Masalah pada Instrumen Ini Diduga Sebabkan Lion Air JT 610 Jatuh?

Analis penerbangan menyebut adanya malfungsi pada salah satu instrumen pesawat yang menyebabkan Lion Air JT 610 jatuh. Apa itu?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 31 Okt 2018, 12:48 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2018, 12:48 WIB
Pesawat Lion Air
Ilustrasi Pesawat Lion Air (Adek BERRY / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Kotak hitam (black box) yang jadi kunci misteri jatuhnya Lion Air JT 610 belum ditemukan, namun sejumlah analis penerbangan mengajukan teori terkait penyebab kecelakaan yang terjadi pada Senin 29 Oktober 2018 itu. 

Salah satunya adalah dugaan bahwa malfungsi salah satu instrumen pada burung besi Boeing 737 MAX 8 itu, menjadi penyebab signifikan yang mungkin menyebabkan Lion Air nahas berakhir di Teluk Karawang.

Sebelum hilang kontak dan jatuh, pesawat anyar yang baru diproduksi itu menunjukkan perubahan yang tidak menentu dalam kecepatan, ketinggian (altitude) dan arahnya. Hal itu menyebabkan para ahli berspekulasi bahwa masalah pada instrumen pesawat yang digunakan untuk menghitung kecepatan dan ketinggian pesawat, mungkin telah menyebabkan kecelakaan itu, demikian dilaporkan Russel Goldman untuk the The New York Times, yang dikutip Rabu (31/10/2018).

Malfungsi pada indikator itu, yang bernama tabung pitot (pitot tubes), pernah menjadi penyebab dalam beberapa kecelakaan penerbangan sebelumnya.

Namun, para ahli menegaskan, untuk menentukan penyebab pasti kecelakaan Lion Air JT 610 pada akhirnya tetap memerlukan perekam data penerbangan pesawat, yang disebut sebagai kotak hitam (black box).

Lion Air JT 610 berangkat dari Jakarta pada hari Senin pukul 6.20 pagi untuk menuju Pangkal Pinang. Setelah lepas landas, pesawat sempat mencapai ketinggian 2.100 kaki sebelum kemudian 'terjun' menjadi sekitar 1.475 kaki, demikian menurut data satelit yang dikirimkan dari pesawat dan ditayangkan oleh situs penerbangan Flightradar 24.

Pergerakan pesawat Lion Air JT 610 sebelum jatuh ke Tanjung Karawang (Flightradar24)

Beberapa saat kemudian, pesawat naik ke ketinggian bervariasi antara 4.500 dan 5.350 kaki. Data kemudian menunjukkan penurunan yang tajam, hingga hilang kontak pada pukul 6.32 pagi. Kapal terbang itu jatuh, dan diduga kuat menewaskan 189 orang di dalamnya.

Dalam penerbangan normal, garis-garis pada grafik Flightradar 24, yang mewakili kecepatan (kuning) dan ketinggian (biru), biasanya akan naik ke relatif halus. Tetapi, pada penerbangan Lion Air JT 610 hari pada Senin, grafik itu menunjukkan fluktuasi. Turun naik.

"Grafik penerbangan yang tidak menentu membuat kami mencurigai adanya masalah dengan sistem pitot-static (tabung pitot)," kata Gerry Soejatman, seorang pakar penerbangan Indonesia, kepada The New York Times.

 

Simak video pilihan berikut:

Teori Malfungsi Tabung Pitot pada JT 610

Rita/Liputan6.com
Pesawat Lion Air yang jatuh regitrasi PK-LQP jenis Boieng 737 MAX 8 jatuh di Kawarang. (Humas Lion Air)

Tabung pitot, adalah tabung berperforasi berbentuk ramping yang terletak di sayap atau badan pesawat terbang. Alat itu digunakan untuk menentukan kecepatan udara --sebuah pengukuran yang penting untuk mengendalikan pesawat. Terlalu lambat, maka pesawat dapat terhambat; terlalu cepat, pesawat dapat pecah.

Setiap tabung memiliki dua lubang di dalamnya: lubang di depan di mana aliran udara mengalir ke dalamnya dan lubang di samping. Dengan mengukur perbedaan dalam "tekanan stagnasi" di lubang depan dan "tekanan statis" di lubang samping, maka kecepatan udara pada pesawat dapat dihitung.

Tabung itu dinamai oleh penemunya, Henri Pitot, seorang ilmuwan Prancis abad ke-18 yang menemukan alat untuk mengukur kecepatan aliran sungai.

Tabung pitot yang rusak pernah berkontribusi pada insiden hilangnya Air France Penerbangan 447 di Atlantik pada tahun 2009. Para penyelidik menemukan pembentukan kristal es di salah satu lubang tabung pitot, yang menyebabkan kesalahan pengukuran, dan memicu pilot bereaksi keliru hingga membuat pesawat hilang kontrol. 

Analis berspekulasi, malfungsi pada instrumen serupa mungkin terjadi pada Lion Air JT 610. 

Contoh tabung pitot pada pesawat (namun bukan pada Lion Air JT 610) (Wikimedia / Creative Commons)

Seperti yang dijelaskan seorang ahli, seperti dikutip dari Newser.com, "Jika mereka terbang dengan autopilot dan indikasi ketinggian menjadi tak wajar, maka pesawat akan bereaksi. Pada pesawat yang telah terotomatisasi, ketika ada yang tidak beres terjadi, kru bisa sangat panik."

Ketika insiden semacam itu terjadi, niscaya akan terjadi kepanikan di kokpit, ketika awak pesawat berupaya mati-matian untuk mengatasi masalah tersebut. 

Dia menambahkan, pesawat Lion Air JT 610 diduga telah rusak ketika memasuki Laut Jawa, mengindikasikan hilangnya kontrol sepenuhnya, alih-alih indikasi upaya pendaratan darurat yang terkendali. 

Namun, itu hanya salah satu teori, karena, para ahli memperingatkan bahwa masih terlalu dini untuk menentukan penyebab pasti kecelakaan pesawat maskapai berlogo kepala singa itu.

Ahli lain juga menilai, pada beberapa kecelakaan pesawat, malfungsi pada instrumen lain, faktor human error, cuaca atau kombinasi ketiganya, bisa sama-sama berkontribusi sebagai sebab-musabab.

"Jika tabung pitot terbukti jadi penyebab, maka, ini adalah kegagalan teknis tingkat tinggi," ujar ahli tersebut, seperti dikutip dari Newser.com.

"Tapi ingat, pada penerbangan sebelumnya, pesawat itu secara teknis mampu mendarat dengan aman," lanjutnya merujuk pada penerbangan Lion Air JT 610 rute Denpasar-Jakarta pada 28 Oktober 2018.

Sensasi Roller Coaster

Sebelumnya Presiden Direktur Lion Air Group Edward Sirait membenarkan pesawatnya pernah 'mengalami masalah' pada penerbangan 28 Oktober 2018 destinasi Denpasar-Jakarta.

Namun, ia mengatakan bahwa masalah itu "telah diselesaikan sesuai prosedur".

"Memang betul, pesawat baru tersebut pernah alami kendala teknis dan itu hal yang biasa," katanya, Senin 29 Oktober 2018. "Saat itu memang ada kendala, tapi berhasil dan selamat pada penerbangannya yang tentunya laik untuk take off," ungkapnya.

Seperti dikutip dari Newser.com, penumpang pada penerbangan Lion Air rute Denpasar-Jakarta pada 28 Oktober melaporkan sensasi 'seperti naik roller coaster' saat berada di dalam burung besi itu.

"Sekitar tiga hingga delapan menit setelah lepas landas, saya merasa seperti pesawat kehilangan kekuatan dan tidak dapat naik," kata seorang penumpang seperti dikutip dari Newser.com, dan hal yang sama terjadi beberapa kali, timpalnya.

"Beberapa penumpang mulai panik dan muntah."

Penumpang lain mengatakan ada juga masalah dengan AC, lampu kabin, dan suara mesin "aneh" yang terus berlanjut sepanjang penerbangan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya