Liputan6.com, Washington DC - Benjamin Franklin, Bapak Bangsa Amerika Serikat, pernah mencetuskan sepenggal kalimat yang kini menjadi pepatah ternama.
"Hanya ada segelintir hal yang bersifat 'pasti' dalam hidup ini; (membayar) pajak dan kematian," tulis Franklin dalam surat yang diperuntukkan kepada Jean-Baptiste Leroy pada 1789.
Terkhusus soal kematian, maut memang tak pandang bulu, pasti akan terjadi kepada siapa pun yang bernapas.
Advertisement
Namun, di samping sifatnya yang "pasti", kematian juga penuh dengan misteri.
Di samping kesaksian klise tentang kematian -- di mana sejumlah orang kerap menceritakan tentang "berhadapan dengan cahaya putih, seperti berada di ujung terowongan" -- belum ada satu manusia pun yang mampu mendeskripsikan pengalaman tentang kematian.
Baca Juga
Akan tetapi, ada satu orang yang mengklaim mampu menggambarkan secara komprehensif dan ilmiah mengenai apa yang dirasakan oleh orang yang mati -- atau setidaknya, mereka yang nyaris meninggal, tapi berkat bantuan medis berhasil lolos dari ajal.
Ia adalah Sam Parnia, Direktur Riset Bidang Resusitasi di Stony Brook University School of Medicine, Amerika Serikat.
Parnia telah melakukan salah satu penelitian tentang fenomena near-death experience (pengalaman nyaris mati) pada sejumlah pasien kritis yang pernah menerima penanganan resusitasi.
Sebagai bagian dari riset, Parnia mewawancarai lebih dari 100 orang yang telah dihidupkan kembali setelah mengalami serangan jantung fatal. Hampir separuh dari seluruh subjek penelitian mengaku bahwa sekelebat memori masa lalu terlintas di dalam benar mereka kala mengalami momen di ambang kematian.
Hasil penelitian yang dipublikasi dalam Journal of Resuscitation pada Desember 2014 itu mengelompokkan berbagai memori yang dialami oleh para subjek penelitian. Pengelompokkan itu, menurut Parnia, dapat menjadi salah satu bukti bahwa kematian merupakan sebuah pengalaman yang jauh lebih beragam.
Memori tersebut meliputi:
- Berbagai macam ketakutan dan paranoia
- Melihat binatang dan tumbuhan
- Melihat sinar terang
- Menjadi korban kekerasan dan persekusi
- Deja vu (mengalami pengalaman yang berulang)
- Melihat anggota keluarga
- Mengenang kembali momen-momen sebelum resusitasi
Terkait mengenang kembali momen-momen sebelum resusitasi, Parnia menilai bahwa temuan itu tergolong menarik. Sebab, pada sebagian besar pasien resusitasi, individu tersebut seharusnya tak lagi sadar dan mampu mengenang momen-momen sebelum dirinya masuk dalam kondisi kritis.
"Otak tak lagi berfungsi saat jantung berhenti berdetak. Biasanya saat memasuki detik ke-20 hingga ke-30," kata Parnia.
"Namun, dalam beberapa kasus (hanya sekitar 2 persen), ada beberapa pasien yang masih memiliki kesadaran dan terus berlanjut sampai tiga menit, atau memasuki periode ketika jantung tak lagi berdetak," kata Parnia memaparkan pengalaman para subjek penelitian di ambang kematian.
Pengakuan Para Subjek Penelitian
Salah seorang subjek penelitian mengatakan, "Saya takut, saya diberi tahu bahwa saya akan meninggal. Dan satu-satunya memori yang tebersit dalam pikiran saya adalah kata terakhir yang saya ucapkan."
Subjek penelitian lain mengaku bahwa dirinya merasakan siksaan fisik yang cukup terperih semasa saat mengalami "near-death experience".
"Saya merasa seperti diseret ke dalam air dan tenggelam. Saya tidak bisa berenang. Sungguh mengerikan," tambahnya.
Tak semua pengalaman bersifat buruk. Sekitar 22 persen pasien memiliki pengalaman yang menyenangkan, seperti melihat tanaman dan hewan, keluarga mereka, atau hanya merasakan cahaya hangat sebelum akhirnya akhirnya ajal menjemput.
Advertisement
Pengakuan dari Berbagai Individu Lain
Pada saat penelitian Sam Parnia dipublikasikan, sebuah forum internet di situs Reddit juga turut membahas isu yang sama, dengan ratusan warganet mengutarakan pengalaman masing-masing seputar near-death experience.
Jelas tanggapan tersebut tak terverifikasi. Namun, berbagai pengakuan itu memiliki keselarasan dengan simpulan umum penelitian Parnia.
Adam Withnall, penulis untuk media Inggris The Independent telah menulis ulasan tanggapan yang panjang dan komprehensif. Ringkasnya, secara keseluruhan, menemukan bahwa memori seputar "near-death experience" dapat dikelompokkan secara luas ke dalam tiga kategori.
"Ada orang-orang yang sama sekali tidak merasakan apa-apa; mereka yang memiliki pengalaman cahaya dan interaksi dengan orang lain; dan mereka yang merasa bisa melihat apa yang terjadi di sekelilingnya saat mereka 'mati' tanpa bisa melakukan apa pun," kata Withnall.
Seorang yang lain menulis, "Dunia saya menjadi lembut dan berkabut dan semuanya memudar menjadi hitam. Hal berikutnya yang saya ingat adalah membuka mata dan mendengar seorang dokter berkata 'kita berhasil menghidupkannya kembali'."
Ada pula yang mengaku bahwa "Saya melihat ketiadaan, hitam, lama kosong, tapi saya merasa seperti segala sesuatu yang hebat dan tidak ada yang salah sama sekali. Seperti alam baka."
Parnia berharap risetnya mampu membuka pintu untuk penelitian lebih lanjut tentang pengalaman menjelang kematian, dan juga akan mendorong orang memikirkan ajal dengan cara yang lebih ilmiah, dan membawa kematian keluar dari ranah agama atau takhayul.
"Siapa pun dengan pikiran yang relatif objektif akan setuju bahwa ini adalah sesuatu yang harus diselidiki lebih lanjut," kata Parnia
"Kami punya sarana dan teknologinya. Sekarang saatnya untuk melakukannya."