Ilmuwan: Limpa Penyelam Alami Suku Bajo Lebih Besar dari Manusia pada Umumnya

Limpa yang besar membuat masyarakat suku Bajo mampu menyelam bebas lebih lama.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 20 Apr 2018, 20:40 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2018, 20:40 WIB
Ilustrasi Penyelam Bebas
Penyelam bebas ini dapat bertahan dalam air tanpa alat bantu. Mengapa? (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Kopenhagen - Para peneliti telah mengidentifikasi varian genetik yang membuat limpa pada tubuh orang Suku Bajo -- suku nomaden maritim di Asia Tenggara, berukuran besar, sehingga memiliki daya tahan lebih baik ketika menyelam bebas di lautan.

Hasil studi yang terbit di jurnal Cell pada Kamis, 19 April 2018 itu menunjukkan eksistensi seleksi alam di era kehidupan manusia modern.

"Ini adalah contoh menarik tentang bagaimana manusia dapat, dalam waktu yang relatif singkat, beradaptasi dengan lingkungan lokal," kata Rasmus Nielsen, salah penulis studi dari University of California, Berkeley.

Dikutip dari The Scientist, Jumat (20/4/2018), orang-orang suku Bajo diketahui tinggal di desa-desa pesisir yang tersebar di sebagian besar wilayah Asia Tenggara.

Mereka kerap menggunakan tombak tradisional dan peralatan sederhana, untuk mengumpulkan ikan dan kerang. Hanya dengan menahan nafas panjang, mereka telah melakukan selam perburuan secara bebas sejak sekitar seribu tahun lalu.

Menurut penelitian tersebut, tubuh manusia sejatinya memiliki beberapa trik untuk meningkatkan waktu yang dihabiskan di bawah air, dengan kondisi lingkungan yang kekurangan oksigen.

Salah satunya adalah dengan meningkatkan produksi sel darah merah, yang memungkinkan pengiriman oksigen yang lebih efisien ke organ dan jaringan, atau untuk memperluas kapasitas paru-paru mereka.

Adaptasi terbaru yang dikemukakan oleh para peneliti adalah memperbesar ukuran limpa, yang berfungsi menyimpan sel darah merah teroksigenasi (mengikat oksigen) saat menyelam, untuk kemudian melepaskannya secara alami sebagai pengganti sirkulasi udara.

Melissa Ilardo, yang merupakan mahasiswa pascasarjana di University of Copenhagen ketika penelitian ini dilakukan, berusaha memahami apakah masyarakat Bajo telah mengembangkan strategi mereka sendiri untuk mengatasi hipoksia (kurangnya kadar oksigen di tubuh) saat menyelam.

Ilardo melakukan perjalanan ke desa-desa tepi pantai di semenanjung Sulawesi Tengah, di mana populasi masyarakat Bajo dan Saluan -- salah satu suku pesisir – berada. Ia kemudian merekrut 43 orang Bajo dan 33 orang Saluan untuk berpartisipasi dalam penelitiannya.

Ilardo mengukur ukuran limpa mereka menggunakan mesin ultrasound, dan mengambil sampel air liur untuk sekuensing (pengurutan) genom. Dia tertarik meneliti limpa, karena organ itu bisa tumbuh sangat besar di beberapa mamalia laut ketika menyelam.

Sebelum melakukan perjalanan ilmiah tersebut, Ilardo menghabiskan berbulan-bulan mempelajari bahasa Indonesia, untuk bisa berkomunikasi dengan orang Bajo.

"Saya ingin memastikan bahwa ini adalah upaya kerja sama," katanya menegaskan.

Ilardo dan rekan-rekannya menemukan bahwa limpa orang Bajo sekitar 50 persen lebih besar dibandingkan dengan Saluan, termasuk dengan mempertimbangkan jenis kelamin, usia, berat, dan tinggi individu.

Selanjutnya, penelitian ini membandingkan urutan genom dari para partisipan Bajo dan Saluan dengan orang-orang Han Cina sebagai kelompok kontrol, meski tidak terkait satu sama lain.

Setelah memindai seluruh varian genom, peneliti mengidentifikasi polimorfisme 25 teratas yang unik untuk genom masyarakat Bajo, yang menunjukkan seleksi alam tengah bekerja akibat budaya menyelam bebas yang mereka lakukan.

Peneliti kemudian membuat pohon filogenetik, memperkirakan bahwa orang Bajo keluar dari komunitas Saluan sekitar 15.000 tahun lalu, yang kemudian mendorong terciptanya varian genetika unik lantaran budaya nomaden di lautan yang dijalaninya.

"Analisis seperti ini membantu memberikan bukti empiris tentang lintasan seleksi alam pada spesies kita (manusia) dan kerangka waktu dari proses tersebut," jelas Cynthia Beall, antropolog pada Case Western Reserve University di Cleveland, yang juga tidak berpartisipasi dalam penulisan hasil studi ini.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Memiliki Kemiripan dengan Adaptasi Masyarakat Pegunungan

Ilustrasi Gunung Everest (iStock)
Ilustrasi Gunung Everest (iStock)

Sementara itu, di antara hasil penelitian yang paling populer adalah varian yang berdekatan dengan gen PDE10A, sebuah sel nukleotida siklik yang terlibat dalam pengaturan halus kontraksi otot, termasuk yang mengelilingi limpa.

Genotipe ini sebelumnya terkait dengan ekspresi PDE10A di jaringan saraf dan tiroid. Pada tikus, peneliti telah menemukan bahwa kadar hormon tiroid mempengaruhi ukuran limpa.

"Penelitian ini memberikan bukti pertama tentang adaptasi genetik pada populasi penyelam bebas, dan menjelaskan jalur genetik penting dalam toleransi hipoksia," ujar Tatum Simonson, yang mempelajari fisiologi dan genetika dari adaptasi ketinggian di Universitas California, San Diego Health Sciences.

Di antara populasi yang tinggal di dataran tinggi, yang juga harus mengatasi tingkat oksigen rendah, para peneliti sebelumnya telah menemukan adaptasi genetik yang berbeda.

Menurut Theodore Schurr, seorang ahli genetika antropologis di University of Pennsylvania, adaptasi tersebut menyatu pada fenotipe yang sama, sehingga semuanya mempengaruhi jumlah sel darah merah.

"Studi baru ini menambahkan peningkatan volume limpa sebagai adaptasi baru di mana orang dapat menghemat dan memanfaatkan oksigen dalam menghadapi oksigen rendah, kali ini di bawah air," kata Schurr.

"Akan menarik untuk membandingkan volume paru-paru dan fenotipe lain di antara populasi penyelam bebas dan mereka yang tinggal di dataran tinggi," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya