Studi: Mencairnya Sepertiga Lapisan Es Himalaya Ancam Kehidupan 2 Miliar Manusia

Studi ilmiah menyebut hilangnya sepertiga lapisan es di Pegunungan Himalaya dapat mengancam kehidupan 2 miliar manusia.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 05 Feb 2019, 09:32 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2019, 09:32 WIB
Gunung Himalaya
Pemandangan Gunung Himalaya, Gunung Kangtega (ketinggian 6782 meter) dari desa Khumjung di wilayah Everest, sekitar 140km timur laut Kathmandu (16/4). (AFP Photo/Prakash Mathema)

Liputan6.com, Kathmandu - Setidaknya sepertiga dari ladang es besar di Pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi, akan mencair karena perubahan iklim. Hal itu berisiko menyebabkan konsekuensi serius bagi hampir 2 miliar orang.

Bahkan jika emisi karbon berhasil dipotong dengan dramatis, dan kenaikan suhu Bumi sukses dijaga pada angka 1,5 derajat Celsius, 36 persen dari gletser di sekitar wilayah Hindu Kush dan Himalaya akan hilang pada tahun 2100.

Jika emisi gagal dipangkas, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (5/2/2019), potensi menghilangnya lapisan es di Himalaya akan meningkat menjadi dua pertiganya.

Gletser adalah cadangan air kritis bagi 250 juta orang yang tinggal di wilayah Hindu Kush-Himalaya (HKH), dan 1,65 miliar orang bergantung pada sungai-sungai besar yang mengalir dari puncaknya menuju India, Pakistan, China, dan negara-negara lain.

"Ini adalah krisis iklim yang belum pernah Anda dengar," kata Philippus Wester dari Pusat Internasional untuk Pengembangan Gunung Terpadu (Icimod), yang memimpin laporan terkait.

"Bahkan, jika kita menjadi sangat ambisius (dalam mengatasi perubahan iklim), itupun kita akan kehilangan sepertiga dari gletser dan berada dalam masalah. Bagi kami, ini adalah penemuan yang mengejutkan," lanjut Wester.

Ditambahkan olehnya bahwa meskipun jauh lebih padat penduduknya, wilayah HKH kurang mendapat perhatian dibandingkan tempat-tempat lain, seperti negara-negara pulau dataran rendah dan Kutub Utara, yang juga sangat rentan terhadap pemanasan global.

Prof Jemma Wadham dari University of Bristol, Inggris, mengatakan: "Ini adalah karya penting yang difokuskan pada kawasan yang merupakan hotspot untuk dampak perubahan iklim."

Dampak Perubahan Iklim Belum Pasti di HKH

Laporan baru, diminta oleh delapan negara rentang pegunungan, dimaksudkan untuk mengubah itu. Lebih dari 200 ilmuwan bekerja dalam laporan selama lima tahun, dengan 125 pakar lainnya meninjau pekerjaan mereka.

Sampai saat ini, dampak perubahan iklim terhadap es di kawasan HKH tidak pasti, kata Wester. "Tapi kami benar-benar cukup tahu sekarang untuk mengambil tindakan, dan tindakan sangat dibutuhkan," tambahnya.

Wilayah HKH membentang dari Afghanistan ke Myanmar, dan merupakan "kutub ketiga" planet ini, di mana menyimpan lebih banyak es daripada di mana pun di luar Kutub Utara dan Antartika.

Membatasi kenaikan suhu global menjadi 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri membutuhkan pengurangan emisi hingga nol pada 2050.

Ini dirasakan sangat optimis oleh banyak orang tetapi masih bisa membuat sepertiga dari es di Himalaya menghilang, menurut laporan itu.

Dan, jika kenaikan suhu global mencapai 2 derajat Celsius, maka setengah dari gletser diproyeksikan akan mencair pada 2100.

 

Simak video pilihan berikut:

Lapisan Es Menghilang Sejak 1970-an

Gunung Himalaya
Pemandangan Gunung Himalaya, Gunung Kangtega (ketinggian 6782 meter) dari desa Khumjung di wilayah Everest, sekitar 140km timur laut Kathmandu (16/4). (AFP Photo/Prakash Mathema)

Sejak 1970-an, sekitar 15 persen dari es di wilayah HKH telah menghilang karena peningkatan suhu global.

Panjang rentang HKH adalah 3.500 kilometer, dan dampak pemanasan bervariasi di beberapa titiknya. Beberapa gletser di Afghanistan dan Pakistan stabil, dan beberapa bahkan mendapatkan es, yang kemungkinan besar karena meningkatnya tutupan awan sehingga terlindung dari matahari dan mengubah arah angin pembawa salju.

"Tetapi kondisi tersebut akan tetap berpotensi mencair lebih cepat di masa depan, karena pemanasan global," kata Wester.

Gletser yang mencair akan meningkatkan aliran sungai antara tahun 2050 hingga 2060, katanya, mendorong risiko danau-danau di dataran tinggi yang meluap, dan berdampak pada komunitas di sekitarnya.

Namun mulai 2060-an, aliran sungai akan menurun. Sungai-sungai Indus dan Asia Tengah akan paling terpengaruh. "Daerah-daerah itu akan sangat terpukul," kata Wester.

Aliran yang lebih rendah akan memotong daya dari hidrodam yang menghasilkan banyak listrik di wilayah tersebut.

Tetapi dampak paling serius akan terjadi pada petani di kaki bukit dan hilir. Mereka mengandalkan pasokan air yang dapat diprediksi untuk menumbuhkan tanaman, yang menjadi sumber pangan bagi masyarakat di balik pegunungan.

Tetapi perubahan pada pencairan mata air tampaknya telah menyebabkan aliran sungai pra-musim hujan turun tepat ketika petani menanam tanaman mereka.

Lebih buruk lagi, kata Wester, musim hujan juga menjadi lebih tidak menentu dan rentan terhadap hujan lebat. "Banjir dalam 100 tahun mulai terjadi setiap 50 tahun," katanya.

Laporan baru menyoroti betapa rentannya masyarakat pegunungan, yang sepertiga di antaranya hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1,90 (sekitar Rp 265.000) sehari, dan jauh dari akaes bantuan jika bencana iklim melanda.

Ketegangan politik antara negara-negara tetangga seperti India dan Pakistan dapat menambah kesulitan.

"Ada masa-masa sulit untuk kawasan ini di masa depan. Karena banyak bencana dan perubahan mendadak akan terjadi di lintas batas negara, konflik di antara kawasan tersebut dapat dengan mudah memanas," kata Eklabya ​​Sharma, wakil direktur jenderal Icimod.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya