Demi Bertahan Hidup, Wanita Pengungsi Venezuela Terpaksa Jadi PSK di Kolombia

Karena situasi negara yang carut marut, banyak pengungsi wanita asal Venezuela pergi ke Kolombia untuk menjadi PSK.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 24 Agu 2018, 19:05 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2018, 19:05 WIB
20170506-Aksi Wanita Venezuela Menentang Presiden Maduro-AFP
Sejumlah wanita membuka kausnya saat berunjuk rasa menentang Presiden Venezuela Nicolas Maduro di Caracas, Sabtu (6/5). Mereka meneriakkan “Liberty” dan wanita-wanita tersebut menyebut Maduro sebagai seorang diktator. (AFP PHOTO / JUAN BARRETO)

Liputan6.com, Bogota - Laporan investigasi yang dilakukan oleh stasiun televisi Sky News, menemukan fakta bahwa banyak wanita Venezuela --yang mengungsi karena kondisi negara carut marut-- terpaksa menjajakan diri di Kolombia untuk bertahan hidup.

Banyak dari mereka ditemukan kerap menjajakan diri di jalan-jalan di kota perbatasan Cucuta. Bahkan, beberapa klub di sana banyak yang merekrut mereka karena alasan harga murah, dan "bersedia dieksploitasi' demi bisa mendapat peso --mata uang resmi Kolombia.

Bahkan, sebagaimana dikutip dari Sky News pada Jumat (24/8/2018), sebuah rumah bordil setempat diketahui hanya memperkerjakan dua orang wanita Kolombia di tengah 60-an lebih kupu-kupu malam dari Venezuela.

Salah seorang pekerja seks komersial (PSK) di sana merupakan ibu dengan dua anak, yang dulunya berprofesi sebagai balerina. Ia memutuskan keluar dari Venezuela karena kondisi di sana semakin tidak menentu, yang berdampak pada kehidupan ekonomi.

"Saya akan melepaskan (pekerjaan) ini jika ada pilihan lain untuk bertahan hidup," ujarnya.

"Ini adalah pekerjaan yang memalukan tetapi pilihan apa yang saya miliki? Tidak ada," lanjutnya seraya menyeka air mata.

Ia beralasan harus menghasilkan uang untuk merawat anak-anaknya, yang saat ini terpaksa tidak menempuh pendidikan secara formal karena statusnya sebagai pengungsi ilegal.

"Satu-satunya cara untuk tetap bisa memberi makanan anak-anakku adalah pergi ke sini, ke Kolombia dan menjual tubuhku," tambahnya.

Para wanita di sana berbicara tentang perasaan tidak berdaya dan rentan, yang mengakui bahwa pilihan mereka sangat terbatas, tanpa dokumen resmi untuk meninggalkan Venezuela secara legal dalam jangka waktu lama.

Berbanding terbalik dengan status Venezuela sebagai salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, para warganya justru mengalami kesulitan ekonomi yang kian menjadi-jadi akibat hiperinflasi. Akibatnya, banyak dari mereka nekat mengungsi ke negara-negara sekitarnya untuk tetap bertahan hidup.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Mata Uang Venezuela Tidak Berharga

Saking Tak Bernilai, Uang Venezuela Dibikin Jadi Tas
Wilmer Rojas (25) saat menjajakan kerajinan tangan dari lembaran mata uang Bolivar di Caracas, Venezuela, 30 Januari 2018. Dengan menggunakan jarum dan benang, Rojas menyulap lembaran Bolivar menjadi dompet hingga tas. (AFP Photo/Federico Parra)

Sementara itu, uang di Venezuela dinilai tidak lebih berharga dibandingkan tisu toilet. Tumpukan besar uang bahkan hanya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Jika disebut nilainya, harga-harga di negara itu akan membuat kaget, meski nilai faktualnya tidak jauh dari satu dolar AS.

Dikutip dari News.com.au pada Kamis 23 Agustus, contoh realitas tersebut, salah satunya, terlihat pada harga satu ekor ayam seberat 2,4 kilogram, yang dibanderol 14,6 juta bolivar, atau setara dengan Rp 36.000.

Bahkan, satu gulung tisu toilet dijual seharga 2,6 juta bolivar, atau kurang dari 7.000 dalam mata uang rupiah. Harga -harga tersebut dilaporkan bertahan hingga akhir pekan lalu.

Ahli ekonomi dan hiperinflasi Profesor Steve Hanke dari John Hopkins University mengatakan, menghapus nol dari mata uang sulit memberi pengaruh positif pada perbaikan ekonomi Venezuela.

"Mereka telah menukar 100.000 bolivar lama untuk satu bolivar baru, (tetapi) nilainya kira-kira sama, satu sen dalam dolar AS," kata Prof Hanke kepada BBC.

"Kemarin, tingkat inflasi tercatat 61.500 persen secara tahunan, dan hari ini telah melonjak hingga 65.500 persen, jadi jelas tidak ada yang berubah," lanjutnya menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya