Liputan6.com, Moskow - Menjelang Pilpres Rusia 2018 yang digelar pada Maret nanti, sejumlah simpatisan Vladimir Putin telah memulai untuk mendulang dukungan bagi sang presiden petahana.
Terhitung sejak pengujung Desember 2017 organisasi bernama 'Volunteers of Victory' dilaporkan tengah mengumpulkan 300.000 tanda tangan rakyat dari seluruh penjuru Rusia sebagai bentuk dukungan terhadap Vladimir Putin. Demikian seperti dikutip dari Independent, Senin (8/1/2018).
Advertisement
Baca Juga
Tanda tangan itu merupakan syarat agar bakal calon presiden dari kubu independen -- seperti Putin -- mampu ikut bersaing dalam Pilpres Rusia 2018.
Ketua Volunteers of Victory cabang Moskow mengatakan bahwa posko pendulang tanda tangan telah dibuka di ibu kota sejak Desember 2017.
Sementara itu, untuk kawasan Rusia Timur Jauh (Far East), posko pendulang tanda tangan untuk mendukung Putin telah dibuka di Kota Khabarovsk.
Di wilayah Rusia dekat kawasan sengketa Krimea, Volunteers of Victory juga turut membuka posko pendulang tanda tangan.-----Memutuskan untuk Maju Tanpa Dukungan Partai
Putin, pada pertengahan Desember 2017, telah mengumumkan akan maju sebagai kandidat capres dari kubu independen -- sebuah langkah yang ditujukan untuk menjauhkan dirinya dari partai yang saat ini berkuasa, United Russia.
Alasan Putin menjaga jarak dari United Russia pada Pilpres Rusia 2018 nanti dipicu oleh maraknya tuduhan korupsi yang belakangan ini merundung berbagai petinggi partai tersebut.
Vladimir Putin Diprediksi Menang Mudah
Sebuah survei terkini yang dilakukan oleh Russian public Opinion Research Centre menyebut, Vladimir Putin memiliki tingkat persetujuan rakyat (public approval rating) mencapai sekitar 82 persen.
Dengan tingkat dukungan setinggi itu, sang presiden petahana diperkirakan akan mudah menjalani seluruh proses seleksi terkait Pilpres 2018. Bahkan, pria yang pernah menjabat sebagai perwira intelijen Uni Soviet itu akan menang mudah dan menjadi presiden Rusia untuk keempat kalinya.
Presentase itu jauh lebih tinggi dari yang ia capai saat menjelang Pilpres Rusia 2012, di mana tingkat persetujuan Putin hanya mencapai sekitar 63,6 persen.
Jika kembali menang pada Pilpres 2018, maka, pada akhir masa jabatannya nanti, sang eks-agen KGB itu telah menghabiskan 24 tahun masa hidupnya sebagai pemimpin Rusia -- baik sebagai presiden atau perdana menteri.
Pada Desember 2017 lalu, Putin telah mengungkapkan visinya untuk memodernisasi Rusia, jika dirinya kembali terpilih sebagai presiden pada Pilpres 2018 mendatang.
Putin berjanji akan menawarkan insentif yang lebih luas bagi bisnis, memerangi korupsi, dan mencurahkan lebih banyak sumber daya untuk sistem layanan kesehatan dan pendidikan yang selama ini kurang mendapat suntikan dana.
Advertisement
Siapa Para Kandidat Lain?
Sekitar 64 nama disebut telah mendaftar untuk mengikuti proses seleksi sebagai bakal calon presiden dari kubu independen dalam Pilpres Rusia 2018 nanti. Kata Kepala Komite Pusat Pemilihan Umum Rusia (KPU Rusia) seperti dikutip dari Independent.
Angka itu merupakan sebuah rekor sepanjang sejarah Pilpres di Rusia. Namun, KPU Rusia mengatakan, sebagian besar di antaranya diperkirakan tidak akan lolos ke tahap selanjutnya. Mengingat, syarat untuk mengumpulkan 300.000 tanda tangan dianggap cukup sulit untuk dipenuhi.
Beberapa bakal calon presiden lain yang akan ikut berpartisipasi dalam Pilpres Rusia 2018 meliputi; Grigory Yavlinsky dari Partai Yabloko yang berhaluan liberal dan Vladimir Zhirinovsky dari Parta Demokratik Liberal yang berhaluan konservatif.
Nama lain meliputi Alexei Navalny, salah satu figur oposisi yang paling gencar bersuara mengkritik Moskow.
Namun sayang, KPU Rusia melarang Navalny untuk mencalonkan diri dalam pemilu, karena yang bersangkutan disebut-sebut tengah berhadapan dengan sejumlah kasus hukum.
Tahun 2012, ia sempat dijatuhi pidana 5 tahun penjara oleh Pengadilan Pidana Leninsky, Rusia, atas kasus penggelapan uang dari sebuah perusahaan kayu.
Vonisnya sempat dibatalkan oleh Pengadilan HAM Uni Eropa. Namun, Pengadilan Pidana Leninsky, kembali mengajukan tuntutan baru kepada Navalny pada tahun 2017.
Navalny sendiri menilai, tuntutan hukum tersebut cenderung 'dibuat-dibuat' dan bermotif politis. Mahkamah HAM Uni Eropa juga menyebut, tuntutan Pengadilan Pidana Leninsky dan langkah KPU Rusia untuk melarang Navalny mencalonkan diri dalam Pilpres 2018, 'tak berlandaskan hukum'.
Seorang sosialita Rusia, Ksenia Sobchak, juga mengumumkan akan maju dalam pemilihan presiden yang akan digelar pada Maret 2018. Meski demikian, ia mengaku bahwa langkah yang akan ditempuhnya tak mudah. Kremlin menyambut baik pencalonannya, dengan mengatakan bahwa pengajuan dirinya itu sepenuhnya bersifat konstitusional.
Akan tetapi, para analis mengatakan, pencalonan diri Sobchak merupakan akal-akalan Kremlin untuk mendongkrak legitimasi pemilu dan memecah belah para pendukung oposisi yang liberal.
Pavel Grudinin, seorang tokoh berhaluan politik sosialis, juga dilaporkan maju sebagai kandidat calon presiden Rusia 2018. Ia menggantikan posisi Gennady Zyuganov, mantan kandidat presiden pada Pilpres Rusia 2012.