Liputan6.com, Canberra - Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengatakan negaranya tengah 'bersiap' menerima tambahan pengungsi dari Australia dalam sebuah kesepakatan kontroversial yang sudah dilabelkan sebagai sebuah kegagalan dan mengharuskan pemerintah federal Australia merogoh kocek hampir $50 juta atau sekitar Rp 532 miliar.
Dalam wawancara ekslusifnya pada program ABC Four Corner, PM Kamboja Hun Sen mengatakan dia telah berbicara dengan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull kalau negaranya tengah bersiap menerima lebih banyak pengungsi dari pusat penahanan lepas pantai Australia.
Advertisement
Baca Juga
Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton tidak memberikan tanggapan apapun terkait pernyataan PM Hun Sen tersebut dan juga apakah kesepakatan sebelumnya dengan Kamboja yang akan berakhir dalam beberapa bulan mendatang akan diperbaharui atau tidak. Demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Selasa (31/7/2018).
Pada tahun 2014, Australia menandatangani perjanjian empat tahun dengan Kamboja, dan memberikan bantuan tambahan senilai $ 40 juta sebagai pertukaran untuk memukimkan para pengungsi dari pusat penahanan lepas pantai di Nauru.
Satu bantuan lainnya senilai $15 juta atau setara Rp 158 miliar untuk layanan "pemukiman kembali" juga dijanjikan, di mana senilai $7,88 juta atau sekitar Rp 84 miliar telah dihabiskan.
Simak video pilihan berikut:
Pengungsi Ditawarkan untuk ke Kamboja
Salah satu dari pengungsi tersebut, yang masih bertahan di Vietnam, adalah seorang warga Suriah Abdallah Zalghana yang berusia 39 tahun.
Abdallah Zalghana mengklaim pejabat imigrasi Australia telah berjanji kepadanya bahwa dia bisa membawa keluarganya ke Kamboja jika dia menerima tawaran untuk dimukimkan kembali di sana.
"Itulah satu-satunya alasan saya datang ke sini ke Kamboja, untuk bertemu dengan istri dan anak-anak saya," katanya kepada ABC Four Corners.
"Mereka berjanji kepada saya, itu adalah sebuah janji resmi, bahwa dalam waktu tiga sampai empat bulan istri dan anak-anak saya akan bersama saya di Kamboja. Tapi ini sudah satu setengah tahun dan tidak ada yang terlaksana.
"Apa yang mereka janjikan pada saya ternyata semua bohong belaka."
Setelah Abdallah Zalghana tiba di Kamboja, dia mengklaim pejabat Australia mengubah janji mereka, mengatakan kepadanya bahwa dia harus terlebih dahulu membuktikan bahwa dia bisa mencari nafkah sebelum keluarganya diizinkan untuk datang.
Dia mengatakan dia menerima $10.000 atau sekitar Rp100 juta untuk memulai usaha dan dia membuka sebuah restoran kecil di Phnom Penh 11 bulan yang lalu.
Tetapi istri Abdallah Zalghana dan ketiga anak masih belum diizinkan untuk bergabung dengannya.
Kesepakatan itu dipandang sebagai kegagalan yang mahal lantaran hanya tiga dari tujuh pengungsi yang dimukimkan kembali dari Nauru yang tersisa di Kamboja saat ini.
Sekarang sudah lima tahun sejak dia terakhir melihat anak dan isterinya.
"Saya melakukan semua yang mereka inginkan," katanya.
"Pemerintah Australia berjanji kepada saya bahwa mereka akan membawa keluarga saya, tetapi mereka tidak memenuhi janji mereka."
Abdallah Zalghana mengatakan usaha barunya akan bangkrut karena keluarganya tidak ada di sini untuk membantunya menjalankan restoran itu dan dia harus menyewa staf lokal.
Abdallah Zalghana mengatakan dia sudah memberitahu pejabat dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) bahwa ia berencana melakukan aksi mogok makan agar kasusnya mendapat perhatian.
"Saya katakan kepada mereka dua atau tiga minggu lalu bahwa jika tidak ada yang realistis terjadi untuk membawa keluarga saya ke sini saya akan mogok makan," ancam Abdallah Zalghana.
"Mengapa mereka tidak dapat mengerti bahwa saya harus bersatu kembali dengan istri dan anak-anak saya. Apa ini tentang Pemerintah Australia? Mereka tidak punya belas kasihan."
Seorang juru bicara dari kantor Imigrasi Peter Dutton mengatakan mereka tidak akan mengomentari kasus individu.
Advertisement