Isu Taiwan dan Hong Kong Picu Meningkatnya Ketegangan China-AS

China mewajibkan perusahaan penerbangan untuk tidak lagi mengaitkan Hong Kong, Taiwan, dan Macau dengan daratan China.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Mei 2018, 08:42 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2018, 08:42 WIB
Presiden Xi Jinping saat menghadiri Kongres Rakyat Nasional yang memutuskan menyetujui penghapusan masa jabatan presiden
Presiden Xi Jinping saat menghadiri Kongres Rakyat Nasional yang memutuskan menyetujui penghapusan masa jabatan presiden (AP Photo/Aijaz Rahi)

Liputan6.com, Beijing - Ketika Amerika Serikat tengah mempertimbangkan kenaikan tarif perdagangan untuk merespon kebijakan ekonomi China, ketegangan di sektor lain turut muncu dalam beberapa hari terakhir, yakni bagaimana maskapai penerbangan harus menggunakan referensi destinasi dari dan ke Taiwan.

Gedung Putih mengeluarkan pernyataan pada akhir pekan lalu, mengecam China karena menuntut perusahaan penerbangan internasional tidak menggunakan istilah 'negara' untuk mengacu pada Taiwan, Hong Kong, dan Macau. 

Dikutip dari VOA Indonesia pada Selasa (8/5/2018), maskapai-maskapai penerbangan belum lama ini telah diminta untuk menghapus referensi pada situs resmi mereka, yang menunjukkan ketiganya sebagai negara yang lepas dari China.

Negeri Tirai Bambu mengklasifikasi Macau dan Hong Kong sebagai "daerah berpemerintahan khusus" dan Taiwan sebagai wilayah yang menyimpang.

Gedung Putih menyebut tuntutan China itu "Orwellian Nonsense", alias sangat tidak masuk akal, dan merupakan "bagian dari tekanan yang semakin besar dari Partai Komunis China, untuk memaksakan pandangan politiknya pada warga Amerika dan perusahaan swasta".

China menampik kecaman Gedung Putih itu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang mengatakan pada Minggu, 6 Mei 2018, bahwa perusahaan asing yang beroperasi di China harus menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah China, mematuhi undang-undang dan menghormati perasaan bangsa China.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

China Pemegang Surat Utang Terbesar AS

Tragedi 11 September
Penampakan sinar biru ‘Tribune in Light’ untuk memperingati serangan 9/11 menyinari Kota New York, Minggu (10/9). Menurut tim khusus investigasi 9/11, sekitar 3.000 korban tewas dalam peristiwa ini. (AP Photo/Mark Lennihan)

Sementara itu, China meningkatkan kepemilikan surat utang Amerika Serikat (AS) sebesar USD 8,5 miliar pada Februari 2018. Angka pembelian itu terbesar dalam enam bulan ini. Kepemilikan surat utang AS oleh China di bawah US$ 1,18 triliun.

Pada Desember 2017, kepemilikan surat utang AS oleh China mencapai US$ 1,18 triliun. Namun jumlah kepemilikan itu turun menjadi US$ 1,17 triliun pada Januari 2018. Saat ketegangan perdagangan antara AS dan China meningkat, ada spekulasi kalau orang China dapat kurangi pembelian surat utang AS, dan bahkan terus jual surat utang atau obligasi.

"Ini peningkatan terbesar dalam enam bulan, tapi itu hanya kenaikan US$ 8,5 miliar. Saya tidak berpikir itu benar-benar besar. Bulan lalu ada penurunan cukup besar," ujar Tom Simons, Ekonom Jefferies, seperti dikutip dari laman CNBC, pada awal April lalu. 

China merupakan pemegang surat utang terbesar di AS. Diikuti Jepang. Jumlah kepemilikan surat utang AS di Jepang turun USD 6,3 miliar menjadi US$ 1,06 triliun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya