Liputan6.com, Washington, DC - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengawali tahun baru 2018 dengan retorika.
Dalam pidatonya, Kim Jong-un mengatakan bahwa ada tombol nuklir di mejanya, yang kapan pun siap meluncurkan rudal nuklirnya ke Amerika Serikat.
Advertisement
Baca Juga
Tidak mau kalah, Donald Trump pun membalas lewat kicauan di akun Twitternya. Miliarder nyentrik itu mengatakan, tombol nuklir AS lebih besar, lebih kuat, dan lebih berfungsi dibanding milik Korut.
Advertisement
Pertanyaannya, apakah Donald Trump punya tombol nuklir?
Ternyata, Donald Trump, secara harfiah, tidak memiliki tombol nuklir.
Akan tetapi, sebagai orang nomor satu di Negeri Paman Sam, Donald Trump punya wewenang untuk meluncurkan senjata nuklir ke pihak lawan yang dianggap mengancam keselamatan AS.
Akan tetapi, meluncurkan senjata pemusnah massal itu tak sesederhana memencet tombol untuk mengganti saluran televisi. Prosesnya melibatkan biscuits (biskuit) dan football (sepak bola). Maksudnya?
Pada 20 Januari 2017, seorang petugas militer diberi tugas membawa tas khusus yang berwarna hitam.
Segera setelah Donald Trump mengucap sumpah, menggantikan Barack Obama sebagai Presiden AS, tas itu diserahkan pada sang miliarder nyentrik.
Tas tersebut tenar dengan istilah "nuclear football", yang dibutuhkan jika AS berniat menembakkan senjata nuklir.
Secara teoretis, tas itu tak pernah meninggalkan sisi presiden. Pada Agustus 2017 lalu, seorang ahli mengatakan pada CNN bahwa bahkan saat Donald Trump sedang main golf, tas itu mengikutinya berkeliling dengan mobil golf.
Â
Isi Tas Nuklir Donald Trump
Apa isi tas tersebut? Berbeda dengan bayangan banyak orang, tak ada tombol di dalamnya, apalagi jam yang bisa diatur berdetak hingga ke momentum ledakan.
Yang ada di dalam tas tersebut adalah alat komunikasi dan buku rencana perang, yang didesain untuk membuat keputusan secara cepat.
Pada 1980, Bill Gulley, mantan direktur Kantor Militer Gedung Putih, mengatakan, ada tiga pilihan serangan balasan yang ada dalam tas tersebut: rare, medium, atau well done.
Sementara, "biscuit" mewakili kartu-kartu yang berisi kode yang harus dibawa setiap saat oleh presiden. Kartu-kartu tersebut tak disimpan di dalam tas "nuclear football".
Jika presiden berniat memerintahkan serangan, ia akan menggunakan kode-kode tersebut untuk mengidentifikasi dirinya ke pihak militer.
Pasca-disumpah jadi presiden, ABC News bertanya ke Trump soal bagaimana perasaannya setelah menerima "biskuit" tersebut.
"Saat mereka menjelaskan apa yang terwakili di balik itu dan kehancuran yang bisa diakibatkannya, momentum itu sangatlah serius," kata Trump. "Ini sangat, sangat menakutkan, dalam arti tertentu."
Mantan ajudan Bill Clinton, Robert "Buzz" Patterson mengklaim eks bosnya itu pernah kehilangan kode-kode tersebut saat masih menjabat sebagai presiden.
Patterson mengatakan, Clinton menyimpan "biscui"' itu di dalam kantong celananya, ditumpuk dengan kartu kredit dan diikat karet gelang.
Pada pagi ketuka skandal seks dengan Monica Lewinsky pecah, Clinton mengaku, ia tak melihat kode-kode itu selama beberapa waktu.
Petinggi militer lain, Jenderal Hugh Shelton, juga mengklaim Clinton kehilangan "biscuit" tersebut selama beberapa bulan.
Advertisement
Begini Prosedur Presiden AS Luncurkan Nuklir
Setelah mengidentifikasi dirinya dengan menggunakan kode yang ada dalam "biscuit", presiden meneruskan perintah ke Pemimpin Kepala Staf Gabungan Militer AS (Chairman of the Joint Chiefs of Staff) -- jabatan tertinggi dalam militer Negeri Paman Sam.
Kemudian, pejabat militer tersebut meneruskannnya ke Markas Komando Strategis AS (US Strategic Command) di Pangkalan Udara Offutt, Nebraska.
Perintah lalu disampaikan ke tim di lapangan, di darat, laut, maupun udara.
Perintah untuk menembak dikirim melalui kode, yang urutannya harus sesuai dengan kode yang terkunci di brankas tim peluncur senjata nuklir.
Apakah keputusan presiden tersebut bisa dianulir para bawahannya? Jawabannya, itu mungkin terjadi.
Pada November 2017, untuk kali pertama dalam 40 tahun, Kongres AS memeriksa wewenang presiden untuk melancarkan serangan nuklir.
Salah satu ahli yang dimintai pendapat adalah C Robert Kehler, Komandan US Strategic Command dari tahun 2011-2013.
Kepada Komite Kongres, ia ditugaskan untuk melaksanakan perintah presiden untuk menembakkan senjata nuklir. Namun, Kehler menambahkan, hanya jika perintah itu legal.
Dalam kondisi tertentu, ia menjelaskan, "Saya akan mengatakan pada presiden bahwa saya belum siap memprosesnya."
Saat seorang senator bertanya, "Lalu, apa yang akan terjadi?" Kehler menjawab, "Saya tak tahu." (Ein)