Demi Lindungi TKI, Singapura Wajib Bayar Asuransi Rp 61 Juta?

Terhitung sejak 1 Februari 2018 nanti, KBRI Singapura diduga akan memberlakukan skema asuransi baru untuk melindungi tenaga kerja RI.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 26 Jan 2018, 17:34 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2018, 17:34 WIB
Tenaga Kerja RI Masih Didominasi Lulusan SMP ke Bawah
Ilustrasi pekerja Indonesia (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Singapura - Terhitung sejak 1 Februari 2018 nanti, Kedutaan Besar RI di Singapura diduga akan memberlakukan kebijakan baru terkait perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) di Singapura. Hal itu diungkapkan lewat keterangan seorang juru bicara kedutaan yang anonim.

Kebijakan itu berbentuk skema pembiayaan administrasi baru untuk kepentingan asuransi yang wajib dibayarkan oleh perekrut setiap kali mereka mempekerjakan atau memperpanjang kontrak kerja para PMI.

KBRI menetapkan biaya administrasi tambahan baru senilai 70 dolar Singapura yang wajib dibayar oleh perekrut PMI di Singapura kepada sebuah perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan kedutaan.

Biaya administrasi tambahan itu dibayarkan oleh entitas terkait untuk menebus surat asuransi dengan total nilai 6.000 dolar Singapura atau sekitar Rp 61 juta. Demikian seperti dikutip dari media Singapura Strait Times (26/1/2018).

Berdasarkan skema asuransi itu, jika entitas yang merekrut PMI melakukan pelanggaran terhadap kontrak kerja (seperti; telat membayar gaji atau menyiksa pekerja), maka pihak perekrut wajib membayarkan uang senilai 6.000 dolar Singapura sebagai bentuk denda obligasi kepada perusahaan asuransi.

Perusahaan asuransi kemudian akan mencairkan uang 6.000 dolar itu dan memberikannya kepada pihak KBRI, untuk kemudian disalurkan kepada PMI terkait.

Seorang Jubir KBRI Singapura yang anonim mengatakan kepada Strait Times bahwa obligasi tersebut diterapkan untuk melindungi pekerja migran Indonesia dengan lebih baik dan memastikan agar perekrut benar-benar mematuhi persyaratan kontrak kerja.

Syarat kontrak kerja yang wajib dipenuhi oleh pihak perekrut PMI di Singapura meliputi asuransi kecelakaan kerja, memastikan kebebasan beribadah, dan tidak memberikan tugas kerja yang membahayakan keselamatan pekerja.

Hingga berita ini turun, Liputan6.com telah berusaha mengonfirmasi kabar tersebut kepada pihak KBRI Singapura, tapi belum mendapat jawaban.

Masih Ditinjau

Tenaga Kerja RI Masih Didominasi Lulusan SMP ke Bawah
Ilustrasi pekerja Indonesia (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Seperti dikutip dari Strait Times, pihak KBRI Singapura yang anonim itu menyatakan bahwa kebijakan tersebut masih ditinjau. Namun, kemungkinan besar akan diterapkan pada 1 Februari 2018 mendatang.

Sang narasumber juga menyatakan bahwa tak ada kasus khusus yang memicu diterapkannya kebijakan baru tersebut.

Alasan utama dari adanya kebijakan itu adalah untuk "memberikan perlindungan yang lebih baik kepada WNI".

Sang narasumber juga yakin bahwa kebijakan itu tidak akan mengurangi minat perekrut di Singapura untuk mempekerjakan pekerja migran Indonesia.

Ada sekitar 120.000 PMI yang sebagian besar bekerja di sektor domestik alias menjadi asisten rumah tangga.

Memberatkan Perekrut?

Pekerja Konstruksi Bersertifikat Masih di Bawah 10 Persen
Ilustrasi pekerja Indonesia (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah Singapura melalui Kementerian Tenaga Kerja juga menerapkan kebijakan serupa yang ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja migran yang bekerja di Negeri Singa, dengan total nilai asuransi sebesar 5.000 dolar Singapura.

Di sisi lain, seperti dikutip dari Strait Times, penyalur pekerja migran mengaku keberatan dengan skema kebijakan asuransi tersebut, yang diterapkan, baik oleh Singapura maupun pemerintah negara asal PMI sekaligus.

Sheena Kanwar, direktur eksekutif kelompok advokasi pekerja migran Humanitarian Organisation for Migration Economics, mengatakan bahwa langkah tersebut tampaknya bermaksud baik, tapi tidak membantu mengubah perasaan negatif yang dimiliki beberapa pengusaha terhadap pembantu rumah tangga.

"Untuk mengubah budaya dan sikap pengusaha, kita membutuhkan ukuran yang lebih berkelanjutan daripada obligasi, atau menambah urusan birokrasi," katanya.

Beberapa pengusaha mengatakan akan sangat berat untuk menangani kebijakan obligasi terpisah oleh pemerintah Singapura dan pemerintah asing.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya