Filipina Tuduh Situs Investigatif Rappler Hindari Pajak, Bungkam Kebebasan Pers?

Situs jurnalisme investigatif Rappler dituduh melakukan penggelapan pajak oleh pemerintah Filipina. Alasan untuk membungkam pers?

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 12 Nov 2018, 07:01 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2018, 07:01 WIB
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (AP/Bullit Marquezz)
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (AP/Bullit Marquezz)

Liputan6.com, Manila - Langkah yang diambil oleh Kementerian Kehakiman Filipina, untuk menuntut situs berita investigatif Rappler atas tuduhan penghindaran pajak, dilihat sebagai upaya terselubung dalam meredam kebebasan pers di sana.

Pada Jumat 9 November 2018, Kementerian Kehakiman mengatakan telah "menemukan kemungkinan penyebab" untuk mendakwa Rappler, termasuk CEO dan editor eksekutifnya, yang merupakan mantan kepala biro CNN Filipina, Maria Ressa, atas tuduhan penggelapan pajak.

"Kami sama sekali tidak terkejut dengan keputusan itu, mengingat bagaimana pemerintahan (Presiden Rodrigo) Duterte telah banyak mengkritik laporan Rappler yang independen dan tak kenal takut," kata media terkait dalam sebuah pernyataan publik, sebagaimana dikutip dari CNN pada Minggu (11/11/2018).

Pejabat Filipina mengatakan Rappler dan Ressa gagal menunjukkan bukti pajak dari kesepakatan bernilai sekitar US$ 3 juta (setara Rp 44 miliar) pada tahun 2015 terkait investasi oleh Omidyar Network, jaringan permodalan yang dibuat oleh pendiri eBay Pierre Omidyar.

Investasi tersebut disebut oleh Rappler pada November 2015, sebagai kemitraan untuk menciptakan platform "media inklusif" yang memadukan jurnalisme profesional, teknologi, dan kebijaksanaan dari orang banyak.

Dalam beberapa tahun terakhir, Rappler diketahui tidak gentar dalam mendokumentasikan sekaligus mengkritik kebijakan "perang melawan narkoba" oleh pemerintah Filipina, yang dinilai menindas secara luas karena mendorong ribuan pembunuhan di luar hukum.

Pada bulan Januari, Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC) secara sementara mencabut pendaftaran hak operasional Rappler, atas dasar bahwa lembaga pers itu telah melanggar konstitusi negara dalam peraturan kepemilikan asing.

Pada saat itu, Ressa berkata: "Kami harus melanjutkan. Apa yang kami katakan di Rappler adalah, 'kami akan memegang garis'. Kami tidak melakukan apa pun kecuali jurnalisme. Kami berbicara tentang kebenaran kepada penguasa. Itulah yang kami lakukan."

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Mirip Situasi Pers di AS

Kisah 4 Jurnalis Tewas Tragis saat Tugas
Ilustrasi jurnalis. (Wikimedia Commons)

Sehari sebelum pengumuman tuduhan penggelapan pajak, Ressa berada di Amerika Serikat untuk menerima Penghargaan Global Journalism Knight dari International Committee for Journalists (ICFJ).

Dalam sebuah pernyataan yang mengumumkan penghargaan tersebut, ICFJ memuji Ressa sebagai "editor pemberani dan inovator media yang memegang sorotan untuk perang berdarah pemerintah Filipina terhadap narkoba."

Ressa mengatakan bahwa Duterte menggunakan taktik yang sama yang sekarang sedang dilihat di AS, termasuk pelarangan jurnalis dan pelabelan kisah-kisah kritis sebagai "berita palsu."

"Masalah kami cepat menjadi masalah Anda. Batas di seluruh dunia telah runtuh," katanya, menurut pernyataan ICFJ tertanggal 9 November.

Sementara itu, menurut Freedom House, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang didanai pemerintah AS, merilis laporan awal bulan, bahwa kebebasan internet telah menurun di seluruh dunia selama delapan tahun berturut-turut.

Dari 65 negara yang diteliti, Filipina mengalami salah satu penurunan terbesar dalam metode penilaian poin yang menilai akses internet, kebebasan berekspresi, dan masalah privasi, menurut laporan "Freedom on the Net."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya