Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara mengecam sanksi terbaru dari Amerika Serikat (AS), di mana menurut mereka, hal itu bisa merusak upaya denuklirisasi penuh di Semenanjung Korea.
Washington mengatakan pihaknya memberi sanksi kepada tiga pejabat tinggi Korea Utara, menyusul laporan tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Dikutip dari BBC pada Senin (17/12/2018), sebuah pernyataan resmi oleh pemerintah Korea Utara, menunjukkan bahwa mereka "terkejut sekaligus marah" terhadap sanksi baru AS tersebut.
Advertisement
Pernyataan yang dikutip dari laporan kantor berita resmi setempat, KCNA, kementerian luar negeri AS dituding sengaja membawa kembali pada hubungan kontroversial yang terjadi pada 2017 lalu.
Baca Juga
Dalam tindakan saling serang sebelumnya, Donald Trump menyebut Kim Jong-un sebagai "pria roket kecil" yang mengancam keamanan global. Dalam kritik balasannya, pemimpin Korea Utara menyebut presiden AS sebagai "orang tua yang gila", karena menuduh hal yang tidak mendasar.
Ketegangan di antara keduanya sempat mereda setelah pertemuan bersejarah di Singapura pada pada 12 Juni lalu, yang menghasilkan komitmen bersama untuk mencapai denuklirisasi penuh di Semenanjung Korea.
Sementara itu, AS kembali menegaskan bahwa pihaknya akan menguak pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh tangan kanan Kim Jong-un, Choe Ryong-hae, dan dua orang lainnya, yakni menteri keamanan Jong Kyong-thaek dan pejabat propaganda Park Kwang-ho.
Juru bicara kementerian luar negeri AS, Robert Palladino, mengatakan: "Pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara masih termasuk yang terburuk di dunia, meliputi pembunuhan di luar hukum, kerja paksa, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang yang berkepanjangan, pemerkosaan, aborsi paksa dan kekerasan seksual lainnya."
Di lain pihak, Korea Utara mengatakan bahwa kebijakan "tekanan maksimum" AS akan menjadi penghalang besar dalam "kesepakatan baik yang dibuat di Singapura"
Simak video pilihan berikut:
Kemajuan Sulit Dicapai Antara AS dan Korut
Pada KTT Singapura yang berlangsung 12 Juni lalu, Donald Trump dan Kim Jong-un menandatangani perjanjian untuk bekerja menuju denuklirisasi penuh di Semenanjung Korea. Namun, kesepakatan itu tidak termasuk batas waktu, detail atau mekanisme yang digunakan untuk memverifikasi proses terkait.
Meski begitu, ada beberapa keberhasilan yang dicapai setelah KTT tersebut, terutama tentang hubungan antar dua negara Korea.
Pekan lalu, tentara Korea Utara dan Selatan melakukan beberapa penyeberangan persahabatan ke wilayah masing-masing untuk pertama kalinya. Saat itu, mereka saling memeriksa pembongkaran pos penjaga di Zona Demiliterisasi (DMZ).
Sayangnya, kemajuan tersebut tidak tampak dalam hubungan Pyongyang dengan Washington.
Sebagai contoh, rencana perundingan antara Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, dan mitranya dari Korea Utara, Kim Yong-chol, dibatalkan secara tiba-tiba pada November lalu, dan belum dijadwal ulang.
Selain itu, AS juga kembali menegaskan bahwa pihaknya tidak akan pernah merestui kesepakatan mengakhiri perang Korea secara formal, jika pemerintahan Kim Jong-un tetap menimbulkan ancaman senjata nuklir.
Advertisement