HEADLINE: Antraks Masuk Daftar Senjata Pemusnah Massal Korut?

Ancaman dari Korea Utara bukan hanya berupa rudal dan nuklir. Pyongyang diduga sedang mengembangkan senjata biologis.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 29 Des 2017, 00:12 WIB
Diterbitkan 29 Des 2017, 00:12 WIB
Kim Jong-un
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un memantau dari sejumlah monitor peluncuran rudal balistik antar benua di sebuah ruangan di Korea Utara (29/11). (KCNA/Korea News Service via AP)

Liputan6.com, Seoul - Ancaman dari Korea Utara bukan hanya berupa misil yang konon bisa menjangkau daratan Amerika Serikat, senjata nuklir, bom hidrogen, atau tentara aktif yang jumlahnya melampaui 6 juta personel. 

Petunjuk mengerikan baru-baru ini didapat dari tubuh seorang pembelot Korut. Antibodi antraks ternyata mengalir dalam darah eks prajurit itu. 

"Antibodi antraks ditemukan pada salah satu pembelot Korut yang melarikan diri tahun ini," kata pejabat Korsel, seperti dikutip dari Channel A.

Seperti dikutip dari The Telegraph, Kamis, 28 Desember 2017, keberadaan antibodi bisa berarti dua hal: ia pernah menderita antraks atau divaksin agar kebal terhadap penyakit tersebut.

Jika yang kedua yang terjadi, dunia pantas khawatir. Sebab, rezim Kim Jong-un bisa jadi sedang mengembangkan senjata biologis dengan penyakit mematikan itu. 

"Korut punya persediaan senjata kimia dalam jumlah besar. Namun, ada satu yang tak mendapat banyak perhatian dan paling kukhawatirkan adalah program senjata biologis mereka," kata Andrew Weber, mantan Asisten Menteri Pertahanan AS, seperti dikutip dari Fox News, Kamis malam (28/12/2017).

Terkait senjata biologis, menurut Weber, dalam jumlah kecil saja bisa membawa hasil yang sangat mematikan. "Dalam itungan ons atau pon sudah cukup. Jutaan dosis antraks mematikan bisa terkandung dalam beberapa pon saja...Untuk cacar air bahkan hanya beberapa gram," kata dia.

Tak seperti nuklir atau bom, senjata kimia dan biologis sulit dilacak hingga ke pelakunya dan rentan penyangkalan.

Antraks adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas. Sama dengan maknanya dalam bahasa Yunani, kulit para korbannya akan berubah hitam, mirip batubara.

Jika tak segera dirawat, antraks bisa membunuh dalam waktu 24 jam. Sekitar 2.000 orang di dunia terinfeksi setiap tahunnya. Biasanya, penularan antraks adalah dari ternak ke manusia.

Penularan tersebut melalui tiga cara yakni, melalui kulit, oral atau pencernaan, dan pernapasan (lewat spora antraks). Penyakit itu tidak dapat menular antarmanusia, seperti halnya flu.

Sejauh ini belum terkonfirmasi apakah pembelot yang kebal terhadap antraks adalah Oh Chong-song, yang pelariannya berlangsung dramatis pada November 2017. Tak hanya kurang gizi dan luka parah akibat kena tembak empat kali, di dalam perut pria 24 tahun itu ditemukan cacing parasit sepanjang 26 cm. Ia juga mengidap Hepatitis B.

Laporan intelijen Korea Selatan hanya menyebut, antraks ditemukan dalam tubuh salah satu dari empat pembelot yang kabur dari Utara sepanjang 2017.

Analis pertahanan senior Shin Jong-woo dari Korea Defense Security Forum (KODEF) mengatakan, vaksin antibodi antraks mungkin diberikan kepada tentara Korea Utara yang berpartisipasi dalam proyek senjata biologis.

Namun, saat media Amerika Serikat CNN mencoba untuk mengonfirmasi kabar tersebut, baik pihak intelijen dan militer Korea Selatan mengaku belum mampu memberikan klarifikasi.

Pejabat kedua lembaga itu juga mengatakan, tak ada satu pun di antara empat pembelot yang mengaku bekerja di unit tempur biokimia Korea Utara.

Vaksin Antraks untuk Pejabat Korsel?

Terlepas dari benar atau tidaknya, dugaan Korea Utara sedang mengembangkan senjata biologis bikin Korea Selatan ketar-ketir.

Spekulasi pun menyebar liar. Kantor Kepresidenan Korsel atau Blue House pun terpaksa mengeluarkan klarifikasi pada Pada 24 Desember 2017.

Juru bicara Kepresidenan Park Soo-hyun menjelaskan, badan pencegahan dan pengendalian penyakit Korsel atau Korea Centers for Disease Control and Prevention membeli 1.000 dosis vaksin antraks untuk diberikan kepada badan antiteror dan warga yang terpapar bakteri itu. Vaksin itu tiba di Korsel pada November 2017.

Park menambahkan, Blue House juga membeli 350 dosis vaksin antraks untuk persiapan. Namun, ia menegaskan, pengadaan tersebut dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Presiden Park Geun-hye.

Pengadaan dilakukan pascainsiden 2015, tatkala pihak AS tak sengaja mengirimkan bakteri antraks ke Pangkalan Udara Osan, Korsel. Akibatnya 22 personel terdampak.

Park juga membantah bahwa Presiden Moon Jae-in dan sejumlah pejabat Korsel telah disuntik vaksin antraks tersebut untuk mencegah ancaman senjata biologis dari Korut.

13 Potensi Senjata Biologis Korut

Kim Jong-un mengunjungi Pyongyang Bio-technical Institute, Juni 2015 (Rodong Sinmun)
Kim Jong-un mengunjungi Pyongyang Bio-technical Institute, Juni 2015 (Rodong Sinmun)

Pekan lalu, surat kabar Jepang Asahi Shimbun, mengutip sumber intelijen di Seoul, melaporkan bahwa Korea Utara telah memulai tes untuk memuat bakteri antraks dalam hulu ledak rudal balistik antarbenua mereka.

Pyongyang diduga melakukan tes ketahanan panas dan tekanan untuk memastikan bakteri antraks bisa bertahan di tengah proses pembakaran, yang terjadi saat rudal balistik antarbenua kembali memasuki atmosfer Bumi.

Dugaan itu semakin diperkuat dengan laporan dari Amerika Serikat. Pada 18 Desember 2017, Presiden Donald Trump merilis Strategi Keamanan Nasional 2017 atau National Security Strategy 2017 (NSS 2017).

NSS 2017 adalah dokumen cetak biru yang disiapkan secara berkala oleh presiden. Isinya adalah uraian soal potensi ancaman keamanan terhadap AS dan strategi pemerintah Negeri Paman Sam untuk menghadapinya. 

"Korea Utara telah menghabiskan ratusan juta dolar untuk persenjataannya, termasuk riset mengenai program pengembangan rudal berhulu ledak kimia, biologis dan nuklir," demikian isi cuplikan dokumen tersebut, seperti dikutip dari situs CNN.

Bahkan sejak 2004, Pemerintah AS telah menuduh Pyongyang mengembangkan senjata biologis. 

Laporan kala itu menyebut, "Meski Korea Utara merupakan negara penandatangan Konvensi Anti-Senjata Biologis (BWC), mereka masih terus melanjutkan penelitian di bidang itu."

Meski jadi negara yang meratifikasi BWC, Korut tak menandatangani Chemical Weapons Convention (CWC).

"Korut memiliki ilmuwan dan fasilitas untuk memproduksi biological warfare agent (senyawa agen pembentuk senjata biologis) atau racun," tambah laporan itu.

Namun, dalam sebuah pernyataan pada tahun 2017, Kementerian Luar Negeri Korea Utara membantah tuduhan AS.

"Sebagai negara penandatangan Konvensi Anti-Senjata Biologis (BWC), Korea utara konsisten mempertahankan pendiriannya untuk menentang pengembangan, pembuatan, penimbunan dan kepemilikan senjata biologis," kata pernyataan tersebut.

"AS juga pernah menuduh Irak dengan tuduhan serupa sebelum invasi pada tahun 2003. Namun, faktanya, mereka salah."

Sementara, studi dari Belfer Center for Science and International Affairs, Harvard University pada Oktober 2017 menyebut bahwa Korea Utara masih melanjutkan program pembuatan senjata kimia dan biologis yang diawali sejak era Perang Korea.

Studi itu juga menyimpulkan, "Laporan intelijen dan testimoni dari para pembelot selama beberapa dekade terakhir menunjukkan, Korea Utara memiliki niat dan kemampuan untuk melestarikan program senjata biologis mereka," tulis laporan tersebut.

Studi yang berjudul "North Korea’s Biological Weapons Program,The Known and Unknown" itu juga menyebut, ada 13 biological warfare agent yang dimiliki oleh Korea Utara dan berpotensi untuk dijadikan senjata biologis, meliputi:

1. Bacillus anthracis (Antraks)

2. Clostridium botulinum (Botulisme)

3. Vibrio cholerae (Kolera)

4. Bunyaviridae hantavirus (Korean Hemorrhagic Fever)

5. Yersinia pestis (Pes)

6. Variola (Cacar)

7. Salmonella typhi (Demam Tifus)

8. Coquillettidia fuscopennata (Demam Kuning)

9. Shigella (Disentri)

10. Brucella (Brucellosis)

11. Staphylococcus aureus (Staph)

12. Rickettsia prowazekii (Demam Tifus)

13. T-2 mycotoxin (Alimentary Toxic Aleukia)

Kasus pembunuhan Kim Jong-nam pada Februari 2017 yang diduga kuat tewas akibat racun saraf VX adalah bukti bahwa Korut tak bisa diremehkan.

Meski belum dibuktikan di pengadilan, kuat diduga ada keterlibatan Pyongyang dalam pembunuhan kakak tiri Kim Jong-un itu.

Sebelumnya, pada 2015, sejumlah foto yang dimuat corong media rezim, Rodong Sinmun, menunjukkan bahwa Korea Utara memiliki fasilitas industri pestisida--yang menurut para ahli mampu menghasilkan senjata biologis dan kimia.

"Analisis terhadap foto itu menunjukkan bahwa fasilitas tersebut diketahui bernama The Pyongyang Bio-Technical Institute, mampu memproduksi senjata biologis untuk berbagai ukuran, terutama antraks," kata Melissa Hanham, pakar Korea Utara dari James Martin Center for Nonproliferation Studies pada 2015.

Jutaan Orang Terancam

Simbol senjata biologis
Simbol senjata biologis (Wikipedia)

Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) mengategorikan antraks sebagai agen Kategori A: yang berpotensi menimbulkan kematian dalam jumlah besar dan dapat menyebar di area yang luas. 

Nuclear Threat Initiative juga menegaskan bahwa antraks--atau apa pun jenis bakteri dan virus yang dipakai--senjata biologis sangatlah berbahaya.

"Senjata biologis adalah salah satu senjata mematikan yang pernah diproduksi oleh manusia."

Di tengah kekhawatiran tentang rudal dan pengembangan senjata nuklir Korut, kabar tentang antraks tentu saja menambah genting situasi, terutama bagi tetangga terdekatnya, Korea Selatan. 

"Rudal, pesawat tak berawak, pesawat terbang, penyemprot, dan manusia adalah sarana potensial untuk pengiriman senjata biologis," kata laporan dari Belfer Center.

Pengiriman secara manual menyulitkan pencegahan oleh pihak Korea Selatan dan sekutunya.

Selain itu, senjata kimia dan biologis Korut yang diduga berjumlah besar (2.000-2.500 metrik ton), serta personel militer yang cukup mumpuni akan semakin menyulitkan Negeri Ginseng.

"Korea Utara memiliki 200.000 pasukan khusus, bahkan beberapa di antaranya dipersenjatai senjata biologis yang akan cukup untuk menghancurkan Korea Selatan," tulis laporan Belfer Center.

Sebuah laporan Bulletin of Atomic Scientists memperingatkan bahwa Korea Utara dapat menyerang Seoul dengan "lautan sarin" jika konflik pecah. Jika itu terjadi, jutaan orang berpotensi tewas atau luka. 

Sanksi untuk Tokoh Nuklir Korut

Kim Jong-un (tengah duduk) bersama Ri Pyong-chol (kedua dari kiri), Kim Jong-sik (tengah belakang Kim Jong-un), dan Jang Chang-ha (kedua dari kanan) (KCNA)
Kim Jong-un (tengah duduk) bersama Ri Pyong-chol (kedua dari kiri), Kim Jong-sik (tengah belakang Kim Jong-un), dan Jang Chang-ha (kedua dari kanan) (KCNA)

Sulit untuk memastikan senjata pemusnah massal apa saja yang dimiliki Korut. Negara tersebut menutup diri rapat-rapat dari dunia luar.

Menyerang frontal ke jantung Pyongyang juga tak mungkin dilakukan. Sebab, tak ada bukti bahwa rezim Kim Jong-un menghadirkan ancaman nyata bagi dunia.

Sejauh ini, cara efektif untuk menghentikan program senjata pemusnah massal Korea Utara adalah dengan menerapkan sanksi ekonomi. Tujuannya, agar rezim Kim Jong-un tak mendapat pasokan dana dan material untuk melanjutkan ambisinya.

Amerika Serikat juga telah memberlakukan sanksi kepada dua pejabat Korea Utara yang disebut telah memimpin pengembangan nuklir.

Departemen Keuangan AS mengatakan bahwa dua pejabat tersebut, Kim Jong-sik dan Ri Pyong-chol, menjadi tokoh kunci program rudal balistik Korea Utara.

Dikutip dari BBC, sanksi baru itu akan memblokir transaksi kedua orang tersebut yang dilakukan di AS.

Pada dasarnya, sanksi tersebut membekukan aset yang mungkin mereka miliki di Amerika.

Baik Kim Jong-sik dan Ri Pyong-chol kerap terlihat dipotret dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un saat peluncuran rudal.

Sebuah investigasi mengatakan bahwa kedua orang tersebut, bersama dengan pengembang senjata Jang Chan-ha, dipilih sendiri oleh Kim Jong-un.

Ri Pyong-chol disebut-sebut sebagai mantan Jenderal Angkatan Udara yang mendapat pendidikan di Rusia.

Sementara itu, Kim Jong-sik adalah seorang ilmuwan roket veteran. Mereka berdua merupakan dua di antara 16 warga Korea Utara yang dikenai sanksi teranyar PBB.

Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi baru terhadap Korea Utara pada 22 Desember 2017 dalam merespons uji coba rudal Korut pada 29 November tahun yang sama.

Korea Utara mengatakan bahwa sanksi tersebut adalah tindakan perang dan menyebut sanksi itu setara dengan blokade ekonomi total.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya