Hasil Studi Ini Sebut Korea Utara Sebagai Ibu Kota Perbudakan Modern

Sebuah studi menyebut beberapa bukti ini menunjukkan bahwa Korea Utara adalah ibu kota praktik perbudakan modern.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 20 Jul 2018, 14:01 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2018, 14:01 WIB
Kematian Kim Il Sung
Tentara Rakyat Korea membungkuk di depan patung pemimpin Korea Utara, Kim Il Sung dan Kim Jong Il di Bukit Mansu, Pyongyang, pada peringatan 24 tahun kematian Kim Il Sung, Minggu (8/7). Kim Il-sung memimpin Korut sejak 1948 hingga 1994. (AFP/KIM Won-Jin)

Liputan6.com, New York - Dalam sebuah penelitian terbaru yang dirilis pada Kamis, 19 Juli 2018, Korea Utara dan beberapa rezim represif lainnya, disebut memiliki tingkat perbudakan modern paling tinggi di dunia.

Studi itu juga menyebut bahwa negara-negara maju turut memikul tanggung jawab terhadap perbudakan modern, karena mereka mengimpor barang senilai sekitar US$ 350 miiar yang diproduksi dalam situasi mencurigakan.

Dikutip dari Time.com pada Jumat (20/7/2018), Global Slavery Index memperkirakan 40,3 juta orang di seluruh dunia menjadi sasaran perbudakan modern pada 2016, dengan konsentrasi tertinggi di Korea Utara, di mana satu dari 10 orang hidup dalam kondisi seperti itu.

"Lebih dari 40 juta orang.... mereka bukan sekadar angka. Bisa siapa saja. Saya, ibu, saudara perempuan," kata pembelot Korea Utara Park Yeon-mi, yang melarikan diri ke China karena jadi korban perdagangan manusia dan dipaksa menikah, pada konferensi pers di kantor pusat PBB di New York.

"Bahkan sekarang, ada 300.000 orang pembelot Korea Utara di China, dan 90 persen dari mereka diperdagangkan. Mereka dijual oleh pria lokal seharga beberapa ratus dolar," lanjutnya menjelaskan.

Park, yang sekarang belajar di Columbia University di New York, mendesak khalayak luas untuk membantu jutaan korban perbudakan modern.

"Orang-orang ini hanya dilahirkan di tempat yang salah," kata Park. yang mendirikan sebuah kelompok advokasi utnuk korban perdagangan manusia di Korea Utara.

Laporan terkait disusun oleh Walk Free Foundation, sebuah kampanye anti perbudakan yang didirikan oleh miliarder Australia Andrew Forrest, yang mengatakan pada konferensi pers New York bahwa "untuk pertama kalinya ada harapan nyata kita dapat mengakhiri perbudakan modern", tidak hanya di Korea Utara, melainkan juga di tingkat dunia.

Tujuan dari indeks ini adalah untuk menekan pemerintah dan perusahaan agar melakukan tindakan nyata untuk mengakhiri perbudakan modern, dengan menyediakan data terkini tentang jumlah orang yang terlibat dan dampaknya di seluruh dunia.

"Dengan mengurai arus perdagangan dan berfokus pada produk yang berisiko (terhadap) perbudakan modern yang didorong oleh ekonomi arus utama, menjadi jelas bahwa bahkan negara terkaya memiliki tanggung jawab untuk menanggapi isu ini, baik di dalam negeri maupun di luar perbatasan mereka," tulis laporan itu.

 

Simak video pilihan berikut:

 

 

Berbagai Sektor Terkait Perbudakan Modern

Kim Jong-un Kunjungi Pabrik Tekstil di Sinuiju
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un saat meninjau Sinuiju Chemical Fiber Mill di Sinuiju, Korea Utara (2/7). (Korean Central News Agency/Korea News Service via AP)

Perbudakan modern melibatkan penggunaan ancaman, kekerasan dan penipuan untuk mengambil alih kemampuan orang dalam mengendalikan tubuh mereka sendiri, menolak jenis pekerjaan tertentu, atau berhenti bekerja sama sekali.

Laporan tersebut menyebut industri batu bara, cokelat, kapas, kayu dan perikanan sebagai sektor-sektor yang rawan terpapar perbudakan modern.

Di Korea Utara, ekspor batu bara adalah bidang yang paling dikhawatirkan, karena menyerap tenaga kerja secara tidak transparan.

Rezim represif juga menjadi sorotan utama laporan di atas, karena memicu fenomena "rakyat bekerja untuk pemerintah.

Selain Korea Utara, negara-negara lain di dunia yang berada di posisi terbawah dalam indeks terkait antara lain adalah Eritrea, Burundi, Republik Afrika, Afghanistan, Pakistan, Kamboja, dan sebagainya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya