HEADLINE: Kim Jong-un dan K-pop, Sinyal Damai atau Taktik Belaka?

Menonton konser K-pop di Pyongyang, Kim Jong-un sedang menunjukkan sisi lembutnya. Tulus berdamai atau taktik pencitraan?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 04 Apr 2018, 00:04 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2018, 00:04 WIB
Gaya Kim Jong-Un Saat Nonton Konser Bintang K-Pop di Pyongyang
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un (kiri) menyapa hadirin yang datang saat konser yang menampilkan sejumlah musisi dari Korea Selatan di East Pyongyang Grand Theatre, Korea Utara (4/1). (AFP Photo/Korea Pool)

Liputan6.com, Pyongyang - Acara bertajuk "Spring Is Coming" pada Minggu malam 1 April 2018 bukan konser biasa bagi grup musik Korea Selatan, Red Velvet. Mereka bernyanyi dan menari di depan 1.500 orang di East Pyongyang Grand Theater, Korea Utara

Semua penonton berusia dewasa. Para pria mengenakan stelan jas gelap, yang perempuan memakai pakaian tradisional hanbok berwarna-warni. Tak ada yang ikut bergoyang apalagi bernyanyi bersama.

Para hadirin bertepuk tangan serempak, melakukan gerakan melambai yang seragam, dengan wajah nyaris lempeng. Jelas, mereka bukan penggemar K-Pop.

Sementara itu, di balkon lantai dua, ada Kim Jong-un dan istrinya, Ri Sol-ju. Pemimpin muda Korut itu tiba-tiba memutuskan datang, sampai-sampai waktu dimulainya konser diundur 80 menit.

Sejumlah foto dan video mengabadikan Kim Jong-un bertepuk tangan dan melambaikan tangan ke arah 160 seniman Korea Selatan, termasuk para bintang K-pop, yang tampil di panggung. Setelah dua jam konser, seluruh penonton melakukan standing ovation, berdiri dan bertepuk tangan sebagai bentuk penghargaan.

Usai konser, Kim Jong-un menemui para seniman Korsel, menyalami mereka, dan berfoto bersama. Pemimpin ketiga Dinasti Kim itu bahkan secara spesifik menyebut Red Velvet.

Kim Jong-un saat bertemu dengan sejumlah bintang K-pop di Pyongyang pada Minggu (1/4/2018). (Korean Central News Agency/Korea News Service via AP)

Kim Jong-un mengaku harus mengatur ulang jadwalnya yang supersibuk, demi bisa menyaksikan Red Velvet di hari pertama konser -- yang menurut jadwal berlangsung selama dua hari, pada 1 dan 3 April 2018.

"Saya berminat untuk datang dan melihat Red Velvet," kata Kim menurut penuturan sejumlah narasumber dan media yang meliput perhelatan itu, seperti dikutip dari NBC News, Selasa 3 April 2018.

"Padahal rencananya saya akan datang pada konser berikutnya. Tapi saya tetap datang ke sini setelah menyesuaikan kembali jadwal kegiatan saya," tambah pemimpin tertinggi Korea Utara itu.

Sementara itu, personel Red Velvet, Yeri mengaku deg-degan bersalaman dengan Kim Jong-un. "Saya tak mengira kami bakal bersalaman. Saya merasa terhormat," kata dia saat diwawancarai media Korsel, seperti dikutip dari Metro.co.uk.

Anggota girlband K-pop

Sikap Yeri yang merasa "terhormat" bersalaman dengan Kim Jong-un ditanggapi negatif sejumlah warganet.

"Kalau kau merasa "terhormat" menyalami tangannya, tinggal saja bersama Kim Jong-un di sana. Apakah kau merasa begitu terhormat bersalaman dengan seorang pembunuh yang selalu menebar ancaman dengan bom nuklir," kata seorang netizen Korea Selatan

Infografis Pesona K-Pop Mendamaikan Korea
Infografis Pesona K-Pop Mendamaikan Korea

K-pop "Haram" di Korut

Kim Jong-un hadir dalam konser K-pop adalah kabar istimewa yang datang dari negeri paling menutup diri di dunia itu.

Apalagi, K-pop adalah musik terlarang bagi rakyat Korea Utara. Haram untuk didengarkan, rekamannya pun hanya tersedia di pasar gelap. Barang siapa nekat menikmatinya, ganjaran kamp kerja paksa menanti.

Di sisi lain, K-pop dijadikan senjata propaganda Korea Selatan. Diperdengarkan, lewat corong puluhan pengeras suara yang dihadapkan ke arah Pyongyang, untuk memprotes uji coba rudal atau senjata nuklir yang dilakukan Korut.

Tentara Korsel berdiri di dekat pengeras suara yang dipasang di sebelah selatan zona demiliterisasi, Yeoncheon, Jumat (8/1/2016). Pengeras suara tersebut memasang musik pop Korea, berita dan kritik atas Korea Utara ke arah perbatasan. (YONHAP/AFP)

Rezim Kim Jong-un menilai, aksi pihak Selatan memperdengarkan K-pop dan mengirim ratusan kepingan DVD lewat balon udara sebagai 'tindakan agresi'.

Seperti dikutip dari ABC News, pihak Korea Utara tidak menuntut perubahan pada koreografi atau lirik lagu yang disajikan para artis Korsel, demikian diungkapkan direktur musik yang jadi kepala delegasi, Yoon Sang.

Namun, lagu-lagu bertempo lambat sengaja dipilih untuk memenuhi selera warga Korut. Dan, tak ada satu pun grup musik pria K-pop yang disertakan dalam konser.

"Korea Utara masih sangat konservatif soal para pria yang menyanyi dan berjoget," kata Philo Kim, pengajar di Institute for Peace and Unification Studies di Seoul. "Boy band K-pop, yang mempertontonkan gaya tarian dinamis, dianggap terlalu berlebihan oleh warga Pyongyang."

Alasan itu juga yang mendasari batalnya rencana untuk menampilkan rapper Psy dalam konser. Lagu "Gangnam Style" yang ia nyanyikan terkenal hingga ke penjuru Bumi dan membuat K-pop mendunia.

PSY bersama para dancer saat menghibur penonton dalam acara Oppo Selfie Fest di ICE Tangerang, Banten, Kamis (24/11). PSY yang berhasil membuat para penonton bergoyang saat acara tersebut. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Namun, pejabat Korut berpendapat, Psy akan terlalu "menonjol" dalam konser.

Belum jelas apakah konser yang dipandu Seohyeon dari Girls 'Generation akan ditampilkan secara utuh di televisi Korut, demikian menurut Kementerian Unifikasi seperti dikutip dari Korea Joongang Daily.

Namun, ringkasan konser selama lima menit ditayangkan pada Senin sore waktu setempat di KCNA. Satu-satunya lagu yang ditampilkan adalah Uri e soweon eun tongil (Our Wish is Reunification), tentang harapan rakyat dua Korea kembali bersatu, yang ditampilkan di akhir konser.

 

Sinyal Damai atau Pencitraan Sesaat?

Kim Jong-un Tinjau Pembuatan Bom Hidrogen
Pemimpin Korut, Kim Jong-un berbincang dengan para peneliti mengenai program senjata nuklir saat meninjau pembuatan bom hidrogen yang dapat dimasukkan ke dalam rudal balistik antarbenua pada 3 September 2017. (AFP Photo/Kcna Via Kns/Str)

Konser K-pop di Pyongyang adalah bagian dari upaya dua Korea untuk meredakan ketegangan di Semenanjung. Sebelumnya, Korsel dan Korut berparade bersama di Olimpiade Musim Dingin PyeongChang, di bawah nangan bendera unifikasi.

Seoul dan Pyongyang direncanakan akan mengadakan pertemuan tingkat tinggi pada 27 April, dilanjutkan dengan pembicaraan Korea Utara dengan AS mengenai denuklirisasi sebelum akhir Mei. Kim Jong-un dikabarkan akan duduk bersama Donald Trump.

Pada hari yang sama saat konser K-pop di Pyongyang, AS dan Korsel dikabarkan tengah memulai latihan militer tahunan bersandi Foal Eagle -- yang akan berlangsung selama empat pekan, lebih pendek dari durasi tahun-tahun sebelumnya.

Latihan militer semacam itu telah lama memicu kemarahan Kim Jong-un -- seperti yang ditunjukkan pada situasi tahun lalu. Namun, sampai saat ini, retorika penuh amarah terkait latihan Foal Eagle itu tak mencuat dari sang pemimpin Korea Utara.

Apakah berarti penampilan delegasi K-pop itu memantik secercah harapan tentang dinamika diplomasi positif di Semenanjung Korea untuk waktu-waktu ke depan?

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un (tengah) dan istrinya Ri Sol-Ju (tengah kiri) berfoto bersama sejumlah bintang K-pop dan musisi dari Korea Selatan di East Pyongyang Grand Theatre, Korea Utara (4/1). (AFP Photo/KCNA)

Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional Universitas Padjajaran menggarisbawahi nuansa positif dari perhelatan konser K-pop Korea Selatan di Pyongyang pada 1 dan 3 April 2018.

"Itu menunjukkan sikap keterbukaan Korea Utara dan pemimpinnya saat ini, Kim Jong-un. Ia ingin memberikan kesan bahwa dirinya dan negaranya adalah sosok yang terbuka serta menerima budaya dari Korea Selatan," kata Teuku saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 3 April 2018.

Pria yang turut mendirikan Centre for Internasional Relations Studies (CIRS) itu juga menjelaskan bahwa langkah Kim untuk mengizinkan perhelatan semacam itu terselenggara di Pyongyang memiliki mengandung sejumlah pesan-pesan tersendiri.

Kata Teuku, perhelatan itu menjadi cara bagi Korea Utara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa strategi diplomasi luar negeri yang dilakukan saat ini sudah melunak dan mencair jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

"Hal itu juga menunjukkan perubahan strategi kebijakan diplomatik Korea Utara untuk jangka panjang. Mereka tampak tak ingin lagi menunjukkan sikap agresif lewat senjata rudal dan nuklir, karena jelas, mereka kalah untuk aspek-aspek itu. Tapi dengan seni-budaya dan hal-hal yang bersifat pasifisme, bisa lain lagi dampaknya, dan justru akan memberikan keuntungan tersendiri bagi Korea Utara," lanjut Teuku.

Menarik simpati dunia juga diduga jadi alasan di balik perubahan sikap Kim Jong-un yang dramatis.

"Strategi itu bersifat psikologi-politik. Korea Utara ingin menanamkan rasa simpati kepada dunia, bahwa kini, mereka menjadi rezim yang realistis dan terbuka untuk bentuk-bentuk diplomasi lain dari komunitas internasional," kata Teuku.

Kim Jong Un didampingi istrinya, Ri Sol Ju, bertemu Presiden China Xi Jinping. (Ju Peng/Xinhua via AP)

Rasa simpati yang tertanam di negara-negara asing nantinya akan berdampak pada cara mereka dalam melakukan diplomasi untuk menangani isu di Semenanjung Korea dan Korea Utara sendiri.

Mungkin nantinya, melihat kesuksesan Korea Selatan dalam melakukan diplomasi budaya, negara lain akan menawarkan 'paket diplomasi' serupa atau yang sifatnya non-agresif ketika menghadapi Korea Utara, kata pendiri CIRS itu.

Konser K-Pop itu juga bisa menjadi bukti bahwa Korea Utara dan Korea Selatan tampak bersiap untuk melakukan reunifikasi, meski hal itu masih jauh di ufuk.

"Jauh, sangat jauh. Tapi, perhelatan semacam itu bisa menjadi sebuah pra-kondisi jangka panjang untuk mengarah ke sana. Meski hal itu cenderung susah dan berat ya, karena baik Utara dan Selatan sama-sama punya proyeksi mengenai unifikasi Korea ke depannya."

Namun, di balik itu semua, Teuku Rezasyah mengatakan bahwa dunia patut kritis dalam menyikapi perubahan sikap Kim Jong-un dan Korea Utara yang lebih mencair serta terbuka dalam beberapa pekan terakhir.

"Kewaspadaan perlu. Ada kemungkinan juga dengan langkah-langkah itu, Korea Utara punya agenda di balik layar yang tak terungkap oleh dunia."

Penanaman simpati misalnya, bisa saja hal itu berupa kedok atau strategi agar Korea Utara mampu mendapatkan daya dongkrak politis yang lebih menguntungkan kala berdiplomasi dengan negara lain.

"Bisa saja dengan hal seperti itu, mereka mampu tetap mempertahankan persenjataan rudal dan nuklir meski tengah melakukan proses dialog damai," ujar dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran itu.

Pendapat Sang Pembelot

Rudal Pukguksong-2 berhasil meluncur di dekat Banghyeon di Provinsi Pyongan Utara, Minggu (12/2). Peluncuran rudal tersebut sebagai bentuk provokasi Korut kepada Presiden baru AS, Donald Trump. (AFP PHOTO/KCNA)

Lee Hyeon-seo adalah pembelot asal Korea Utara yang terkemuka. Penulis buku "The Girl with Seven Names", autobiografinya, itu pernah bertatap muka dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Menurut dia, mengatakan, hadirnya Kim Jong-un dalam konser K-pop adalah sebuah perubahan besar.

"Ada cerita dari kampung halamanku, di mana seorang pria diinterogasi gara-gara menonton drama Korsel dan ia terbunuh saat diperiksa aparat yang berperilaku brutal," kata dia.

Meski demikian, menurut Lee, hukuman yang diberlakukan tak ajeg. "Tergantung situasinya. Ada saat ketika rezim ingin memberikan pelajaran, dengan mengeksekusi mereka yang tertangkap. Namun pada situasi normal, sanksinya ringan, misalnya dengan membayar denda," tambah dia, seperti dikutip Asia Times.

Lee meragukan bahwa konser K-pop di Pyongyang menunjukkan perubahan kebijakan Korut terhadap Korsel.

"Itu hanyalah salah satu pertunjukan, acara resmi yang digelar oleh pemerintah," katanya. "Selain itu, tidak ada yang akan berubah sama sekali."

Sementara itu, Casey Lartigue Junior, salah satu pendiri Teach North Korean Refugees Global Education Center berpendapat, apa yang terjadi menunjukkan posisi Kim Jong-un yang luar biasa.

"Di negaranya, ia bisa melanggar aturannya sendiri," kata dia.

Donald Trump Harus Curiga pada Trik Kim Jong-un?

Donald Trump dan Kim Jong-un (AP Photo)
Donald Trump dan Kim Jong-un (AP Photo)

Menerima tawaran perundingan damai dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat, mengirim sang adik ke Korsel, menonton konser K-pop yang digelar di Pyongyang -- Kim Jong-un sedang menunjukkan sisi lembutnya.

Ia bukan lagi pemimpin dengan imej kejam, yang gemar mengancam dengan rudal, menggelar uji coba senjata nuklir, atau yang diduga kuat berada di belakang pembunuhan kakak tirinya, Kim Jong-nam di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia.

Kakak laki-laki Kim Jong-un, Kim Jong-nam (AP)

Pada 2018, Kim Jong-un bahkan akan mencetak sejarah, sebagai satu-satunya pemimpin Korut yang akan bertemu langsung dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Pertemuan direncanakan pada Mei 2018.

Pada 2009, ayahnya, Kim Jong-il pernah mengundang Bill Clinton ke Korut, dalam rangka pembebasan dua jurnalis AS. Namun, kala itu, Bill Clinton sudah jadi mantan.

Donald Trump dan Kim Jong-un dilaporkan akan berbicara soal perdamaian di Semenanjung Korea dan prospek denuklirisasi Korut.

Namun, Daniel L Davis, pengamat di Defense Priorities Amerika Serikat mengatakan, meski Korut menunjukkan niat damai, Donald Trump harus waspada. Jangan-jangan ada udang di balik batu.

"Di tengah proses diplomatik yang terjadi saat ini, posisi Amerika Serikat akan tetap dan tak akan berubah. Amerika akan tetap berada di posisi dominan. Semua ada di tangan AS, termasuk perang. Perang tidak akan terjadi Semenanjung Korea jika AS tak memulainya," kata Davis, seperti dikutip dari Nationalinterest.org (3/4/2018)

Purnawirawan Letkol Angkatan Darat AS itu mengatakan, saat bertemu dengan China beberapa pekan lalu, Kim Jong-un mengatakan bahwa isu denuklirisasi Semenanjung Korea bisa diselesaikan, jika Korea Selatan dan Amerika Serikat merespons upayanya dengan iktikad baik.

"Ucapan itu justru menunjukkan tujuan utama Kim terkait negosiasi yang akan berlangsung; demi terbebas dari sanksi internasional seutuhnya dan demi menjaring keuntungan tertentu dari Amerika Serikat, khususnya pada masa kepemimpinan Donald Trump," kata Davis.

Jika itu tujuan Korut, Davis menambahkan, hal itu tak akan mendapat sambutan baik dari Gedung Putih.

"Dialog antara Trump dengan Kim yang akan berlangsung pada Mei nanti juga diprediksi tak akan berjalan mulus dan tak membuahkan hasil positif, jika Kim melandasi dialog itu demi hanya menghindari sanksi atau menjaring keuntungan tertentu dari AS."

Dua pria berpakaian seperti pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (kiri) dan Presiden AS, Donald Trump berpose bersama saat menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Pyeongchang 2018 di Pyeongchang, Korea Selatan (9/2). (Jo Hyun-woo / Yonhap via AP)

Menurut dia, penting bagi kedua belah pihak, Kim Jong-un dan Donald Trump, untuk menetapkan konsesi atas hasil dialog tersebut. Pertemuan itu haruslah menghasilkan output yang konkret, berkelanjutan, dan dalam semua keaadaan, menjamin keamanan kawasan -- khususnya bagi AS, keamanan para sekutunya.

"Jika Amerika Serikat masuk ke dalam pembicaraan ini dengan harapan bahwa denuklirisasi penuh harus diselesaikan pada garis waktu yang sewenang-wenang dan mendadak, maka hal itu hanya akan berujung pada kegagalan."

Di sisi lain, Kim Jong-un sejauh ini tak menunjukkan niat untuk menghentikan program pengembangan rudal nuklir ICBM-nya. Tapi, seiring waktu dan semakin bertambahnya terpaan sanksi internasional, Kim mungkin harus mempertimbangkan opsi denuklirisasi tersebut dalam dialog dengan Trump nanti.

Media corong rezim Korut, Korean Central News Agency menunjukkan Kim Jong-un sedang menandatangi perintah peluncuran rudal (AFP)

"Trump tak punya masalah apapun terkait sanksi internasional dan dampak buruk sanksi itu terhadap negaranya. Di sisi lain, Korea Utara menghadapi semua masalah itu," kata Davis.

"Terlebih lagi, seiring berlalunya waktu, derita ekonomi yang diderita oleh rezim Kim akibat sanksi semakin meningkat. Sementara ekonomi Amerika tetap menjadi yang terbesar di dunia dan akan terus tumbuh. Karenanya, Trump tidak perlu mengorbankan apapun untuk menjaga negara tetap aman sementara tekanan bagi Kim untuk mematuhi sanksi internasional meningkat setiap bulannyam," tambah dia. 

Davis menambahkan, sebagai salah satu langkah akhir, Kim Jong-un mungkin akan mencoba menggunakan pengaruh dan alat diplomatiknya untuk mencoba dan mendorong perpecahan antara China, Korea Selatan dan Amerika Serikat.

"Tujuannya agar ia mampu mengeksploitasi perpecahan itu demi keuntungannya. Tapi bagaimana pun, semua daya tawar justru berada di tangan AS."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya