Saluran Air Berusia Ribuan Tahun Ditemukan di China

Penemuan saluran air berusia ribuan tahun di China ini diharapkan dapat membuka wawasan baru akan sejarah kebudayaan Tiongkok.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 10 Des 2017, 19:48 WIB
Diterbitkan 10 Des 2017, 19:48 WIB
Ilustrasi Saluran Air di China
Ilustrasi Saluran Air di China (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Shanghai - Peneliti sejarah kembali mendapat penemuan terbaru di China, kali ini berupa sebuah saluran air purba berusia ribuan tahun.

Saluran air purba ini terletak di delta Sungai Yangtze, sebuah kawasan yang berisi kota-kota terkaya di China seperti Shanghai yang menyumbangkan hampir seperempat dari Produk Domestik Bruto (GDP) negara.

Penemuan ini didapat setelah diadakan penelitian selama empat tahun, yakni dari 2009 sampai 2013. Terungkap bahwa saluran air itu dibangun oleh sekitar tiga ribu orang selama hampir satu dekade. Demikian seperti dikutip dari Newsweek pada Rabu (06/12/2017).

Penelitian dilakukan dengan menggunakan kombinasi berupa sampel arkeologi, penginderaan jauh, permodelan sistem informasi geografis dan citra satelit untuk menganalisis bagaimana penduduk Liangzhu mengelola air di delta Sungai Yangtze antara tahun 5300 SM dan 4300 SM.

Kawasan delta sungai itu kini sudah mengering, namun diyakini masih berada di bawah permukaan air yang mengalir ke Laut China Timur sampai sekitar tujuh ribu tahun yang lalu.

Peneliti telah menelusuri sistem bendungan tinggi, bendungan rendah dan tanggul, untuk menemukan kesimpulan bahwa saluran air purba ini adalah salah satu yang tertua di dunia. Sebelumnya, sistem saluran air tertua berada di Mesopotamia, yang berumur sekitar 4.900 tahun.

Hasil penemuan ini lalu dipublikasikan pada 4 Desember 2016 dalam jurnal "Prosiding National Academy of Sciences".

Yijie Zhuang, penulis yang juga meneliti arkeologi China di University College London, mengatakan bahwa pembuatan saluran air dan bendungan dilakukan dengan sangat cepat.

Dalam jurnalnya, digambarkan bendungan itu sebagai sebuah jaringan kanal buatan, selokan, dan parit sepanjang lebih dari 18 mil yang meneruskan aliran air dari sungai.

Para peneliti juga menuliskan, "Skala transformasi lanskap di Liangzhu itu tidak tertandingi pada zamannya. Hal ini turut membuka wawasan bagaimana sistem semacam itu berasal dan berkembang dalam wilayah yang terpencil."

Mereka juga menduga, sistem saluran air ini tidak dibangun untuk melayani beberapa kerajaan, melainkan untuk kepentingan penduduk kota itu sendiri. Jaringan kanal memungkinkan penduduk Liangzhu untuk menyokong lahan pertanian padi mereka, yang hasilnya untuk asupan makan seluruh populasi kota.

Penduduk Liangzhu sendiri adalah masyarakat agraris dan berpusat di delta sungai Yangtze. Peneliti memperkirakan, ribuan buruh telah memindahkan lebih dari 10 juta kaki kubik tanah untuk membangun saluran air dan bendungan.

Menurut Pusat Warisan Dunia (WHC) UNESCO, kota kuno Liangzhu terletak di tanah yang basah. Kota ini juga ditemukan memiliki enam gerbang kota dengan jalur masuk air, yang menghubungkan jaringan air di dalam dan luar kota.

Situs tersebut saat ini masuk ke dalam "daftar tentatif" untuk mendapat perlindungan UNESCO berdasarkan kepentingan politik, ekonomi dan agama, termasuk adanya potensi penemuan peninggalan budaya lain semisal artefak giok yang terkubur bersama jasad para bangsawan.

Sementara itu, pihak Smithsonian Museum of Asian Art menyebutkan, kualitas batu giok dari Liangzhu terbilang memukau. Penggunaan batu tersebut kemudian 'dijiplak' oleh kebudayaan Neolitik lainnya yang terhubung dengan Liangzhu melalui jalur sungai.

"Sisa peninggalan berupa tembok kota, fondasi arsitektur besar, makam, altar, hunian, dermaga dan bengkel, menyiratkan tentang adanya kota kuno terbesar pada Zaman Akhir Neolitik di lembah sungai Yangtze," tutur pihak WHC.

Yijie Zhuang mengatakan bahwa dia dan rekan-rekannya berharap dapat menjabarkan lokasi titik penyebaran saluran air dan bagaimana masyarakat kuno di sana mengelola bendungan tersebut. Smithsonian mencatat, penduduk Liangzhu tidak mengenal sistem penulisan formal, membuat pemahaman tim peneliti akan mereka masih terbatas.

Jika sudah dapat terungkap, sistem saluran air purba di China ini akan dapat membuka sumber wawasan baru tentang sejarah kebudayaan Tiongkok.

Tulang Manusia Ditemukan pada Sebuah Peti di China, Milik Buddha?

Penemuan sejarah besar lainnya belum lama ini juga ditemukan di China.

Kai ini, sebuah peti berisi tulang belulang manusia beserta lebih dari 260 patung berukiran Buddha ditemukan sekitar lima tahun lalu di Provinsi Jingchuan, China. Diduga, peti itu memuat sisa badan Siddhartha Gautama alias Buddha yang telah dikremasi.

Terdapat sekitar 2.000 kepingan sisa kremasi jasad seseorang, termasuk gigi dan tulang di dalam peti tersebut. Sementara itu, koleksi patung setinggi 2,6 meter tersebut memiliki ukiran berbentuk Buddha dan dewa.

Para arkeolog juga menemukan sebuah prasasti tertera pada peti, yang bertuliskan: "Para biarawan dari Sekolah Teratai Yunjiang dan Zhiming, yang masih menjadi bagian dari Kuil Manjusri pada Biara Longxing di Provinsi Jingzhou, mengumpulkan lebih dari dua ribu keping sarira atau relik Buddha, termasuk gigi dan tulang Buddha. Itu terkubur di aula Kuil Manjusri ini."

Arkeolog masih mempertanyakan, apakah kumpulan tulang Buddha dan patung-patung itu terkubur pada waktu yang sama. Kumpulan patung sendiri diduga dibuat antara masa Dinasti Wei (386-534 Masehi) dan Dinasti Song (960-1279 Masehi).

Penemuan itu kemudian turut dipublikasikan dalam bahasa Inggris pada jurnal berjudul Chinese Cultural Relics.

Buddha sendiri terlahir di Nepal dengan nama Siddhartha Gautama. Menurut banyak teks suci agama Buddha, Siddharta lalu menyebarkan ajaran yang dianutnya di timur India sekitar abad ke-6 dan 4.

Siddharta meninggal di usia 80. Jasadnya dikremasi dan sisa pembakaran dirinya dibagikan kepada para pengikut dan bangsawan setempat di zamannya.

Pada awalnya, sisa tubuh seperti tulang itu hanya ditujukan pada satu klan saja, yakni klan Shakya. Namun, enam klan lain dan seorang raja turut menuntut peninggalan suci tersebut.

Demi menghindari terjadinya pertempuran, pemuka agama kemudian membagi potongan sisa tubuh itu ke dalam 10 bagian: delapan bagian sisa tubuh seperti tulang, satu abu sisa kremasi pada onggokan kayu pembakar, dan satu abu untuk disimpan di dalam pot.

Satu abu bagian akhir itu kemudian dimasukkan ke dalam stupa untuk dapat disembah oleh para pengikutnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya