Liputan6.com, Yerusalem - Tindak pertahanan militer Israel di Jalur Gaza menewaskan setidaknya 55 orang, dalam sebuah bentrokan yang disebut terburuk sejak perang besar pada 2014.
Bentrokan itu merupakan buntut dari aksi protes rakyat Palestina sejak enam minggu terakhir, yang dikoordinasi oleh Hamas dalam tajuk "Great March of Return".
Dikutip dari BBC pada Selasa (15/5/2018), aksi protes turut menyasar perayaan hari jadi Israel ke-70, yang oleh masyarakat Palestina disebut sebagai Nakba atau hari bencana.
Advertisement
Selain itu, aksi protes juga dialamatkan pada rencana pembukaan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Yerusalem.
Baca Juga
Israel mengatakan sekitar 40Â ribu warga Palestina telah ambil bagian dalam "kerusuhan kekerasan" di 13 lokasi di sepanjang pagar keamanan Jalur Gaza.
Demonstran Palestina melemparkan batu dan beragam jenis bom Molotov, sementara militer Israel menahannya dengan tembakan gas air mata dan serangan penembak jitu.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membela militernya, dan mengatakan, "Setiap negara memiliki kewajiban untuk mempertahankan perbatasannya."
"Organisasi teroris Hamas menyatakan niatnya untuk menghancurkan Israel dan mengirim ribuan orang untuk melanggar pagar perbatasan. Kami akan terus bertindak dengan tekad untuk melindungi kedaulatan dan warga negara kami," tegas PM Netanyahu.
Seorang juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan tentara menembaki kerumunan orang yang terlibat dalam "aktivitas teroris dan bukan pada demonstran, yang dibubarkan dengan cara biasa seperti gas air mata, sebagaimana sesuai aturan yang berlaku".
Di tempat terpisah, Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas mengumumkan tiga hari berkabung.
"Hari ini sekali lagi, pembantaian terhadap orang-orang kami berlanjut," kecam Abbas.
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Â
Pembukaan secara Khidmat
Sementara itu, bentrokan kecil dilaporkan terjadi antara polisi Israel dengan sekelompok pengunjuk rasa di sekitar area Konsulat Jenderal AS di Yerusalem.
Bentrokan itu tidak lain disebabkan oleh keputusan kontroversial Presiden Donald Trump, yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan melakukan pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv.
Tidak ada laporan korban jiwa dan luka dalam bentrokan terkait, kecuali beberapa kali tembakan peringatan oleh pihak kepolisian Israel.
Sama dengan Hamas, Presiden Mahmoud Abbas juga mengecam keras agenda pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem.
"Kami mendengar bahwa mereka membuka kedutaan hari ini (Senin). Ini adalah pendudukan, bukan kedutaan. Sebuah pendudukan AS di Yerusalem Timur," kritik Abbas.
Jauh berbeda dengan situasi di perbatasan Gaza, upacara peresmian Kedubes AS di Yerusalem dilaporkan berjalan khidmat. Presiden Donald Trump mengirim rekaman video ke acara tersebut, mengatakan Israel memiliki "hak untuk menentukan kehidupannya sendiri".
Putrinya, Ivanka Trump, bersama sang suami, Jared Kushner, bertugas memimpin delegasi AS dalam peresmian kedubes di Yerusalem.
"Ketika Presiden Trump membuat janji, dia akan memenuhinya," ucap Ivanka di sela-sela kata sambutannya.
Menanggapi hal tersebut, PM Netanyahu berujar bahwa Presiden Donald Trump telah mengakui sejarah Israel secara utuh.
Advertisement
Pro dan Kontra
Berkaitan dengan agenda peresmian Kedutaan Besar AS di Yerusalem, muncul cukup banyak tanggapan pro dan kontra.
Juru bicara Gedung Putih, Raj Shah, mengatakan: "Tanggung jawab atas kematian tragis (bentrok Gaza) ini bersandar pada Hamas ... Hamas dengan sengaja memprovokasi kisruh tersebut."
Di lain tempat, Kuwait menyusun pernyataan yang diajukan ke Dewan Keamanan PBB, berisi seruan penyelidikan independen terhadap kasus kekerasan yang menimpa rakyat Palestina. Sayangnya, hal itu ditahan oleh pemerintah AS dengan beberapa alasan tertentu.
Hal senada juga disampaikan oleh pemerintah Turki, yang mendesak AS berbagi tanggung jawab dengan Israel dalam "pembantaian keji" terhadap rakyat Palestina. Untuk kian menegaskan sikapnya tersebut, Turki menarik duta besarnya dari AS dan Israel.
Sementara itu, beberapa negara memilih berkomentar di "zona aman", yang mengimbau konflik terkait diselesaikan secara diplomatis.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, bersama dengan pemerintah Inggris, menyerukan penahanan aksi saling menyerang di antara kedua belah pihak.
Adapun Jerman, meski mengakui hak Israel untuk membela diri, tapi tetap mengimbau penyelesaian konflik dilakukan secara proporsional.
Pernyataan sedikit berbeda disampaikan oleh pemerintah Prancis. Presiden Emmanuel Macron mengaku mengutuk keras kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer Israel, dan mendesak penegakan damai di wailayah terkait.