Venezuela Tuduh PBB Mendramatisasi Krisis Imigran

Pemerintah Venezuela menuduh PBB berusaha mendramatisasi krisis imigran untuk intervensi dunia internasional. Ini buktinya?

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 05 Sep 2018, 08:31 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2018, 08:31 WIB
Warga Venezuela mengantre di tempat memberikan suara untuk Pilpres 2018. (AP Photo/Juan Carlos Hernandez)
Warga Venezuela mengantre di tempat memberikan suara untuk Pilpres 2018. (AP Photo/Juan Carlos Hernandez)

Liputan6.com, Caracas - Pemerintah Venezuela pada awal pekan ini menuduh PBB melebih-lebihkan krisis imigran di negaranya, untuk membenarkan "intervensi internasional".

Wakil Presiden Delcy Rodriguez mengatakan pemerintah Venezuela menyampaikan keberatan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, bahwa "pejabat individu" telah menggambarkan "aliran migrasi sebagai krisis kemanusiaan untuk membenarkan intervensi".

Dikutip dari Straits Times, Selasa (4/9/2018), PBB mengatakan 1,6 juta orang Venezuela telah melarikan diri dari krisis ekonomi di negara itu sejak 2015, akibat dari semakin sulitnya mencukupi kebutuhan dasar seperti makanan dan obat-obatan.

Venezuela berada di tahun keempat resesi, sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi di sana akan mencapai 1 juta persen tahun ini.

Banjir imigran yang meninggalkan Venezuela untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain, telah menyebabkan negara-negara, seperti Kolombia, Brasil, Ekuador, dan Peru menjerit di bawah tekanan, demikian tulis PBB dalam satu laporannya.

Sementara itu, berbicara pada konferensi pers, Rodriguez mengatakan para pejabat PBB telah menggunakan data dari "negara musuh", dan menyajikannya seolah-olah itu milik mereka sendiri. Meski begitu, sang wakil presiden tidak merinci siapa para pejabat atau negara-negara musuh itu.

"Krisis kemanusiaan terburuk yang sedang dihadapi dunia saat ini adalah yang disebabkan oleh Nato dan negara-negara Uni Eropa di Afrika dan Timur Tengah," ucap Rodriguez, yang menyerukan kepada diplomat Uni Eropa atas Federica Mogherini untuk membasmi "berita palsu."

Di lain pihak, sekitar 13 negara Amerika Latin memulai pertemuan dua hari di Kota Quito pada Senin 2 September, untuk membahas krisis imigran Venezuela, termasuk respons regional dan permohonan untuk pendanaan dari luar.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Mata Uang Venezuela Tidak Bernilai

Saking Tak Bernilai, Uang Venezuela Dibikin Jadi Tas
Wilmer Rojas (25) saat menjajakan kerajinan tangan dari lembaran mata uang Bolivar di Caracas, Venezuela, 30 Januari 2018. Dengan menggunakan jarum dan benang, Rojas menyulap lembaran Bolivar menjadi dompet hingga tas. (AFP Photo/Federico Parra)

Sementara itu, nilai uang di Venezuela dikabarkan tidak lebih berharga dibandingkan tisu toilet. Tumpukan besar uang bahkan hanya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Jika disebut nilainya, harga-harga di negara itu akan membuat kaget, meski nilai faktualnya tidak jauh dari 1 dolar AS.

Dikutip dari News.com.au pada, contoh realitas tersebut, salah satunya, terlihat pada harga satu ekor ayam seberat 2,4 kilogram, yang dibanderol 14,6 juta bolivar (setara Rp 36.000) pada Agustus lalu.

Bahkan, satu gulung tisu toilet dijual seharga 2,6 juta bolivar, atau kurang dari 7.000 dalam mata uang rupiah. Harga-harga tersebut dilaporkan bertahan selama beberapa pekan setelahnya.

Ahli ekonomi dan hiperinflasi Profesor Steve Hanke dari John Hopkins University mengatakan, menghapus nol dari mata uang sulit memberi pengaruh positif pada perbaikan ekonomi Venezuela.

"Mereka telah menukar 100.000 bolivar lama untuk satu bolivar baru, (tetapi) nilainya kira-kira sama, satu sen dalam dolar AS," kata Prof Hanke kepada BBC.

"Kemarin, tingkat inflasi tercatat 61.500 persen secara tahunan, dan hari ini telah melonjak hingga 65.500 persen, jadi jelas tidak ada yang berubah," dia menjelaskan.

Namun, masih menurut Prof Hanke, krisis hiperinflasi Venezuela saat ini "agak sederhana" jika dibandingkan dengan beberapa yang pernah terjadi dalam sejarah

Catatan sejarah terburuk terjadi di Hungaria pada 1946, di mana tingkat inflasi harian mencapai 207 persen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya