan fluktuasi rotasi Bumi.
"Perputaran Bumi sedikit berubah sekitar 1 milidetik per hari. Kami mengukurnya secara akurat menggunakan jam bertenaga atom."
Ketika perlambatan terjadi, inti Bumi memicu justru ketegangan pada lapisan di luarnya. Maka pada saat itu, prinsip fisika dasar Isaac Newton berlaku, yakni benda bergerak akan berusaha sekuat tenaga agar tetap bergerak.
Daya yang dihasilkan pergerakan yang terus-menerus tersebut akan menyebar melalui bebatuan, lempeng, dan patahan yang dekat dengan permukaan Bumi, menyebabkan lindu.
Bilham dan Bendick menemukan bahwa telah terjadi periode sekitar lima tahun ketika rotasi Bumi melambat. Periode itu kemudian disusul oleh lonjakan kuantitas gempa Bumi untuk beberapa waktu ke depan.
"Dari pengukuran itu, Bumi seakan menawarkan kita suatu prediksi mengenai potensi gempa di masa yang akan datang, setidaknya per lima tahun ke depan," papar Bilham.
Berdasarkan perhitungan tersebut, Bilham dan Bendick mencapai suatu prediksi bahwa pada 2018 nanti akan terjadi lonjakan lindu.
"Rotasi Bumi sudah melambat sejak empat tahun lalu. Maka, kesimpulannya jelas. Tahun depan kita harus mempersiapkan atas terjadinya peningkatan yang signifikan dalam jumlah gempa Bumi yang terjadi," papar Bilham.
"Tahun ini sudah ada enam lindu. Tahun 2018 nanti, bisa sekitar 20 gempa," tambahnya.
Meski begitu, makalah yang ditulis oleh Bilham dan Bendick tidak menjelaskan secara detail mengapa pelambatan rotasi mampu berkorelasi dengan peningkatan aktivitas seismik. Selain itu, meski Bilham dan Bendick memprediksi bahwa gempa "ekstra" pada 2018 nanti akan terjadi di wilayah Bumi tropis, keduanya tak mampu untuk menentukan titik persisnya.
Kendati demikian, meski prediksi ilmiah itu tak sepenuhnya akurat 100 persen, berbagai kalkulasi tersebut setidaknya memberikan sumbangsih dan membuat sekecil apa pun perbedaan -- khususnya dalam konteks early warning system bencana gempa yang mematikan.
Saksikan juga video berikut ini:
Ramalan Gempa, Fakta Vs Mitos
Seperti dikutip dari Japan Today, Kamis, Dr Masaaki Kimura, seorang ahli seismologi yang dikabarkan memprediksi gempa Tohoku 2011, meramalkan gempa besar akan kembali terjadi di Jepang.
Berdasarkan estimasinya, gempa akan terjadi pada 2017, dengan magnitude serupa dengan lindu 2011.
Profesor Emeritus geologi bawah laut dan seismologi di University of the Ryukyus di Prefektur Okinawa itu mendasarkan prediksinya pada observasi di sejumlah wilayah di Jepang yang belum mengalami gempa besar, tapi kerap mengalami lindu kecil.
Pada Juli 2014, ia menyebut wilayah tersebut sebagai "mata gempa" (earthquake eyes). Kimura memprediksi lokasi gempa Tohoku 2011 menggunakan teori yang sama, empat tahun sebelumnya.
Menurut sang ilmuwan, gempa bisa jadi mengguncang pada 2017 -- meski kalkulasinya yang sebenarnya adalah 2012 plus minus lima tahun. Ia mengatakan, pusat gempa diperkirakan berada di Kepulauan Izu, rangkaian pulau vulkanik yang membentang dari Semenanjung Izu di Prefektur Shizuoka.
Kimura memperkirakan, kekuatan guncangan akan serupa dengan 2011, yakni 9 skala Richter.
Senada, penikmat astronomi, Yoshio Kushida, juga meramalkan gempa besar akan melanda Jepang dalam waktu tak lama.
Apakah gempa bisa diprediksi kapan dan di mana akan mengguncang, masih jadi topik kontroversial di antara para ilmuwan.
Seperti dikutip dari situs Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), prediksi gempa ilmiah diawali pada pertengahan hingga akhir 1970-an. Pada musim dingin 1975, para pejabat China memerintahkan evakuasi penduduk Haicheng yang populasinya mencapai sekitar 1 juta di Provinsi Liaoning.
Perintah evakuasi berdasarkan laporan para ilmuwan dan peneliti yang mengamati perubahan tingkat elevasi tanah dan air tanah. Selain itu, pengamatan pada perubahan sikap yang aneh pada binatang dan gejala-gejala lain yang diyakini menjadi pertanda gempa.
Benar saja, beberapa hari kemudian gempa dengan kekuatan 7,3 skala Richter mengguncang pada 4 Februari 1975. Sebanyak 2.041 orang tewas, 27.538 lainnya luka-luka.
Jumlah itu relatif sedikit. Seandainya evakuasi tak dilakukan, niscaya korban jiwa dan luka akan melampaui 150 ribu orang.
Namun, optimisme prediksi gempa tersebut tak bertahan lama. Pada tahun berikutnya, 28 Juli 1976, lindu dengan kekuatan 7,6 SR mengguncang Tangshan, sebuah kota industri yang berkembang dengan jumlah populasi mencapai 1 juta jiwa.
Karena tanda-tanda terjadinya gempa tak terbaca, tidak ada peringatan dan perintah evakuasi dikeluarkan. Akibatnya, sungguh tragis. Bumi yang berguncang merenggut 250 ribu nyawa dan melukai 164 ribu manusia.
Tim peneliti AS yang mengunjungi China pada 1976 untuk menginvestigasi prediksi gempa yang berhasil di Haicheng menemukan, bahwa perkiraan tersebut utamanya didasarkan pada pengamatan pada gempa awalan (foreshock).
Sementara, aspek lain yang dideskripsikan dalam metodologi para ahli Tiongkok lebih sulit untuk dinilai.
Sementara itu, di Italia, pada Senin, 22 Oktober 2012 pengadilan menjatuhkan vonis enam tahun pada enam ilmuwan dan seorang mantan pejabat. Mereka dianggap bertanggung jawab atas kejadian gempa Bumi dahsyat di L'Aquila, Minggu malam 6 April 2009. Lindu dengan kekuatan 6,3 skala Richter itu merenggut 309 nyawa.
Sebelum bumi L'Aquila berguncang hebat, serangkaian gempa kecil telah terjadi pada awal 2009 lalu. Enam seismolog dan pejabat pemerintah mengadakan pertemuan publik, di mana saat itu mereka mengatakan, serangkaian tremor kecil bukan pertanda terjadinya lindu dahsyat. Beberapa hari kemudian terbukti apa yang mereka katakan tidak tepat.
Vonis tersebut menggegerkan kalangan ilmuwan. Memunculkan kembali debat ilmiah, apakah gempa bisa diprediksi atau di luar kekuasaan manusia.
Hingga kini, komunitas ilmiah terus berusaha menemukan metodologi yang sahih untuk memprediksi gempa.
Sebab, prediksi dan peringatan terjadinya bencana bisa jadi faktor krusial untuk menyelamatkan nyawa manusia di lokasi terdampak. Waktu yang sempit sekalipun, dalam hitungan menit, bisa menyelamatkan banyak orang.
Advertisement