Ratusan Ribu Pekerja Seks Thailand di Jerman, Mayoritas Korban Perdagangan Manusia?

Menurut perkiraaan sejumlah lembaga, jumlah pekerja seks asal Thailand di Jerman beragam, berkisar 120 ribu hingga 300 ribu perempuan.

diperbarui 30 Jun 2018, 14:04 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2018, 14:04 WIB
20160209-Ilustrasi-PSK-iStockphoto
Ilustrasi pekerja seks (iStockphoto)

Berlin - Baru-baru ini beredar informasi yang mengulas tentang pekerja seks asal Thailand di Jerman. Jumlahnya tak dapat dipastikan, karena banyak yang bekerja atau tinggal di negara Eropa itu secara ilegal.

Kementerian Kesehatan di Thailand menyebut angka 120 ribu. Sedangkan NGO Empowerment Foundation menyebut angka 300 ribu.

"Mereka rata-rata berusia awal 20-an atau pertengahan 20-an. Tapi ada juga yang sudah berusia lebih 60 tahun yang masih terus bekerja," kata Liz Hilton dari Empowerment Foundation, yang sejak lebih 30 tahun berusaha memperbaiki kehidupan para pekerja seks di Jerman.

Menurut data Empowerment Foundation, lebih 75 persen pekerja seks perempuan adalah ibu tunggal.

"Seringnya, mereka sudah bekerja sebelumnya di berbagai bidang, tanpa kualifikasi, misalnya bekerja di pabrik, atau di ladang", tutur Liz Hilton.

"Setelah itu, banyak yang mendarat di jalan-jalan Bangkok, Pattaya atau kota-kota besar lain di Bangkok sebagai pekerja seks. Sebagian berhasil sampai ke Jerman."

Korban Sindikat

Kebanyakan dari para perempuan itu tahu pekerjaan apa yang akan mereka lakukan di Jerman, kata Ursa Lerdsrisuntad dari Foundation for Women.

"Mereka tahu, mereka akan bekerja di bidang prostitusi. Mereka juga sadar, bahwa mereka harus bekerja keras berbulan-bulan untuk bisa membayar kembali utang mereka kepada sindikat yang mendatangkan mereka. Mereka berpikir, setelah itu mereka akan bisa menabung. Tapi kadang-kadang, utang mereka justru bertambah," kata Lerdsrisuntad seperti dikutip dari DW, Sabtu (30/6/2018).

Banyak pekerja seks yang terjebak dengan kondisi dan persyaratan yang ditetapkan sindikat perdagangan manusia.

"Mereka harus membayar orang yang mengurus visa mereka atau melindungi mereka agar tidak ditangkap polisi", kata Liz Hilton.

Situasi mereka berbeda dengan para pekerja seks asal Rumania dan Bulgaria misanya, yang tidak perlu visa untuk datang ke Jerman.

Setibanya di Jerman, mereka akan sangat tergantung pada pelindungnya. Karena tidak bisa berbahasa Jerman, mereka hanya berkomunikasi dengan pelindung mereka.

Menurut Kepolisian Jerman, para pelindung atau anggota sindikat perdagangan manusia "dalam banyak kasus berasal dari latar belakang budaya yang sama dengan para korban" dan hal itu "memperbesar ketergantungan mereka".

 

Simak video pilihan berikut:

Tak Semua Pekerja Seks Korban Perdagangan Manusia

20160209-Ilustrasi-PSK-iStockphoto
Ilustrasi pekerja seks (iStockphoto)

Bulan April lalu, polisi Jerman membongkar sebuah sindikat perdagangan manusia dan menangkap lebih dari seratus orang. Pemimpinnya seorang pria Jerman dan istrinya yang berasal dari Thailand.

Keduanya ditahan dengan tuduhan menyelundupkan dan memaksa ratusan perempuan Thailand untuk bekerja sebagai prostitusi di Jerman.

"Tapi harus dibedakan, tidak semua pekerja seks asing di Jerman adalah korban perdagangan manusia", kata Livia Valensise dari organisasi Ban Ying di Berlin, yang memberikan bantuan advokasi kepada korban perdagangan manusia.

"Ada juga perempuan asing yang datang sendiri ke Jerman untuk bekerja sebagai pekerja seks", tandasnya.

Dia berharap, aparat keamanan melakukan koordinasi juga dengan kelompok-kelompok advokasi sebelum melakukan operasi razia besar-besaran terhadap sindikat perdagangan manusia. Sebab para korban juga harus mendapat bantuan menghadapi situasi hukum di Jerman.

Peluang para pekerja seks ilegal untuk mendapat ijin tinggal di Jerman sangat kecil. Kebanyakan mereka langsung dideportasi ke Thailand.

Kecuali kalah kesaksian mereka masih dibutuhkan pengadilan. Mereka mendapat izin tinggal di Jerman, sampai pengadilan tidak membutuhkan kesaksian mereka lagi.

"Para perempuan ini sering marah". Kata Liz Hilton.

"Mereka tadinya menyangka akan mendapat pertolongan. Ternyata, mereka kemudian dideportasi. Ini sama sekali tidak menolong mereka."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya