Liputan6.com, Washington - Pada hari ini, 22 Desember 1941, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill tiba di Washington DC, Amerika Serikat untuk menemui Presiden AS kala itu, Franklin Delano Roosevelt (FDR).
Mereka hendak membicarakan mengenai strategi dan perdamaian masa depan Anglo-AS. Pertemuan dilakukan setelah AS, akhirnya, terseret langsung dalam perangan Pasifik (Perang Dunia II) dan Eropa, sebagaimana dikutip dari History.com.
Baca Juga
Maka dari itu, adalah sebuah kewajiban bagi Inggris dan AS untuk menciptakan kedamaian di kawasan tersebut. Kesepakatan dari kedua belah pihak pun lahir, Churchill dan FDR memutuskan untuk menggabungkan dan mengkoordinasikan strategi militer untuk menghadapi Jerman dan Jepang.
Advertisement
Selain itu, mereka juga menyusun invasi bersama masa depan di benua Eropa. FDR juga menyetujui peningkatan radikal dalam program produksi senjata AS.
Pada akhir tahun 1943, jumlah pesawat operasional AS menjadi 45.000, dari yang semula berjumlah 12.750 pesawat. Sementara itu, sebanyak 15.450 tank -- yang sebelumnya diusulkan -- juga ditambah, sehingga total menjadi 45.000 tank. Pasokan senapan mesin yang diproduksi pun dinaikkan hampir dua kali lipat, menjadi 500.000.
Di antara hasil penting pertemuan itu adalah sebuah deklarasi yang dikeluarkan oleh Churchill dan FDR yang ditandatangani oleh 26 negara. Deklarasi ini meminta agar keduapuluhenam negara tersebut bersedia menggunakan seluruh sumber dayanya untuk mengalahkan kekuatan Poros (Axis) dan tidak menuntut perdamaian terpisah.
Konfederasi itu lalu menyebut dirinya sendiri sebagai "Perserikatan Bangsa-Bangsa". Dua puluh enam negara yang dipimpin oleh AS, Inggris, dan Uni Soviet tersebut menyatakan tujuan terpadunya untuk menjamin kebebasan kehidupan, kebebasan beragama, serta kebebasan untuk melestarikan hak-hak manusia dan keadilan.
Pertemuan Churchill dan FDR menjadi cetak biru (blueprint) untuk melahirkan organisasi perdamaian internasional dan menghancurkan fasisme.
Di hari yang sama, tahun 1972, AS mengumumkan bahwa pemboman di Vietnam Utara akan terus diperluas, apabila Hanoi tidak segera melakukan negosiasi dengan Washington.
Sikap tersebut diambil AS lantaran sebelumnya, tanggal 13 Desember, negosiator dari Vietnam Utara memutuskan walk out dari perundingan rahasia di Paris, Prancis.
Mengetahui hal itu, Presiden AS Richard Milhous Nixon marah. Ia mengeluarkan ultimatum untuk Vietnam Utara agar menyuruh perwakilannya kembali ke meja konferensi dalam waktu 72 jam, atau ia akan melakukan "sesuatu".
Sayangnya, Vietnam menolak permintaan Nixon. Menanggapi keputusan Vietnam, Presiden AS itu kemudian memerintahkan Operasi Linebacker II (Operation Linebacker II), sebuah operasi militer udara besar-besaran untuk menghancurkan Hanoi.