12-2-2009: Tawa Terakhir Pilot Sebelum Pesawat Colgan Air Jatuh Menimpa Rumah

Pesawat Bombardier Dash 8-Q400 jatuh dan menabrak rumah pada Kamis 12 Februari 2009.

oleh Tanti YulianingsihElin Yunita Kristanti diperbarui 12 Feb 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 12 Feb 2019, 06:00 WIB
Pesawat Colgan Air Penerbangan 3407 celaka pada Kamis 12 Februari 2009
Pesawat Colgan Air Penerbangan 3407 celaka pada Kamis 12 Februari 2009 (Wikipedia/Fair Use/ Public Domain)

Liputan6.com, Buffalo - Jarum jam menunjuk ke pukul 22.09 malam, Kamis 12 Februari 2009 saat pesawat milik maskapai Colgan Air Penerbangan 3407 bersiap mendarat di Buffalo Niagara International Airport di negara bagian New York, Amerika Serikat.

Pesawat Bombardier Dash 8-Q400 yang membawa 49 orang di dalamnya dijadwalkan tiba pada pukul 22.25 waktu setempat. Pengumuman khas jelang pendaratan berkumandang di kabin.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu, untuk persiapan pendaratan di Buffalo, pastikan sandaran kursi Anda dalam posisi tegak dan kencangkan sabuk pengaman," demikian menurut awak kabin yang dirilis Badan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB), seperti dikutip dari situs Telegraph, Senin (11/2/2019)

Sementara itu di dalam ruang kokpit, Kapten Marvin Renslow (47) dan kopilot Rebecca Shaw (24) sedang mengobrol. Mereka membicarakan banyak hal, seperti pekerjaan, masalah pribadi, dan kekhawatiran mereka soal akumulasi es saat terbang di musim dingin.

Saat pesawat turun dari ketinggian jelajah, keduanya mengobrol soal gangguan di kepala Shaw. Terasa berat, ia mengalami head congestion yang bahkan ia rasakan sebelum terbang. Yang nyaris sama sekali tak disinggung justru soal kondisi penerbangan yang menjadi tanggung jawab mereka.

Baru ketika mendekati kota Buffalo yang bersalju dan berkabut, kapten dan kopilot menyinggung soal lapisan es di kaca pesawat.

"Itu es di kaca depan kita," kata Shaw kepada sang kapten, sesuai isi transkrip percakapan dalam instrumen perekam suara kokpit atau cockpit voice recorder (CVR).

"Ada di sisiku. Bagaimana di tempatmu," pilot Marvin Renslow, menanggapi.

"Oh yah. Ada banyak es," sambut kopilot perempuan itu.

Sesaat kemudian, keduanya kembali asyik berbincang, tawa sesekali pecah.

Kopilot menceritakan betapa sedikitnya pengalamannya terbang di tengah cuaca beku.

"Aku lebih punya pengalaman aktual (menghadapi es) pada hari-hari pertamaku bersama Colgan Air daripada 1.600 jam terbang yang kumiliki setelah menjalani pelatihan terbang di bagian tenggara AS yang panas," kata Shaw.

Ia melanjutkan, ke depan ia tak keberatan melewati musim dingin di wilayah AS timur laut sebelum naik pangkat jadi kapten penerbang.

"Pada masa lalu, aku pasti panik terbang dalam kondisi dingin bersalju," tambah Shaw. "Saat melihat es sebanyak ini aku pasti akan berpikir: ya ampun, kita akan jatuh".

Penyelidik kecelakaan federal menduga, pilot dan kopilot saat itu tidak mengoperasikan sistem perlindungan es dengan benar, yang akhirnya memprogram kecepatan pendaratan yang salah ke komputer penerbangan.

Dan, menurut aturan keselamatan penerbangan AS, dilarang membahas topik yang tidak terkait dengan penerbangan selama fase tertentu, seperti pendaratan atau take off.

Pada menit-menit terakhir penerbangan, pesawat bermesin turboprop itu terbang terlalu lambat. Penerbang menerima "stick shaker" -- yang memperingatkan bahwa kapal terbang itu akan mengalami stall atau kondisi di mana gaya angkat sayap tiba-tiba turun secara drastis dan drag meningkat secara drastis.

Namun, alih-alih melakukan meningkatkan kecepatan mesin dan merendahkan hidung pesawat, Kapten Renslow justru melakukan sebaliknya, menarik kembali kendali dan menaikkan hidung pesawat.

Kemudian, situasi di kokpit panik bukan kepalang. Pada pukul 22.16, mesin terdengar menderu dalam upaya meningkatkan tenaganya. Kala itu Kapten Marvin Renslow terdengar meneriakkan nama Tuhan.

Tak lama kemudian, situasi yang tak diharapkan terjadi. "Kita turun", kata kapten, sebelum bunyi mirip gedebuk terdengar.

Dan kemudian terdengar kata terakhir terakhir Shaw: "Kita...."

Ia tak pernah menyelesaikan kalimatnya. Yang terdengar kemudian adalah suara teriakan.

Pesawat tersebut kemudian nahas. Kehilangan daya angkatnya, berguling, hingga akhirnya jatuh menimpa sebuah rumah di Clarence Center, New York sekitar pukul 22.20. Tak lama kemudian ledakan terjadi. Kapal terbang itu menjelma jadi bola api raksasa.

The Wall Street Journal melaporkan bahwa Renslow, yang bergabung dengan Colgan Air pada September 2005, memiliki riwayat kegagalan uji kompetensi berkala.

Sementara, sang kopilot Rebecca Shaw sempat mengeluhkan gangguan pada kepalanya. Ia seharusnya izin sakit dan tak terbang. 

Faktor kesalahan manusia (human error) disimpulkan jadi penyebab. Pilot yang kelelahan dan kopilot yang tak mampu mengatasi keadaan dianggap jadi salah satu faktor celaka. Kedua penerbang dianggap tak bisa merespons dengan baik situasi darurat yang terjadi.

Kecelakaan yang menimpa Colgan Air menewaskan 49 orang yang ada di dalam pesawat. Korban jiwa juga jatuh di darat. 

Douglas Wielinski tewas saat pesawat jatuh ke rumahnya di Clarence Center, New York. Untung, sang istri, Karen dan putri mereka, Jill bisa menyelamatkan diri. Keduanya hanya menderita luka ringan.

Pelajaran Berharga dari Kecelakaan Maut

Ilustrasi Kecelakaan Pesawat
Ilustrasi Kecelakaan Pesawat (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Kecelakaan pesawat Colgan Air adalah insiden yang tragis. Sebanyakl 50 orang, termasuk satu orang yang ada di darat tewas seketika karenanya.

Namun, kecelakaan tersebut tak sia-sia. Lima tahun setelahnya, sejumlah peningkatan signifikan terkait keselamatan penerbangan komersial dihasilkan.

Sejak saat itu, peraturan baru untuk mengatasi kelelahan pilot dan pelatihan berkala direkomendasikan oleh NTSB dan telah diumumkan secara resmi oleh Badan Administrasi Penerbangan AS (FAA).

Kelelahan awak -- masalah klasik dalam dunia penerbangan komersial -- dicoba ditangani dengan aturan baru berbasis ilmu pengetahuan.

Aturan tersebut menyebut, dibutuhkan setidaknya 10 jam waktu istirahat untuk pilot dan kopilot.

Selain kecelakaan pesawat Colgan Air, sejumlah peristiwa bersejarah terjadi pada 12 Februari.

Pada 12 Februari 1771, Raja Swedia Adolph Frederick dinyatakan meninggal dunia.

Hari itu, ia makan besar. Sang raja menyantap hidangan yang terdiri atas lobster, kaviar, sauerkraut alias kol asam -- irisan kubis yang difermentasi, dan ikan haring (herring) asap.

Sang raja makan dengan lahap sambil menenggak sampanye dari gelas.

Tak sampai di situ. Hidangan penutup lantas disajikan, berupa semla, roti beraroma kapulaga yang diisi dengan pasta almond dan disajikan dalam semangkuk krim panas.

Adolf Frederick tak hanya makan satu atau dua mangkuk, ia melahap 14 porsi!

Akibatnya sungguh fatal. Sang raja tewas tak lama kemudian akibat masalah pencernaan -- versi lain menyebut ia terkena stroke. Adolf Frederick mangkat pada usia 60 tahun.

Ia kemudian mendapat julukan the king who ate himself to death atau berarti raja yang 'mati kekenyangan'.

Sementara itu, Pada tahun 1912, Kaisar Terakhir Tiongkok, Pu yi turun takhta.

Sementara, pada 2011, Presiden Mesir Hosni Mubarak resmi turun tahta dari jabatannya sebagai presiden, disahkan oleh Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya