Ini 5 Negara Teratas Dalam Indeks Demokrasi Dunia, Indonesia?

Dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 versi The Economist Intelligence Unit, berikut 5 negara paling demokratis di dunia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 11 Mar 2018, 21:00 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2018, 21:00 WIB
Pesta Demokrasi di Papua
Pesta Demokrasi di Papua (Liputan6.com / Katharina Janur)

Liputan6.com, Jakarta - Media ternama Amerika Serikat, The Economist, merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Indeks itu merupakan proyek salah satu sayap lembaga think-tank media tersebut; The Economist Intelligence Unit (EIU).

Indeks tersebut memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel penilaian.

Lima variabel penilaian indeks demokrasi itu meliputi; (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil.

Hasil penilaian yang diukur dari kelima variabel itu akan menghasilkan skor rata-rata yang dijadikan sebagai tolak ukur penetapan peringkat indeks.

Mereka yang duduk di peringkat 19 teratas dalam indeks tersebut dikategorikan oleh EIU The Economist sebagai negara dengan pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi secara penuh.

Dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia 2017 versi The Economist, berikut 5 negara paling demokratis di dunia, seperti Liputan6.com rangkum dari Toptenz, Minggu (11/3/2018).

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

5. Denmark

Tradisi Denmark
Ilustrasi Denmark (Twitter @DasSabrine)

Kebebasan atas hak individual merupakan komponen utama yang menjadikan skor demokrasi Denmark berada di peringkat 5 tertinggi dalam indeks EIU The Economist dengan skor 9,22 (dari skor sempurna 10,00).

Denmark juga memiliki skor tinggi dalam kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan, seperti di ekonomi, sosial, dan politik.

Tak hanya itu, asas transparansi tinggi yang diterapkan oleh setiap lembaga pemerintahan dan parlemen turut menjadi salah satu sumbangsih.

4. Selandia Baru

Paspor Selandia Baru adalah satu dari sedikit paspor bersampul warna hitam di dunia - AP
Paspor Selandia Baru (AP PHOTO)

Sejumlah aspek yang membuat negara itu duduk di peringkat 4 dalam indeks EIU The Economist adalah toleransi atas keberagaman yang tinggi di Selandia Baru.

Dari segi kesetaraan gender, Selandia Baru menjadi salah satu negara yang melibatkan perempuan terlibat dalam proses pemungutan suara pada setiap Pemilu.

Penanganan baik yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok masyarakat asli juga menjadi aspek yang diapresiasi.

Keberfungsian pemerintahan yang mumpuni, keterwakilan kelompok masyarakat minoritas di pemerintahan dan parlemen adalah hal positif lain yang turut menjadi salah satu sumbangsih.

Dalam indeks itu, Selandia Baru memiliki skor 9,26 (dari skor sempurna 10,00).

3. Swedia

20160807-Sarah Sjostrom Pecahkan Rekor Dunia di Olimpiade Rio-Brasil
Sarah Sjostrom memegang bendera Swedia di atas podium setelah meraih medali emas renang nomor 100 meter gaya kupu-kupu pada Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Minggu (7/8). Sjostrom memecahkan rekor dunianya atas namanya sendiri (GABRIEL Bouys/AFP)

Seperti dikutip dari The Economist, Swedia memiliki skor 9,39 dan duduk di peringkat 3 dalam indeks tersebut.

Media AS itu mencatat, variabel "proses elektoral dan pluralisme" negara sosialis itu memiliki skor 9,58. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Swedia memiliki skor 9,64.

Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Swedia memiliki skor 8,33; 10,00; dan 9,41.

Sebuah catatan positif muncul pada aspek kultur politik Swedia yang menorehkan skor sempurna.

2. Islandia

Islandia (Wikimedia Commons)
Pemandangan alam Islandia (Wikimedia Commons)

Seperti pada kebanyakan negara rumpun Nordik lainnya, Islandia yang duduk di peringkat dua indeks dengan skor 9,58, memiliki komitmen kuat pada kesetaraan sosial dan prinsip 'memanusiakan manusia' yang begitu komprehensif di berbagai lini kehidupan.

Perempuan terwakili dengan baik di politik, masyarakat begitu antusias dan terlibat aktif dalam kehidupan berdemokrasi, dan kebebasan dijamin sangat baik oleh hukum.

1. Norwegia

Tingkah Lucu Para Atlet Olimpiade Musim Dingin 2018
Atlet Norwegia Haavard Lorentzen memakai topi bermotif kembang saat merayakan kemenangan meraih medali emas di acara skating 500m putra selama Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018 di Gangneung Oval di Gangneung (19/2). (AFP Photo/Aris Messinis)

The Economist menulis bahwa Norwegia yang duduk di peringkat pertama dengan skor 9,87 memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi, bahkan, layak menyebut negara tersebut sebagai 'negara yang secara penuh menerapkan prinsip demokrasi'.

Penyebabnya adalah; tingkat partisipasi politik yang tinggi, keterlibatan aktif masyarakat dalam kehidupan berdemokrasi, serta penjaminan yang mumpuni atas setiap aspek hak asasi manusia seluruh warga.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Veronica Tan
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bersama Veronica Tan ketika pencoblosan Pilkada DKI Jakarta pada 19 April 2017. Saat perayaan hari pernikahan ke-20 tahun pada 6 September 2017 lalu, Ahok menulis sepucuk surat untuk Veronica. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Indonesia bertengger pada posisi 68 dan tergolong dalam kategori negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies (rentang 20 - 76).

Seperti dikutip dari The Economist, Indonesia memiliki skor rata-rata 6,39.

Media AS itu mencatat, variabel "proses elektoral dan pluralisme" RI memiliki skor 6,92. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Indonesia memiliki skor 7,14 -- skor tertinggi dari total lima variabel penilaian.

Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Indonesia memiliki skor 6,67; 5,63; dan 5,59.

The Economist menyebut bahwa posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016 -- menjadi sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air.

Penyebab kemerosotan itu, menurut The Economist, dipicu oleh "Dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017", isu seputar mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, serta bangkitnya gerakan sosial-masyarakat berbasis keagamaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya