Liputan6.com, Jakarta - Banyak mitos yang beredar di tengah masyarakat terkait pola makan bagi penderita diabetes. Salah satunya adalah mengonsumsi nasi kemarin.
Nasi yang telah dibiarkan seharian ini diklaim lebih berkhasiat untuk menjaga kadar gula darah, bila dibandingkan dengan nasi yang baru matang.
Namun, pernahkah Anda mendengar tentang bakteri Bacillus cereus? Kuman ini bahkan bisa hidup di mana pun yang diinginkannya, seperti tanah, makanan atau di usus manusia dan hewan.
Advertisement
Baca Juga
"Habitat alami B. cereus sangat luas, termasuk tanah, hewan, serangga, debu dan tanaman," kata Anukriti Mathur, seorang peneliti bioteknologi di Australian National University, menjelaskan kepada Science Alert.
"Bakteri ini akan bereproduksi dengan memanfaatkan nutrisi dari produk makanan ... termasuk beras, produk susu, rempah-rempah, makanan kering dan sayuran," lanjutnya, yang dikutip pada Jumat (1/9/2019).
Beberapa jenis mikroba tersebut sangat membantu untuk mengelola probiotik, tetapi ada pula yang bisa meracuni manusia jika mereka diberikan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang biak --seperti saat menyimpan makanan dalam kondisi yang salah.
Skenario terburuk akibat infeksi B. cereus adalah kematian.
Pada tahun 2005, satu kasus fatal, yang dicatat dalam Journal of Clinical Microbiology menyebut, lima anak dalam satu keluarga menderita sakit usai makan salad pasta yang disimpan selama empat hari.
Menurut studi kasus, penganan tersebut disiapkan pada hari Jumat dan dibawa saat mereka piknik pada hari Sabtu. Setelah kembali dari piknik, salad disimpan di lemari es sampai Senin.
Saat sang ibu menyajikan makan malam pada hari itu, dia membubuhkan salad pasta tersebut kepada anak-anaknya. Seketika, para bocah mulai merasa mual, lalu muntah hebat.
Mereka pun langsung dilarikan ke rumah sakit. Tragisnya, si bungsu meninggal. Lainnya selamat, meski mengalami gagal hati dan keracunan makanan ringan.
"B. cereus adalah penyebab infeksi pada manusia akibat makanan basi, tetapi sakit ini tidak umum terjadi karena gejalanya biasanya ringan," para peneliti menjelaskan.
Meskipun kasus kematian karena ulah B. cereus sangat jarang, namun kemunculan mereka telah dicatat dalam literatur lebih dari satu kali.
Pada tahun 2011, seorang mahasiswa berusia 20 tahun di Belgia, meninggal diduga akibat keracunan makanan. Sebelumnya, ia menyiapkan bekal untuk dibawa ke kampus. Menunya berupa spaghetti dengan siraman saus tomat.
Dia memasaknya lima hari sebelum kematiannya. Sebelum ajal menjemput, dia secara tidak sengaja meninggalkan makanannya di bangku dapur untuk waktu yang tidak ditentukan.
Karena merasa makanannya masih bagus, dia pun melahapnya. Nahas, setelah mi ala Italia itu ludes, dia mengalami diare, sakit perut, dan muntah yang banyak. Malam pada hari itu, dia meninggal.
Ada dua kasus lagi yang disorot oleh peneliti, yakni anak muda yang menderita gagal hati dan meninggal karena B. cereus. Mereka adalah remaja 11 tahun yang meninggal setelah makan mi China, dan seorang remaja 17 tahun yang meninggal setelah makan empat spageti berusia sehari.
Keracunan Makanan Ringan
Namun secara garis besar, Mathur menekankan bahwa sebagian besar orang yang terdampak B. cereus, tidak berakhir dengan gagal hati. Biasanya, ini adalah kasus keracunan makanan yang cukup ringan dan dapat ditangani segera.
"Penting untuk dicatat bahwa B. cereus memang dapat menyebabkan sistem imun melemah. Namun yang mematikan hanya akan terjadi pada orang dengan gangguan kekebalan tubuh, bayi, orang tua, dan wanita hamil," Mathur menjabarkan.
"Kebanyakan orang yang terkontaminasi, yang sistem imunnya sudah bagus, kondisinya akan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, bahkan tanpa perawatan khusus pun. Orang-orang ini tidak pergi ke dokter untuk mendapatkan diagnosis, dan karena itulah kasus mereka tidak terdeteksi," lanjutnya.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Bakteri Pembawa Racun
Lantas, bagaimana B. cereus bisa menyebabkan keracunan makanan yang sangat parah? Adakah yang bisa kita lakukan?
B. cereus memiliki kebiasaan buruk dengan mengeluarkan racun berbahaya pada makanan kita. Beberapa di antaranya sangat sulit untuk dibunuh dengan suhu panas, yang biasa didapatkan melalui microwave.
Sebagai contoh, salah satu toksin yang menyebabkan muntah pada manusia (disebut emetic), dapat bertahan pada suhu 121 derajat Celcius selama 90 menit.
"Sistem kekebalan tubuh kita mengenali sebuah racun haemolysin BL yang dikeluarkan oleh B. cereus, yang mengarah pada respons peradangan," Mathur menjelaskan.
"Studi penelitian kami menunjukkan bahwa racun itu menargetkan dan 'meninju' lubang-lubang di sel, menyebabkan sel-sel kita mati dan meradang," imbuhnya.
Timnya juga mengidentifikasi dua cara agar tubuh manusia mampu menetralkan efek hemolysin BL. Metode ini dapat dipakai untuk memblokir aktivitas toksin atau mengurangi peradangan yang disebabkannya.
Meskipun pendekatan Mathur dan timnya masih dalam tahap awal penelitian, namun mereka berharap bahwa teknik ini bahkan dapat diterapkan pada bakteri penghasil racun lainnya, seperti E. coli.
Tetapi yang paling penting, simpanlah makanan yaang hendak dikonsumsi di lemari es dan perhatikan kebersihan dapur.
"Jangan lupa untuk mencuci tangan dengan benar dan menyiapkan makanan sesuai dengan pedoman keselamatan. Meski terdengar sepele, akan tetapi kita semua kini tahu bahayanya jika kita tak menjalankan dua prosedur ini," kata Mathur.
Lebih jauh, memanaskan sisa makanan dengan benar akan menghancurkan sebagian besar bakteri dan racun yang dibawanya. Sementara itu, riset ini telah dipublikasikan di Nature Microbiology.
Advertisement