Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan ia mungkin akan membatalkan pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menyusul bentrokan maritim terbaru antara Rusia dan Ukraina di Semenanjung Krimea.
Trump mengatakan kepada Washington Post dia menunggu "laporan lengkap" setelah kapal Rusia menembaki dan menyita tiga kapal Ukraina pada hari Minggu 25 November 2018.
Ukraina menggambarkannya sebagai "tindakan agresi" tetapi Rusia mengatakan kapal-kapal itu telah secara ilegal memasuki perairannya.
Advertisement
Darurat militer telah diberlakukan di beberapa bagian Ukraina, dalam sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sementara itu, AS telah mendesak negara-negara Eropa untuk berbuat lebih banyak guna memberikan dukungan kepada Ukraina.
Baca Juga
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan, Washington ingin melihat penegakan sanksi yang lebih keras terhadap Rusia.
Trump dan Putin akan bertemu di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires akhir pekan ini.
Namun, Trump mengatakan kepada Washington Post bahwa laporan yang datang dari tim keamanan nasionalnya akan "sangat menentukan" jadi-tidaknya pertemuan itu.
"Mungkin saya tidak akan mengadakan pertemuan (dengan Putin). Mungkin saya bahkan tidak akan mengadakan pertemuan. Saya tidak suka agresi itu. Saya sama sekali tidak menginginkan agresi itu," katanya.
Keduanya sempat dijadwalkan membahas keamanan, pengawasan senjata, dan masalah di Ukraina dan Timur Tengah ketika KTT G20 diadakan pada Jumat dan Sabtu, penasihat keamanan nasional John Bolton mengatakan pada wartawan.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa perebutan kapal Ukraina adalah "eskalasi berbahaya dan pelanggaran hukum internasional".
Sementara itu, Inggris mengutuk "perilaku destabilisasi Rusia di wilayah tersebut dan pelanggaran yang sedang berlangsung terhadap kedaulatan teritorial Ukraina".
Namun, berbeda dengan rekan-rekan Barat lainnya, Kanselir Jerman Angela Merkel justru mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin, berpendapat bahwa orang-orang Ukraina telah "dengan sengaja mengabaikan aturan perjalanan damai di laut teritorial Federasi Rusia", kata Kremlin.
Nyonya Merkel telah "menekankan perlunya de-eskalasi dan dialog," kata juru bicaranya.
Â
Simak video pilihan berikut:
Presiden Ukraina: Ketegangan dengan Rusia dapat Memicu Perang Skala Penuh
Presiden Ukraina, Petro Poroshenko, memperingatkan tentang ancaman "perang skala penuh" dengan Rusia, menyusul ketegangan yang meningkat antara kedua negara terkait penahanan kapal angkatan laut negara tersebut di Selat Kerch.
Poroshenko mengatakan kepada televisi nasional setempat pada hari Selasa: "Saya sejatinya tidak ingin orang lain berpikir ini main-main. Ukraina berada di bawah ancaman perang skala penuh dengan Rusia. "
Dikutip dari The Guardian pada Rabu 28Â November 2018, jumlah unit Rusia yang dikerahkan di sepanjang perbatasan dengan Ukraina telah "bertambah secara dramatis", dan jumlah tank negara itu turut dikabarkan meningkat hingga tiga kali lipat.
Fakta di atas disampailan langsung oleh Poroshenko, dengan mengutip laporan intelijen, namun tidak memberikan skala waktu yang diperkirakan.
Sementara itu, pengadilan Rusia di Semenanjung Krimea telah memerintahkan para pelaut Ukraina, yang ditangkap pada akhir pekan, untuk ditahan selama dua bulan.
Sebanyak 12 dari total 24 pelaut yang ditahan Rusia, diperintahkan untuk menjalani penahanan pra-ajudikasi selama dua bulan. oleh pengadilan di kota Simferopol di Krimea, semenanjung yang dicaplok oleh Rusia pada 2014.
Para pelaut Ukraina menghadapi tuduhan penyeberangan perbatasan Rusia secara ilegal, yang bisa berakibat hukuman hingga enam tahun penjara, menurut seorang penyelidik.
Pasukan perbatasan Rusia menembaki dan menyita tiga kapal Ukraina di selat Kerch, yang memisahkan Krimea dari daratan Rusia, pada hari Minggu. Setidaknya tiga pelaut terluka.
Ukraina mengatakan mereka melakukan perjalanan di perairan bersama di jalur rutin ke Laut Azov, di mana mereka mengklaim berhak untuk patroli di bawah perjanjian bilateral.
Krisis antara kedua negara telah memprovokasi kecaman internasional, yang mengarah pada pembahasan tentang kemungkinan sanksi baru terhadap Rusia.
Advertisement