Dihadang Suku Sentinel, Polisi India Gagal Evakuasi Jasad Warga AS

Polisi India gagal mengevakuasi jasad warga AS yang tewas dipanah suku terpencil di Pulau Sentinel Utara, Kepulauan Andaman dan Nikobar.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Nov 2018, 07:31 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2018, 07:31 WIB
Sentinel (4)
Pada 2006, dua orang nelayan terbunuh ketika kapal mereka hanyu terlalu dekat ke pulau Sentinel. (Sumber pasukan penjaga pantai India)

Liputan6.com, Andaman dan Nikobar - Kepolisian India gagal mengevakuasi jasad warga negara Amerika Serikat yang tewas dipanah suku terpencil di Pulau Sentinel Utara, Kepulauan Andaman dan Nikobar, setelah dihadang oleh orang-orang etnik tersebut.

Suku Sentinel dilaporkan berjaga dan siap bertarung di pesisir pulau, ketika perahu kepolisian India mendekat dengan hanya berjarak sekitar 400 meter dari bibir pantai. Demikian seperti dikutip dari The Sydney Morning Herald, Senin (26/11/2018).

Melihat hal tersebut, polisi yang mendekat terpaksa mundur dan menunda misi pencarian John Allen Chau (26). Pemuda itu diyakini tewas akibat dihujani panah, sesaat setelah mendarat di Pulau Sentinel Utara pada 16 November 2018.

Polisi bahkan sempat saling adu tatap muka dengan sekelompok Suku Sentinel.

"Mereka menatap kami (para anggota polisi) dan kami menatap balik," kata Dependra Pathak, direktur jenderal kepolisian Andaman dan Nikobar.

Perahu polisi kemudian mundur untuk menghindari konfrontasi apa pun. Pihak berwenang selalu berhati-hati untuk menghindari kontak langsung dengan Suku Sentinel, kelompok pra-neolitik yang pulaunya dilarang oleh India untuk dikunjungi manusia.

Tapi kematian Chau pada pekan lalu telah menyoroti masalah-masalah tentang upaya orang luar untuk berinteraksi dengan salah satu suku terasing terakhir di dunia, yang bahasa dan adat istiadatnya sangat tidak dapat dipahami.

Para nelayan yang membawa Chau ke Pulau Sentinel Utara mengatakan, mereka melihat anggota suku menguburkan jasad Chau di pantai.

Suku Sentinel telah diketahui menyerang siapa saja yang pergi ke pulau itu, sebab mereka menganggap orang asing sebagai ancaman. Dua nelayan yang tersapu ombak ke pulau itu pada 2006, juga dinyatakan tewas. Satu pekan setelahnya, tubuh mereka ditemukan terpaku pada pasak bambu dan dihadapkan ke laut.

"Dibuat seperti orang-orangan sawah," tutur Dependra Pathak, yang juga menjelaskan bahwa kepolisian masih turut menyelidiki kasus 12 tahun silam.

"Kami sedang mempelajari kasus 2006. Kami bertanya kepada para antropolog, apa yang mereka (Suku Sentinel) lakukan ketika mereka membunuh orang luar," ucap kepala polisi itu kepada Agence France-Presse. "Kami mencoba memahami psikologi kelompok itu."

Meskipun kematian Chau secara resmi adalah kasus pembunuhan, antropolog mengatakan bahwa sangat mustahil untuk mengambil kembali jenazah laki-laki berkebangsaan Amerika itu, dan kemungkinan besar tidak ada tuntutan yang akan dilakukan oleh otoritas terhadap Suku Sentinel yang dilindungi.

Di sisi lain, pihak keluarga Chau mengatakan, mereka tak akan mencari pembalasan hukum kepada pelaku maupun para nelayan yang dibayar oleh Chau untuk mengantarkannya ke Pulau Sentinel Utara.

 

Simak video pilihan berikut:

Momen Terakhir Korban...

John Allen Chau, warga negara Amerika Serikat yang tewas dipanah oleh Suku Sentinel di Pulau Sentinel Utara, Andaman dan Nikobar, India pada 16 November 2018 (AP PHOTO)
John Allen Chau, warga negara Amerika Serikat yang tewas dipanah oleh Suku Sentinel di Pulau Sentinel Utara, Andaman dan Nikobar, India pada 16 November 2018 (AP PHOTO)

Sementara itu, Chau pun sempat membeberkan momen-momen terakhir sebelum ia meninggal.

Dalam sebuah buku harian, ia mengatakan ingin "mengenalkan Yesus" kepada para anggota Suku Sentinel dan mengingatkan keluarganya untuk "tidak marah pada mereka atau kepada Tuhan jika saya terbunuh dalam prosesnya".

John Allen Chau (26) diyakini tewas akibat dihujani panah sesaat setelah mendarat di Pulau Sentinel Utara, bagian dari Kepulauan Andaman dan Nikobar, Jumat 16 November 2018.

Pulau itu, yang terlarang bagi pengunjung tanpa izin, adalah rumah bagi Suku Sentinel berusia 30.000 tahun yang sengaja menutup diri dan dikenal agresif melawan orang luar.

Chau berulang kali mencoba mengontak suku itu dan berhasil mencapai pulau sehari sebelum dia dibunuh. Dia mencoba menawarkan hadiah berupa ikan dan bola sepak, tulisnya dalam buku harian.

"Saya mendengar teriakan dari sebuah pemburuan," tulis Chau dalam sebuah catatan buku harian yang diberikan kepada beberapa media oleh ibunya, seperti dikutip dari The Guardian.

"Saya memastikan untuk tetap berada di luar jangkauan panah, tapi sayangnya itu berarti saya juga keluar dari jangkauan pendengaran yang baik."

"Jadi saya sedikit mendekat karena mereka (sekitar enam dari apa yang saya lihat) berteriak pada saya, saya mencoba untuk mengembalikan kata-kata mereka kepada mereka. Mereka tertawa terbahak-bahak sepanjang waktu, jadi mereka mungkin mengatakan kata-kata kasar atau menghina saya."

"Saya berteriak: 'Nama saya John, saya mencintaimu dan Yesus mencintaimu.' Saya menyesal, mulai sedikit panik ketika melihat mereka menyematkan panah ke busur."

"Saya kemudian pergi kembali ke perahu, seakan nyawa saya bergantung pada hal itu. Saya merasa takut tetapi sebagian besar kecewa. Mereka tidak menerimaku."

Chau diketahui menyewa kapal nelayan beserta awaknya dengan membayar 25.000 rupee untuk membawanya ke Pulau Sentinel Utara.

Salah satu dari anggota Suku Sentinel, "seorang anak mungkin sekitar 10 tahun atau lebih, mungkin seorang remaja", menembakkan panah yang menghantam Alkitabnya, dia menulis pada malam 15 November 2018, sehari sebelum kematiannya, di atas kapal nelayan yang ia sewa.

"Ya, saya telah dipanah oleh Orang Sentinel."

Keesokan harinya ketika dia bersiap untuk melakukan pendekatan kedua, Chau menulis surat kepada orang tuanya. "Kalian mungkin berpikir saya tergila-gila dengan semua ini, tetapi saya pikir pantas untuk mengenalkan Yesus kepada orang-orang ini," tulisnya.

"Tolong jangan marah pada mereka atau pada Tuhan jika aku terbunuh. Sebaliknya, harap jalani hidup kalian dalam kepatuhan terhadap apa pun yang telah kalian yakini dan saya akan bertemu lagi ketika kalian melewati ajal."

"Ini bukan hal yang tidak ada gunanya. Kehidupan suku ini sudah dekat pada akhir dan saya tidak sabar untuk melihat mereka di sekitar takhta Tuhan yang beribadah dalam bahasa mereka sendiri, seperti yang dinyatakan dalam Wahyu 7: 9-10."

Dia menutup catatan hariannya dengan: "Soli deo gloria" (kemuliaan hanya milik Tuhan).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya