Liputan6.com, London - Cambridge Analytica tutup. Perusahaan konsultan politik asal Inggris yang jadi sorotan gara-gara skandal penyalahgunaan data pribadi pengguna Facebook untuk kepentingan politik mereka, akhirnya setop beroperasi.
"Selama beberapa bulan terakhir, Cambridge Analytica menjadi subyek banyak tuduhan tidak berdasar dan meski telah berupaya melakukan koreksi, perusahaan merasa dicemarkan atas aktivitasnya, yang tak hanya legal, tapi diterima secara luas sebagai komponen standar dari iklan online, baik dalam ranah politik dan komersial," demikian cuplikan pernyataan pers yang dimuat di situs perusahaan.
Advertisement
Baca Juga
Cambridge Analytica mengklaim sebagai "korban" atas pemberitaan yang marak soal skandal penyalahgunaan data Facebook.
"Meski Cambridge Analytica dengan meyakini penuh bahwa karyawannya telah bertindak sesuai etika dan aturan hukum ... kepungan pemberitaan media mengusir hampir semua pelanggan dan pemasok perusahaan."
Akibatnya, seperti ditambahkan pihak perusahaan, "telah diputuskan bahwa kami tak lagi bisa melanjutkan bisnis."
Seperti dikutip dari BBC, Kamis (17/5/2018), pernyataan tersebut juga menambahkan, perusahaan induk Cambridge Analytica, SCL Elections juga sedang memulai proses pailit.
Meski bangkrut dan tutup, belum berarti Cambridge Analytica tamat. Sejumlah mantan karyawan perusahaan itu yang diwawancarai surat kabar Inggris, Financial Times, dalam kondisi anonim, mengaku yakin, Cambridge Analytica akan bermetamorfosis, menjelma dalam bentuk lain atau menggunakan kedok.
Ketua komite parlemen Inggris yang menyelidiki aktivitas perusahaan menyuarakan keprihatinan terkait langkah Cambridge Analytica dan SCL Elections.
"Penyelidikan tidak dapat dihalangi oleh penutupan perusahaan-perusahaan tersebut," kata anggota parlemen Damian Collins.
Cambridge Analytica and SCL group cannot be allowed to delete their data history by closing. The investigations into their work are vital
— Damian Collins (@DamianCollins) May 2, 2018
"Menurut saya, adalah hal yang vital bahwa penutupan perusahaan-perusahaan tersebut tak bisa digunakan sebagai dalih untuk mencoba membatasi atau menghalangi kemampuan aparat berwenang untuk menginvestigasi apa yang mereka lakukan."
Â
Saksikan video menarik terkait skandal Cambridge Analytica dan Facebook:
Terlibat dalam Pilpres AS dan Brexit?
Chief executive Cambridge Analytica, Alexander Nix, diberhentikan pada Maret 2018 pasca-penayangan rekaman investigatif yang menghebohkan di Channel 4 News.
Bulan lalu, Cambridge Analytica mengaku hanya memiliki lisensi 30 juta data pribadi milik warga Amerika Serikat, yang dipanen dari pencipta aplikasi kuis di Facebook, Dr Aleksandr Kogan.
Pihak perusahaan juga berdalih tak menggunakan informasi-informasi tersebut untuk menguntungkan pihak tertentu dalam Pilpres AS 2016.
Pihak perusahaan mengaku telah menghapus semua informasi meskipun klaim berbeda disampaikan pihak lain.
Menurut Facebook, data pribadi dari sekitar 87 juta penggunanya telah dipanen lewat perantaraan aplikasi kuis, lalu diserahkan pada perusahaan konsultasi politik.
Pihak Facebook mengaku masih terus melakukan penyelidikan atas persoalan tersebut.
"Kami terus melakukan investigasi internal dan bekerja sama dengan aparat berwenang yang relevan dengan kasus ini," kata juru bicara Facebook.
Kecurigaan keterlibatan Cambridge Analytica dalam Pilpres AS diperkuat dengan fakta bahwa salah satu investor utamanya adalah miliarder pengelola investasi global (hedge fund) asal Negeri Paman Sam, Robert Mercer.
Menurut Guardian, Mercer menyetor modal sebesar US$ 15 juta.
Mercer, yang punya latar belakang ilmuwan komputer, juga menjadi salah satu penyumbang bagi Partai Republik dan menyokong Donald Trump selama kampanye.
Sejauh ini, ia belum bersedia diwawancara tentang pandangan politiknya. Mercer juga belum secara terbuka mengomentari skandal panen data ilegal yang melibatkan Cambridge Analytica.
Tak hanya di Amerika Serikat, Cambridge Analytica juga diduga menggunakan data Facebook dalam referendum Brexit.
Advertisement