Liputan6.com, Seoul - Menurut hasil sebuah jajak pendapat terbaru di kalangan warga Korea Selatan, bahwa bukan tetangganya di Utara yang menjadi penghalang terbesar perdamaian di tingkat regional, melainkan China.
Dalam survei yang dirilis oleh Institut Studi Perdamaian dan Unifikasi (IPUS) di Seoul National University, Selasa 2 Oktober, sebanyak 46 persen responden memandang China sebagai "negara yang paling mengancam untuk perdamaian di semenanjung Korea".
Laporan tersebut, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post pada Rabu (3/10/2018), merupakan peningkatan dramatis dari hasil studi pada tahun 2016, ketika 17 persen responden Korea Selatan mengatakan China adalah negara yang paling mengancam.
Advertisement
Hanya 33 persen responden memandang Korea Utara sebagai negara yang menimbulkan ancaman terbesar, jauh di atas 64 persen tahun lalu.
Jajak pendapat terhadap 1.200 orang pria dan wanita berusia 19 hingga 74 tahun dilakukan oleh Gallup Korea antara 12 Juli dan 3 Agustus.
Baca Juga
China "tidak menginginkan reunifikasi antar Korea", menurut 91 persen responden Korsel, dibandingkan dengan 90, 88 dan 53 persen untuk partisipan dari Jepang, Rusia dan Amerika Serikat.
Peneliti senior IPUS, Choi Gyu-bin, memperkirakan angka-angka itu berasal dari sengketa sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), yakni sistem pertahanan rudal anti-balistik AS, yang dikerahkan di wilayah Korea Selatan sejak 2016.
"Pembalasan ekonomi China terhadap keputusan Seoul untuk mengizinkan THAAD dikerahkan di Korea Selatan, telah berdampak negatif pada persepsi Seoul terhadap China," kata Choi.
Beijing melihat THAAD sebagai ancaman yang menargetkan China, mengorbankan keamanan nasional negara dengan memantau kegiatan militernya, bukan cara untuk mencegah atau mengekang ambisi nuklir Korea Utara.
China kemudian memulai kampanye tidak resmi yang agresif untuk menghentikan kelompok tur Tiongkok yang melakukan perjalanan ke Korea Selatan.
Boikotnya membebani industri pariwisata Negeri Ginseng hingga 7,5 triliun won antara Januari dan September tahun lalu, menurut data yang dikumpulkan oleh kantor anggaran nasional Korea Selatan.
Pemerintah China juga menargetkan konglomerat multinasional yang bermarkas di Seoul, seperti misalnya Lotte --yang setuju untuk menyediakan lahan bagi THAAD-- dengan mendenda terhadap praktik iklannya, dan menutup sejumlah besar cabang supermarket di Negeri Tirai Bambu atas berbagai alasan.
China juga mengintensifkan inspeksi pabean pada perusahaan Korea Selatan.
"(Hasil survei) mungkin juga merupakan reaksi (sederhana) karena peningkatan cepat keintiman terhadap Korea Utara," kata Choi.
Simak video pilihan berikut:
Penurunan Persepsi Negatif Terhadap Pyongyang
Pertemuan antara kedua Korea, serta antara Korea Utara dan China dan antara Korea Utara dan AS, menyumbang penurunan persepsi negatif terhadap Pyongyang, tambah laporan terkait.
Korea Utara dan Selatan bersumpah selama pertemuan mereka untuk mengakhiri tujuh dekade permusuhan di antara keduanya.
Setengah dari responden survei menganggap China sebagai negara "berhati-hati", lebih dari dua kali lipat 24 persen menyatakan pendapat itu pada tahun 2015, sebelum sengketa THAAD.
Hanya 13 persen yang menganggap China sebagai mitra kerja sama - angka terendah sejak survei dimulai.
Setengah responden tersebut juga mengatakan kebangkitan China tidak membantu membawa perdamaian di semenanjung Korea, sedangkan 22 persen merasa hal itu akan secara positif mempengaruhi kawasan terkait.
"Sementara pembalasan THAAD dianggap sebagai penyebab langsung, konflik AS-China, perselisihan teritorial di Asia Timur dan 'Belt and Road Initiative' yang tegas adalah beberapa faktor tidak langsung yang bertanggung jawab atas hasilnya," kata Choi.
Advertisement