Liputan6.com, Melbourne - Leigh Aiple, pria Australia berusia 31 tahun, merasa kelebihan berat badan dan rela membayar lebih dari Rp 350 juta untuk menjalani operasi plastik di Malaysia.
Kurang dari 24 jam setelah pulang kembali ke Melbourne, Leigh meninggal dunia.
Baca Juga
Atas permintaan ibunya, Grace Westworth, sudah dilakukan penyelidikan soal perawatan yang diterima Leigh selama berada di klinik Beverly Wilshire di Kuala Lumpur. Seorang koroner dari negara bagian Victoria menemukan standar perawatannya jauh dengan Australia.
Advertisement
"Saya tidak ingin ada orang lain berisiko," kata Grace kepada ABC Australia Plus seperti dikutip pada Selasa (19/12/2017).
"Benar-benar berbahaya, ia berisiko tinggi tapi mereka tidak berhenti."
Koroner Caitlin English mengatakan kasus ini menunjukkan perlunya mereka yang ingin keluar negeri sebagai turis kesehatan menyadari risiko yang mereka hadapi.
"Turis medis asal Australia belum tentu sadar perbedaan standar praktik medis dan pengelolaan perawatan pasien," katanya.
Operasi menjadi mimpi buruk
Gorgeous Getaways sebuah agen perjalanan medis bepusat di Selandia Baru mengiklankan klinik Malaysia tersebut sebagai "pusat medis bergaya butik" dengan "para ahli yang sangat terampil".
Leigh menginginkan perubahan ekstrem pada tubuhnya.
Kejadian ini terjadi di tahun 2014, saat ia menjalani dua operasi untuk mengubah penampilannya sekaligus di klinik Malaysia dalam waktu lima hari.
Ia melakukan sedot lemak di perutnya, mengangkat kelopak mata bagian atas, mengencangkan paha, membentuk dada dan mengisi bibirnya, dengan operasi pertama yang berlangsung delapan hingga 10 jam.
"Dia tidak bisa bergerak, dia tidak berdiri atau bangun dari tempat tidur setelah operasi pertama," kata Grace.
Dalam email kepada ibunya, Leigh mengeluh karena sesak napas, detak jantung yang cepat dan pingsan.
"Ia mengatakan muntah-muntah dan jantungnya berdetak cepat," kata Grace.
Namun lima hari kemudian, ia diperbolehkan terbang untuk pulang setelah luka-lukanya yang sempat terbuka dirawat.
"Ia turun dari pesawat dengan kursi roda, saya tanya: 'Bagaimana kabarmu, Leigh?' Dia berkata: 'Mengerikan - saya sangat kesakitan, saya tak bisa menggambarkan rasa sakitnya', ," katanya.
"Ketika saya melihat lubang yang menganga saya tak percaya apa yang saya lihat, saya bisa melihat dalamnya."
Grace kemudian menemukan anaknya pingsan di kamarnya keesokan harinya. Dia meninggal beberapa saat kemudian.
Operasi yang 'tak akan pernah dilakukan' di Australia
Presiden dari lembaga Australian Society of Plastic Surgeons dan mantan kepala bagian operasi plastik di Royal Melbourne Hospital, Profesor Mark Ashton, sudah meninjau perawatan yang didapatkan Leigh di Malaysia untuk kepentingan penyelidikan.
Ia mengatakan beberapa operasi yang dilakukan Leigh tidak akan pernah dilakukan di Australia, dan perawatan yang ia terima sangatlah tidak memadai.
Laporan Pemeriksa menyebutkan Leigh memiliki beberapa luka terbuka yang mengeluarkan cairan, dan perawat menemukan ia kesakitan di kamar hotelnya dengan sepreinya berlumuran darah.
Profesor Ashton mengatakan Leigh akan diperlakukan sebagai pasien "berisiko tinggi" di Australia, bukan berisiko sedang seperti yang dikatakan ahli bedah Malaysia, Dr Nasir Zahari, karena memiliki berat badan 124 kilogram.
Kajian tersebut juga mencatat tingkat penanganan penggumpalan darah berada di bawah tingkat yang direkomendasikan Australia.
Leigh meninggal setelah menderita deep vein thrombosis (DVT), ketika gumpalan darah berpindah dari kakinya ke paru-parunya. DVT biasanya dikaitkan dengan terbang.
Namun, Profesor Ashton mencatat lewat autopsi ditemukan penggumpalan darah telah terjadi beberapa minggu saat berada di klinik, sebelum ia terbang.
Mempertaruhkan nyawa
Diperkirakan 15.000 warga Australia setiap tahunnya bepergian ke luar negeri untuk operasi kosmetik dan gigi.
Daya tariknya adalah biaya operasi di luar negeri yang murah. Leigh membayar kira-kira sepertiga dari biaya yang harus dikeluarkannya di Australia.
"Pertanyaan yang jelas berapa harga hidup Anda? Leigh baru berumur 31 tahun dan dia sudah meninggal," kata Profesor Ashton.
Profesor Ashton mengatakan tidak ada peraturan soal pariwisata medis, dengan paket yang dirancang bagi pasien untuk menjalani operasi besar-besaran dalam waktu sesingkat-singkatnya, terlepas dari risikonya.
"Operasi di luar negeri memiliki risiko yang signifikan karena tidak ada jaminan mengenai standar perawatan yang akan Anda terima," kata Profesor Ashton.
Ia mengatakan tidak ada yang namanya standar internasional, terlepas dari apa yang diiklankan.
"Ketika Anda pergi ke klinik, mereka semua terlihat profesional dan saat mencoba mencari tahu standar perawatan dan tingkat keahlian yang mereka miliki, sangat sulit untuk diketahui."
Dia mengatakan operasi sering dilakukan "tanpa dilihat dahulu", seperti pada kasus Leigh, di mana dia hanya berkonsultasi dengan dokter bedah lima hari sebelum operasi.
Di Australia, seorang ahli bedah memerlukan empat sesi konsultasi sebelum operasi.
Perusahaan ambil keuntungan dari keselamatan pasien
Emily Hart, pengacara medis dari Maurice Blackburn, mengatakan warga Australia yang sedang berpikir untuk operasi kosmetik di luar negeri harus belajar dari kematian Leigh.
"Standar di Malaysia dipenuhi dalam kasus ini, tapi tidak dengan standar Australia," kata Emily.
"Perusahaan-perusahaan ini mengambil keuntungan dari keselamatan pasien."
Profesor Ashton mengatakan pasien yang "gagal" menjalankan operasi kemudian pulang ke Australia untuk diperbaiki, dan seringkali mengorbankan pajak rakyat.
"Kami melihat tiga atau empat kasus dalam sebulan di Melbourne, tapi di Perth dan Brisbane lebih banyak," kata Profesor Ashton.
Dalam kasus baru-baru ini, seorang anak berusia 19 tahun kehilangan payudara dan putingnya setelah menjalani operasi yang gagal di luar negeri.
Koroner telah menganjurkan Kepala Dinas Kesehatan Victoria untuk mengeluarkan peringatan bahwa perawatan medis di luar negeri dapat berbeda dengan perawatan medis di Australia.
Advertisement