Liputan6.com, Naypyidaw - CEO Twitter, Jack Dorsey, menghadapi kecaman keras oleh warganet global karena mempromosikan Myanmar sebagai tujuan wisata, yang tersirat dalam serangkaian twit-nya belum lama ini.
Warganet global menilai Dorset abai terhadap nasib ratusan ribu pengungsi etnis Rohingya yang melarikan diri dari pelanggaran hak asasi manusia, yang oleh PBB disebut serupa tindakan genosida.
Dikutip dari The Guardian pada Senin (10/122018), Dorsey berbagi cerita ke lebih dari empat juta pengikutnya di Twitter, bahwa dia telah melakukan perjalanan ke wilayah utara Myanmar pada bulan lalu, untuk wisata meditasi selama 10 hari.
Advertisement
Dia pun melanjutkan kisahnya dengan ajakan untuk mengunjungi negara yang kini dipimpin oleh Aung San Suu Kyi itu.
Baca Juga
"Orang-orang terlihat penuh sukacita dan makanannya luar biasa," katanya, sebelum mendorong para pengikutnya di Twitter untuk turut berkunjung.
Tidak lama setelahnya, unggahan Dorsey mendapat serangan kritik dan kecaman dari warganet di seluruh dunia. Para kritikus menuduh Dorsey "menutup mata dan telinga" terhadap penderitaan minoritas muslim Rohingya.
Sebanyak lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya melarikan diri dari Myanmar tahun lalu, menghindari upaya "penyingkiran massal" oleh militer negara itu di negara bagian Rakhine.
Dalam laporan PBB yang terakhir dirilis, tentara Myanmar dituduh bertanggung jawab atas kejahatan perang, dan juga kejahatan kemanusiaan terhadap etnis minoritas.
Misi khusus PBB menemukan bahwa militer Myanmar "membunuh tanpa pandang bulu, memperkosa wanita, menyerang anak-anak dan membakar seluruh desa" di Rakhine, yang merupakan kantong pemukiman muslim Rohingya.
PBB juga menyampaikan laporan pilu serupa, yang terjadi di negara bagian Shan dan Kachin. Angkatan bersenjata Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, dituding melakukan pembunuhan, penangkapan paksa, penyiksaan, pemerkosaan dan tindak perbudakan di kedua wilayah terkait.
Simak video pilihan berikut:
Dinilai Sebagai Sebuah Ironi
Tidak hanya dari kalangan warganet, kritik juga mengalir deras dari banyak tokoh pemerhati HAM dan kemanusiaan.
Andrew Stroehlein, direktur media Eropa Human Rights Watch, mentwit, "Saya bukan ahli dalam meditasi, tetapi apakah itu seharusnya membuat Anda begitu terobsesi pada diri sendiri, sehingga lupa menyebutkan bahwa Anda berada di sebuah negara di mana militer telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal, memaksa ratusan ribu orang melarikan diri, dalam salah satu bencana kemanusiaan terbesar saat ini?"
Mohammed Jamjoom, seorang koresponden politik terkemuka untuk stasiun televisi Al Jazeera--yang telah mewawancarai pengungsi Rohingya--mengatakan bahwa twit Dorsey telah membuatnya "benar-benar tidak bisa berkata-kata".
"Saya pikir dia (Dorsey) tidak memiliki kepekaan di dirinya. Ironisnya, dia memimpin salah satu media sosial terbesar saat ini," kicau Jamjoom.
Sementara itu, beberapa kritikus lainnya mencatat bahwa platform media sosial telah memainkan peran dalam penyebaran informasi yang kurang tepat terkait krisis Rohingya.
Bulan lalu, Facebook mengatakan setuju dengan laporan yang menemukan produknya gagal mencegah munculnya "hasutan kekerasan offline" di Myanmar.
Advertisement