Liputan6.com, Phnom Penh - Pemimpin oposisi sekaligus politikus pro-demokrasi Kamboja, Sam Rainsy, secara formal mengumumkan pemboikotan penyelenggaraan pemilihan umum di negaranya -- yang akan dilaksanakan pada 29 Juli 2018. Pengumuman pemboikotan itu diutarakan pada Minggu, 29 April 2018.
Rainsy mengumumkan pemboikotan itu dengan mengatasnamakan dirinya sebagai anggota Cambodia National Rescue Party (CNRP), partai oposisi yang pada November 2017 dibubarkan oleh Mahkamah Agung Kamboja atas prakarsa Perdana Menteri Hun Sen.
"Keputusan kami untuk tidak memilih ... merupakan bentuk perlawanan pasif kami. Keputusan kami untuk memboikot pemilu merupakan salah satu cara damai untuk menghentikan kediktatoran (pemerintahan PM Hun Sen)," kata Rainsy dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari The Phnom Penh Post, Selasa (1/5/2018).
Advertisement
Kendati demikian, sejumlah anggota senior kelompok oposisi mendiskreditkan langkah Rainsy dan mempertanyakan kewenangan pria yang saat ini tengah mengucilkan diri (self-exiled) dari Kamboja atas alasan untuk menyelamatkan diri dari upaya persekusi di dalam negeri.
Petinggi CNRP mengatakan bahwa pengumuman pemboikotan pemilu Kamboja belum secara resmi dilakukan. Namun, langkah itu akan diambil dalam waktu dekat, kata pihak partai.
Baca Juga
Rainsy sendiri saat ini sedang tak memegang jabatan strategis di CNRP, tetapi masih dipandang sebagai salah satu figur penting oleh para politikus Kamboja -- mengingat statusnya sebagai co-founder partai itu yang berdiri dari hasil peleburan Sam Rainsy Party dan Human Rights Party pada 2012.
Sejak 2017, Rainsy telah mangkat dari kursi kepemimpinan CNRP, menyusul langkah pemerintah Kamboja memberlakuan undang-undang yang melarang figur pemilik rekam jejak pidana menampuk jabatan strategis di partai politik. Menurut laporan, undang-undang itu sengaja dibuat untuk merontokkan pengaruh Sam Rainsy sebagai pemimpin oposisi.
Saat masih berada di Kamboja, Rainsy juga dijerat sejumlah kasus pidana yang diwarnai unsur politis (criminal defamation). Peradilan Kamboja, oleh prakarsa rezim yang berkuasa, pernah mendakwa dan memvonis Rainsy atas berbagai tuduhan bernuansa politis. Namun, politisi pro-demokrasi itu menghindari jerat hukum dengan mengucilkan diri ke luar negeri.
Salah satu contoh adalah pada tahun 2016, ketika Hun Sen mendakwa Rainsy atas tuduhan pencemaran nama baik. Sebelumnya, eks-pemimpin CNRP itu menuding bahwa sang PM terlibat dalam pembunuhan aktivis politik Kem Ley pada April 2016.
Bak riak, gejolak itu memaksa Rainsy mundur dari CNRP pada Februari 2017. Kemudian, diikuti langkah rezim PM Hun Sen yang melarang Rainsy untuk terlibat dalam aktivitas politik di Kamboja.
Kem Sokha kemudian menggantikan Rainsy sebagai pemimpin CNRP. Namun, Sokha ditangkap oleh rezim Hun Sen atas tuduhan 'pengkhianatan terhadap negara' -- sebuah langkah yang semakin membuktikan upaya sang PM Kamboja untuk memberangus lawan politknya, menurut komunitas internasional.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Internal CNRP Terbelah?
Petinggi CNRP mengatakan bahwa pengumuman pemboikotan pemilu Kamboja belum secara resmi dilakukan. Namun, langkah itu akan diambil dalam waktu dekat, kata pihak partai.
Kem Monovithya, mantan pejabat partai dan anak perempuan Kem Sokha, mengatakan bahwa CNRP belum membicarakan boikot.
"Para pemimpin CNRP akan bertemu dalam beberapa hari mendatang untuk memutuskan langkah selanjutnya," katanya dalam sebuah pesan.
Sementara itu, Ou Chanrath, yang merupakan loyalis Kem Sokha dan mantan pejabat partai CNRP, mengkritisi langkah Sam Rainsy, dengan mengatakan bahwa pria kelahiran Phnom Penh itu tidak mewakili oposisi.
"Kem Sokha masih pemimpin partai. Jadi apa yang ia (Rainsy) lakukan, bahkan jika itu menguntungkan CNRP, justru menentang semangat CNRP karena dia membuat keputusan bukan untuk partai. Dan langkah itu melanggar hak kami," kata Chanrath.
Di sisi lain, dalam sebuah email, Rainsy meragukan bahwa "para pemimpin CNRP ... atau pendukung akan menentang pengajuan saya (untuk melakukan pemboikotan sedari dini)."
"Yang penting adalah substansi dari pesan saya dan resonansi yang ditemukannya dengan orang-orang Kamboja. Sisanya tidak penting," katanya menepis gejolak internal di dalam CNRP.
Mu Sochua, yang merupakan wakil presiden CNRP pada saat pembubarannya, berkeyakinan serupa dengan Rainsy.
"Kami menyerukan boikot," katanya dalam sebuah pesan.
"Boikot adalah pesan kuat bahwa pemerintahan berikutnya tanpa partisipasi 3 juta pemilih adalah tidak sah."
Lao Mong Hay, analis politik Kamboja, mengatakan, meski Rainsy telah meninggalkan CNRP pun statusnya sebagai self-exiled, pria itu "Masih memiliki pengaruh kuat untuk diperhitungkan dalam politik kekuasaan Kamboja".
"Tidak ada politikus di luar partai berkuasa yang setara (seperti Rainsy)," lanjutnya.
Advertisement