Liputan6.com, Jenewa - Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa badan hak asasi manusia PBB tidak akan serta-merta menindaklanjuti petisi referendum yang disampaikan oleh figur separatis Papua kepada Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB (KTHAM) pekan lalu.
Sebelumnya muncul pemberitaan di beberapa media asing bahwa Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda telah menyerahkan petisi dengan 1,8 juta tanda tangan, yang berisi permintaan referendum kemerdekaan kepada Komisioner Tinggi Badan HAM PBB, Michelle Bachelet pada Jumat 25 Februari 2019.
Advertisement
Baca Juga
Namun, Benny menyerahkan petisi itu dengan 'menumpang' delegasi Vanuatu saat menghadap Dewan HAM PBB dalam pembahasan Universal Periodic Review (UPR) situasi HAM di negara Pasifik itu.
Menyikapi kabar tersebut, Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Hasan Kleib menjelaskan:
"Terkait penyerahan apa yang disebut dengan petisi sebenarnya dapat dilakukan selain langsung juga bisa melalui online registry yang ditujukan ke bagian 'petition team' Kantor KTHAM," jelas Dubes Hasan kepada Liputan6.com, Rabu (30/1/2019).
"Namun, tidak secara otomatis Kantor KTHAM akan menindaklanjuti, apalagi jika petisinya sama sekali tidak terkait dengan isu HAM ... Petisi itu terkait isu referendum yang sama sekali di luar mandat Kantor KTHAM," lanjutnya.
Mengecam Vanuatu
Sementara itu, Kantor PTRI untuk PBB di Jenewa menjelaskan dalam pernyataan resmi bahwa Indonesia mengecam keras langkah Vanuatu yang menyusupkan Benny Wenda dalam delegasi mereka ke perteman di Dewan HAM PBB dan serta-merta menyerahkan petisi terkait Papua.
PTRI juga menilai bahwa langkah Vanuatu yang menyusupkan Benny ke Dewan HAM merupakan pelanggaran terhadap Piagam PBB.
"Indonesia mengecam keras tindakan Vanuatu yang dengan sengaja telah mengelabui KTHAM dengan melakukan langkah manipulatif melalui penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi Vanuatu," kata PTRI untuk PBB di Jenewa dalam pernyataan tertulis pada 29 Januari, yang dimuat Liputan6.com pada Rabu (30/1/2019).
"Menurut keterangan Komisioner Tinggi HAM PBB (KTHAM), tanpa sepengetahuan kantor KTHAM, Benny Wenda dimasukkan dalam delegasi Vanuatu yang melakukan kunjungan kehormatan ke kantor KTHAM pada hari Jumat, 25 Januari 2019."
Tapi, "nama Benny Wenda tidak masuk dalam daftar resmi delegasi Vanuatu untuk UPR. Kantor KTHAM bahkan menyatakan pihaknya sangat terkejut mengingat pertemuan semata-mata dimaksudkan untuk membahas UPR Vanuatu," lanjut pernyataan dari PTRI untuk PBB di Jenewa.
"Tindakan Vanuatu tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji dan sangat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental Piagam PBB," ujar PTRI.
"Indonesia tidak akan pernah mundur untuk membela dan mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI."
Simak video pilihan berikut:
Jawaban Dubes RI soal Rencana PBB Cek Situasi HAM di Papua
Pemerintah Indonesia juga dikabarkan telah menyepakati rencana delegasi PBB untuk melawat ke Papua, guna memeriksa "situasi hak asasi manusia" di Bumi Cendrawasih. Kesepakatan itu merupakan tindak lanjut dari langkah pemerintah Indonesia yang mengundang badan hak asasi manusia PBB untuk melawat ke sana.
Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB (KTHAM) mengatakan bahwa masuknya delegasi PBB ke Papua telah "disepakati secara prinsip" oleh pemerintah Indonesia. Namun, KTHAM menjelaskan bahwa kelanjutannya masih menunggu konfirmasi dari Jakarta.
Seperti dilansir The Guardian, Rabu (30/1/2019) kantor KTHAM PBB yang dipimpin Michelle Bachelet "telah terlibat dengan pihak berwenang Indonesia tentang masalah Papua Barat" terkait "situasi hak asasi manusia yang berlaku" serta telah meminta akses ke daerah tersebut.
"Pada prinsipnya Indonesia telah setuju untuk memberikan kantor (KTHAM) akses ke Papua dan kami sedang menunggu konfirmasi pengaturan," lanjut juru bicara KTHAM PBB, Ravina Shamdasandi.
Jawaban Dubes RI untuk PBB
Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Hasan Kleib mengafirmasi bahwa pemerintah Indonesia "telah mengundang KTHAM PBB yang akan diwakili oleh kantor regional-nya di Bangkok untuk berkunjung ke Papua."
"Undangan sudah disampaikan, jadi tidak bisa dikatakan KTHAM PBB masih menunggu undangan," kata Dubes Hasan kepada Liputan6.com, Rabu 30 Januari 2019.
"Saat ini sedang dikoordinasikan jadwal kunjungan pada tahun 2019 ini," lanjutnya. "Hal yang masih tertunda adalah waktu yang disepakati bersama untuk kunjungan tersebut."
Menambahkan, Hasan Kleib mengatakan bahwa ia telah bereaksi di Sidang Dewan HAM PBB pada 2018 ketika KTHAM mengkritik "Indonesia belum memberikan akses."
"Kenyataannya yang terjadi adalah bahwa kantor perwakilan KTHAM PBB di Bangkok kurang koordinasi dan beberapa kali fait accompli jadwal kunjungan yang disampaikan 1-2 hari sebelumnya tanpa terlebih dahulu koordinasi dengan Indonesia."
"Pada Oktober 2018 lalu ketika saya mengadakan pertemuan bilateral dengan KTHAM yang baru, Michelle Bachelet, dibahas juga pengaturan dan jadwal kunjungan tersebut."
Advertisement