Vladimir Putin: Donald Trump Tak Sepakat soal Gabungnya Krimea ke Rusia

Donald Trump dan Vladimir Putin masih berseberangan soal langkah Moskow untuk menganeksasi Krimea dari Ukraina pada 2014 silam.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 17 Jul 2018, 17:03 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2018, 17:03 WIB
Pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki, Finlandia (16/7) (Pablo Martinez / AP PHOTO via CNN)
Pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki, Finlandia (16/7) (Pablo Martinez / AP PHOTO via CNN)

Liputan6.com, Helsinki - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin masih berseberangan dan mengambil sikap "sepakat untuk tidak sepakat" soal langkah Moskow untuk menganeksasi Krimea dari Ukraina pada 2014 silam.

Hal itu diutarakan Putin usai dirinya melaksanakan dialog tatap muka tingkat tinggi dengan Trump di Helsinki, Finlandia, pada 16 Juli 2018.

"Sikap Presiden Trump terhadap Krimea sudah jelas. Dan dia tetap bersikukuh atas sikapnya," kata Putin saat diwawancarai Fox News, tepat setelah pertemuannya dengan Trump di Presidential Palace Helsinki, seperti dikutip dari The New York Times, Selasa (17/6/2018).

"Dia (Trump) tetap bersikukuh bahwa itu (langkah Rusia menganeksasi Krimea dari Ukraina) adalah ilegal. (Sementara) kami (Rusia) punya pendapat yang berbeda," ai melanjutkan.

Mengomentari soal isu serupa --dalam wawancara terpisah tepat setelah pertemuannya dengan Putin-- Donald Trump mengutarakan komentar yang mengisyaratkan "sepakat untuk tidak sepakat".

Namun ia berharap, kedua negara mampu melupakan masa lalu dan bekerja sama untuk ke depannya.

"Hubungan kita (AS-Rusia) tak pernah lebih buruk dari yang pernah ada. Namun, semua itu telah berubah (usai pertemuannya dengan Putin). Saya sangat percaya itu," kata Trump.

Sementara itu, dalam perjalanan meninggalkan Helsinki, Donald Trump mengunggah twit sebagai berikut:

"... untuk membangun masa depan yang lebih baik, kita tidak boleh mengeksklusifkan diri pada masa lalu --sebagai dua negara kekuatan nuklir besar, kita (AS-Rusia) harus akur! #HELSINKI2018," isi kutipan twit Trump dalam @realDonaldTrump.

 

Simak video pilihan ini:

Memicu Tensi

Pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki, Finlandia (16/7) (Brendan Smalowski / AP PHOTO via CNN)
Pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki, Finlandia (16/7) (Brendan Smalowski / AP PHOTO via CNN)

Berbagai analis politik AS menyebut bahwa Ukraina dan Krimea telah lama menjadi pemicu tensi tinggi dalam hubungan AS-Rusia. Pemerintah AS menolak mengakui langkah Rusia menganeksasi Krimea pada 2014 -- menganggapnya sebagai tindakan ilegal berdasarkan hukum internasional.

Namun dalam beberapa pekan terakhir, Trump tampak mengisyaratkan melonggarkan sikap atas isu tersebut. Ketika ditanya soal Ukraina-Krimea, Trump hanya mengatakan, "Kami akan melihat apa yang terjadi."

Kendati demikian, cara Trump menyikapi tindakan Rusia di Krimea juga akan berpengaruh pada hubungan aliansi antara AS-Ukraina.

Trump sebelumnya mengejutkan para pejabat dalam pertemuan G-7 pada Juni 2018 ketika dia berpendapat bahwa semenanjung Krimea harus menjadi milik Rusia, karena "orang di sana berbicara bahasa Rusia."

Pernyataan itu secara tajam bertentangan dengan kebijakan AS yang tidak mengakui aneksasi wilayah --semacam yang terjadi di Krimea.

Sejak 2014, Washington telah menjatuhkan sanksi terhadap Rusia atas invasinya ke Krimea. Konflik bersenjata pun masih berlangsung di timur Ukraina, yang telah menewaskan lebih dari 10.000 orang.

"Perhatian utama Kiev adalah Presiden Trump akan secara sepihak mengakui aneksasi Rusia atas Krimea --secara efektif menjual wilayah itu ke Kremlin," kata Daragh McDowell, analis isu Rusia di Verisk Maplecroft, seperti dikutip dari CNBC.

Legalitas tindakan semacam itu --dan apakah itu berarti pengakuan resmi kedaulatan Rusia atas semenanjung itu-- tidak jelas, kata McDowell. Namun, itu tentu akan menurunkan moralitas sekutu AS dan memicu ketidakstabilan domestik di Ukraina.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya