Taliban: Donald Trump Ingin Membawa Perdamaian Afghanistan

Pemimpin delegasi Taliban untuk dialog damai mengatakan, kelompoknya tidak ingin merebut Afghanistan dengan cara militer dan menyebut Donald Trump ingin perdamaian di sana.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 07 Feb 2019, 14:04 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2019, 14:04 WIB
Pasukan keamanan Afghanistan berjibaku melawan serangan Taliban (AP/Mossoud Hossaini)
Pasukan keamanan Afghanistan berjibaku melawan serangan Taliban (AP/Mossoud Hossaini)

Liputan6.com, Moskow - Pemimpin delegasi Taliban untuk negosiasi perdamaian dengan Amerika Serikat mengatakan, kelompoknya tidak ingin merebut "seluruh negara dengan kekuatan (militer)."

"Karena itu tidak akan membawa perdamaian untuk Afghanistan," kata Sher Mohammad Abbas Stanikzai dalam wawancara dengan BBC, dikutip pada Kamis (7/2/2019).

Namun, dia mengatakan kelompok itu tidak akan menyetujui gencatan senjata sampai pasukan asing ditarik dari Afghanistan. Akan tetapi, data PBB menunjukkan bahwa Taliban bertanggungjawab atas lebih banyak korban sipil daripada pihak lain.

Stanikzai, yang sampai saat ini adalah kepala kantor politik Taliban di Qatar dan tetap menjadi tokoh utama dalam kelompok itu, memberikan wawancara pertamanya kepada media internasional ketika menghadiri pertemuan di Moskow dengan para politisi oposisi senior Afghanistan pada Selasa 5 Juni 2019 lalu.

Stanikzai mengatakan, pengalaman Taliban dalam kekuasaan pada 1990-an, ketika menghadapi oposisi bersenjata dari kelompok-kelompok saingan Afghanistan, telah membuat kelompok itu menyimpulkan bahwa lebih baik untuk mencapai solusi dengan "perundingan di meja."

"Perdamaian lebih sulit daripada perang," tambah Stanikzai, menyinggung sulitnya mencapai penyelesaian. Namun dia menyatakan harapan bahwa konflik itu dapat diakhiri.

Donald Trump Ingin Membawa Perdamaian untuk Afghanistan

Stanikzai telah mengawasi serangkaian pertemuan dengan utusan khusus AS untuk rekonsiliasi Afghanistan, Zalmay Khalilzad, dalam beberapa bulan terakhir.

Pada Januari 2019, mereka mencapai apa yang disebut Khalilzad sebagai "kerangka kerja" perjanjian.

Itu didasarkan pada komitmen untuk menarik pasukan AS dari negara itu, dan jaminan oleh Taliban untuk tidak membiarkan kelompok-kelompok ekstremis internasional menggunakan Afghanistan sebagai pangkalan di masa depan.

Kedua belah pihak telah mengindikasikan bahwa sejumlah masalah masih perlu diselesaikan. Namun, Presiden AS Donald Trump telah menegaskan keinginannya untuk mengakhiri konflik 17 tahun dan menarik setidaknya sebagian besar pasukan Amerika.

Stanikzai mengatakan kepada BBC bahwa dia yakin pemerintahan Trump ingin "membawa perdamaian ke Afghanistan."

Tapi, Taliban pada awal Februari 2019 juga mengadakan pertemuan dengan oposisi pemerintahan Afghanistan di Moskow --yang terpisah dari pembicaraan damai AS-Taliban di Doha, Qatar pada akhir Januari 2019.

Selain delegasi Taliban, pertemuan di Moskow juga dihadiri oleh mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai, serta tokoh-tokoh oposisi tingkat tinggi lainnya.

Topik diskusi termasuk bagaimana negara itu menjalankan pemerintahan di masa depan, jika Taliban menjadi kekuatan politik arus utama. Mereka juga menuntut disusunnya UUD baru bagi Afghanistan dan menjanjikan "sistem pemerintahan Islam yang inklusif".

"Undang-undang Dasar Afghanistan yang sekarang ini tidak sah, karena diimpor dari Barat, dan merupakan perintang bagi perdamaian," kata Stanikzai di Moskow.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Peran Perempuan di Afghanistan yang Damai

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov (dua dari kanan) menjadi mediator dalam pertemuan antara pejabat Taliban dengan para politikus Afghanistan di Moskow (AP/Pavel Golovkin)
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov (dua dari kanan) menjadi mediator dalam pertemuan antara pejabat Taliban dengan para politikus Afghanistan di Moskow (AP/Pavel Golovkin)

Taliban memerintah Afghanistan pada 1996-2001 dengan interpretasi ultra-konservatif dan sering brutal terhadap hukum Islam.

Kelompok ini terkenal karena perlakuannya terhadap perempuan, melarang sebagian besar dari mereka untuk bekerja atau pergi ke sekolah.

Namun, Sher Mohammad Abbas Stanikzai mengatakan "perempuan tidak perlu khawatir" tentang prospek meningkatnya pengaruh Taliban karena mereka akan berusaha untuk memberikan perempuan semua "hak mereka sesuai dengan aturan Islam dan budaya Afghanistan".

"Mereka bisa pergi ke sekolah, mereka bisa pergi ke universitas, mereka bisa bekerja," tambahnya.

Fawzia Koofi, seorang anggota parlemen Afghanistan dan satu dari hanya dua wanita yang hadir pada pertemuan Moskow, mengatakan kepada BBC, "Ini adalah langkah positif bahwa Taliban yang menggunakan peluru terhadap rakyat Afghanistan, terutama wanita, sekarang menggunakan mikrofon dan mendengarkan suara perempuan."

Dia mengatakan seorang anggota Taliban mengatakan kepadanya bahwa seorang perempuan seharusnya tidak bisa menjadi presiden tetapi bisa melayani di kantor politik.

"Kita perlu memastikan semua yang mereka katakan di sini, mereka bersungguh-sungguh," Koofi menambahkan.

Pemerintah Afghanistan bukan bagian dari perundingan di Moskow.

Presiden Ashraf Ghani telah berulang kali meminta Taliban untuk memulai negosiasi langsung dengan wakil-wakilnya, tetapi sejauh ini kelompok itu menolak, dengan mengabaikan mereka sebagai boneka AS.

Berbicara kepada saluran TV Afghanistan TOLOnews, Presiden Ghani mengatakan: "Mereka yang berkumpul di Moskow tidak memiliki otoritas eksekutif. Mereka dapat mengatakan apa yang mereka inginkan."

Terlepas dari perundingan di Moskow, dan putaran lanjutan pembicaraan AS-Taliban dijadwalkan 25 Februari, kekerasan di Afghanistan terus berlanjut.

Pada hari Selasa, pasukan Taliban dilaporkan membunuh puluhan anggota pasukan keamanan Afghanistan dalam serangkaian serangan di utara negara itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya