Liputan6.com, Singapura - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengecam setiap latihan militer di Laut Filipina Barat, bagian dari Laut China Selatan yang disengketakan, karena akan menciptakan gesekan dan provokasi terhadap China.
"Saya katakan China sudah memiliki dan Laut Filipina Barat sekarang ada di kendali mereka. Jadi mengapa Anda harus membuat gesekan dengan menggelar kegiatan militer di wilayah yang disengketakan itu," ujar Rodrigo Duterte di sela-sela KTT ASEAN ke-33 di Singapura, Kamis 15 November, seperti dikutip dari Antara (16/11/2018).
Duterte mengaku tidak keberatan semua orang pergi berperang. Namun Filipina akan menjadi yang pertama menderita apabila ada tembakan di situ.
Advertisement
"Itu adalah satu-satunya kepentingan nasional saya di sana. Tidak ada yang lain," ujar dia.
Baca Juga
Filipina dan China memiliki klaim yang tumpang tindih di Laut China Selatan, bersama dengan Vietnam, Taiwan, Malaysia dan Brunei.
Sementara itu, Duterte akan melakukan yang terbaik untuk mendorong penyelesaian kode etik (COC) di Laut China Selatan.
Duterte mengatakan bahwa negara-negara lain harus menerima kenyataan bahwa China berada di perairan yang disengketakan.
"Semua negara baik itu Amerika Serikat harus menyadari bahwa China ada di sana. Jadi jika Anda terus menciptakan gesekan dan salah perhitungan, maka keadaan malah akan bertambah buruk," ujar dia.
Simak video pilihan berikut:
Klaim Sepihak China
China telah mengklaim hampir 90 persen dari Laut Cina Selatan yang disengketakan di tengah klaim dari beberapa negara seperti Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Beijing melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi the nine-dash line atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk sebagian besar kawasan Laut China Selatan.
Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara. Kritik itu juga berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Sementara AS menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.
Pengadilan Arbitrase Internasional di The Hague telah membatalkan klaim sepihak tersebut pada Juli 2016, tetapi, Beijing mengabaikan keputusan itu, dengan terus memodernisasi dan meningkatkan kuantitas serta aktivitas angkatan lautnya di Laut China Selatan, menurut berbagai laporan analis dan organisasi pemantau.
Advertisement