Liputan6.com, London - Sejak didirikan pada tahun 2002, rubrik Saturday Profile milik The New York Times berupaya mengulas orang-orang berpengaruh dari seluruh dunia, tentunya orang biasa yang mungkin belum pernah didengar pembaca.
Tokoh yang diangkat biasanya mempunyai pengalaman menarik, berbeda dan mampu melakukan hal-hal luar biasa untuk lingkungan sekitarnya. Perubahan.
Baca Juga
Orang tersebut biasanya tidak terlibat dalam sistem pemerintahan, tidak terjun di dunia akting untuk melakoni peran sebuah film layar lebar, atau penulis buku. Subjek yang biasa diangkat dalam Saturday Profile, bisa saja, dia yang baru keluar dari penjara atau dia yang baru saja menulis novel ke-1.547-nya.
Advertisement
Tahun ini, Saturday Profile mengulas para perempuan yang pernah mengalami pengalaman buruk dalam hidupnya, seperti misal kekerasan, pelecehan seksual atau sejenisnya. Beberapa di antaranya menceritakan tentang momen #MeToo. Akan tetapi, mereka tidak menyerah pada kehidupan dan mengucilkan diri.
Dengan pengalaman pahit yang menimpanya, mereka bangkit dari keterpurukan dan berusaha membantu orang lain, terutama mereka yang mengalami kejadian serupa.
Seperti misal kisah Henda Ayari, seorang warga negara Prancis yang tinggal di kawasan Afrika Utara. Henda merupakan seorang aktivis anti-Salafi. Dia mengaku telah diperkosa oleh seorang profesor ternama dari Oxford University.
Menteri Luar Negeri Swedia, Margot Wallstrom, seorang pendukung "kebijakan luar negeri feminis", 'blak-blakan' kepada jurnalis New York Times tentang pelecehan yang dialaminya saat masih muda. Kala itu, ia dipaksa berhubungan badan oleh kekasihnya dan selama ini dia bungkam atas insiden itu.
Profil favorit New York Times tahun ini adalah kisah Yu Xiuhua, yang kini menjadi salah satu penyair China yang karyanya paling banyak dibaca. Dia adalah penderita cerebral palsy (lumpuh otak) dan tinggal di sebuah kawasan peternakan selama 41 tahun. Dia gemar menulis, meski tak lulus SMA. Bahkan, dia mengaku bisa menulis sebelum bisa membaca.
Sekarang, dia kerap diundang ke berbagai acara untuk menjadi pembicara utama, seperti misal di Stanford University. Meski demikian, dia menolak dibandingkan dengan Emily Dickinson.
Kesebelas perempuan paling berpengaruh di dunia yang masuk dalam majalah New York Times, Selasa 20 Desember 2017 -- salah satunya datang dari Indonesia -- adalah Manal al-Sharif, Emma Morano, Margot Wallstorm, Henda Ayari, Olive Yang, Asli Erdoğan, Letizia Battaglia, Yu Xiuhua, Alice Schwarzer, Maryam Sharif, dan istri dari mendiang Gus Dur Sinta Nuriyah.
Berikut kisah lima di antara 11 wanita paling berpengaruh di dunia untuk tahun 2017:
1. Manal al-Sharif
Manal Al-Sharif adalah seorang aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan di negara asalnya, Arab Saudi. Pada bulan Mei 2011, Al-Sharif memfilmkan dirinya mengendarai mobil di Saudi, dimana seluruh kaum hawa dilarang mengemudi.
Dia mengunggah videonya di YouTube, meminta para wanita untuk berpartisipasi dalam kampanyenya "Women2Drive" pada tanggal 17 Juni tahun itu. Viral, video tersebut diputar lebih dari 700.000 kali dalam satu hari. Tapi kemudian, dia dipenjara selama sembilan hari karena kampanyenya itu.
Al-Sharif diakui sebagai salah satu dari "100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia" oleh Arabian Bussines. Dia juga dianugerahi Vaclav Havel Prize untuk kategori Creative Dissent dalam acara Oslo Freedom Forum. Al-Sharif adalah konsultan keamanan IT wanita pertama di Saudi.
Dia bekerja untuk perusahaan minyak Saudi, Aramco, selama 10 tahun.
Advertisement
2. Margot Wallstrom
Margot Wallström, adalah salah satu diplomat top Swedia. Selama masa jabatannya di PBB, dia membanggakan anggota lainnya karena "vokal" meyuarakan hak-hak para perempuan di dunia, termasuk mereka yang dianiaya, diperkosa, dan disiksa.
Sebagai seorang Menteri Luar Negeri Swedia, Margot Wallstrom berhasil melepaskan diri dari kekerasan yang mencengkeramnya pada usia 20-an. Dia kemudian mengubah pandangan hidupnya mengenai posisi perempuan di mata lelaki.
3. Henda Ayari
Henda Ayari menciptakan "badai" saat dia mengecam gerakan Islam radikal. Dalam kampanye #MeToo, dia mengaku telah diperkosa oleh seorang profesor Oxford University, Tariq Ramadan.
Ayari menuduh Ramadan, yang juga cucu pendiri Ikhwanul Muslimin, memperkosa dan melakukan pelecehan seksual di kamar hotel di Paris pada tahun 2012. Sementara itu, pengacara dari pihak Ramadan mengatakan bahwa kliennya menolak tuduhan tersebut. Ia mengajukan keberatan dan menyebutnya sebagai fitnah.
Ayari yang kini berusia 40 tahun telah menjadi penulis. Wanita keturunan Tunisia-Aljazair itu saat ini memimpin Libératrices, sebuah badan amal pendukung perempuan yang mengalami kasus kekerasan, serta ditundukkan oleh ekstremisme Islam.
Ayari baru-baru ini menulis sebuah buku berjudul "I Chose to be Free" tentang pelariannya dari Salafisme di Prancis. Dalam buku itu, Ayari menyebutkan seorang intelektual Islam yang memperkosanya dan menyebutnya sebagai "Zubair". Ternyata intelektual Islam tersebut -- menurut klaimnya -- tak lain adalah Tariq Ramadan.
Ayari telah menerbitkan buku itut untuk menceritakan kisah hidupnya, tentang bagaimana dia memutuskan untuk meninggalkan Salafi dan melepaskan jilbabnya agar bisa hidup sebagai seorang Muslim yang "bebas".
Advertisement
4. Aslı Erdoğan
Aslı Erdoğan adalah seorang novelis terkenal dan aktivis hak asasi manusia di Turki. Dia juga seorang kolumnis untuk surat kabar Özgür Gündem, seorang oposisi pro-Kurdi, dan anggota dewan penasehat. Pada tanggal 16 Agustus 2016, Erdoğan ditahan oleh polisi Istanbul. Penahanannya terjadi bersamaan dengan penangkapan lebih dari 20 jurnalis Özgür Gündem.
Pada tanggal 23 November 2016, sebuah pengadilan di Istanbul menjatuhkan tuntutan untuk melawan Erdoğan. Namun, tuduhan terorisme masih diberlakukan untuknya dan dakwaan tersebut membuat dirinya dijatuhi hukuman seumur hidup.
Pada tanggal 29 Desember, saat persidangan dibuka, Erdoğan mendapat pembebasan bersyarat. Dia dibebaskan dengan syarat dilarang bepergian pada malam hari.
Larangan perjalanan tersebut kemudian dicabut untuk dua orang, yaitu Erdoğan dan rekannya Necmiye Alpay pada 22 Juni 2017. Tanggal persidangan berikutnya ditetapkan pada 31 Oktober 2017.
Selama mendekam dalam tahanan, Aslı Erdoğan kerap menulis tentang isu-isu kontroversial seperti penyiksaan, pelanggaran hak asasi manusia di penjara, kekerasan terhadap perempuan, dan hak Kurdi.
Özgür Gündem didirikan pada tahun 1992 dan sering melaporkan konflik Kurdi-Turki. Koran tersebut sering diselidiki dan dibredel. Banyak wartawannya ditangkap oleh otoritas setempat.
5. Sinta Nuriyah
Semasa hidupnya, mantan ibu negara Sinta Nuriyah dinilai sebagai feminis yang aktif menyebarluaskan toleransi. Dia adalah istri dari Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Sinta Nuriyah merupakan pendiri sekaligus pengelola Puan Amal Hayati, sebuah lembaga sosial-kemanusiaan yang memiliki kepedulian terhadap pemberdayaan kaum perempuan dan anak. Lembaga yang didirikan di Jakarta 3 Juli 2000 ini banyak fokus pada kampanye dan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Aktivitas Sinta Nuriyah memang tak bisa dipisahkan dengan aktivitas suaminya. Meskipun Gus Dur telah meninggal, Sinta tetap konsisten seperti suaminya yang selalu menyuarakan Hak Asasi Manusia, pemberdayaan perempuan, dan kebebasan beragama.
Ia juga bergabung dalam beberapa organisasi, yaitu menjadi anggota Kongres wanita Indonesia (Kowani) dan anggota Komite Nasional Kedudukan wanita Indonesia (National Commission on the Status of Women).
Advertisement