Liputan6.com, Hotan County, Prefektur Hotan, Xinjiang - Abdul Qudus mengaku sudah setahun ia tinggal di fasilitas deradikalisasi dan de-ekstremisme di Hotan County, Prefektur Hotan, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur. Gara-garanya, pemuda 24 tahun itu menonton video terlarang.
"Setelah menonton video ekstremis tersebut, saya menganggap ayah dan ibu kafir karena tidak sering salat. Karena itu, saya merasa makanan yang dimasak oleh ibu jadi tidak halal," kata Abdul Qudus melalui penerjemah kepada Liputan6.com di pusat pelatihan vokasional Hotan pada Rabu 27 Februari 2019. Sampai-sampai, ia juga tak sudi bicara dengan ayah dan ibunya.
Advertisement
Baca Juga
Pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu kemudian bergabung dengan sekitar 400 orang lainnya di pusat pelatihan.
Mengutip laporan dari berbagai media Barat, Panel Dewan HAM PBB di Jenewa menuduh fasilitas pelatihan China sebagai 'kamp', di mana mayoritas individu dari etnis minoritas, termasuk Uighur, ditahan di bawah paksaan dan intimidasi oleh aparat Tiongkok.
Tapi, Qudus mengaku, ia masuk secara sukarela. Pemuda Uighur itu menulis surat aplikasi permohonan yang diserahkan ke kantor desa.
Konon, ia ke sana karena ingin belajar. Kisah salah satu rekannya jadi inspirasi.
"Dulu teman saya tak bisa bahasa Mandarin, namun sekarang bisa. Dia sekarang sudah keluar dari fasilitas ini dan mendapat kehidupan yang lebih baik. Melihat perubahan pada teman saya membuat saya jadi lebih ingin lagi masuk ke pusat vokasional ini," aku Qudus.
Direktur pusat pelatihan vokasional Hotan, Mahmud Memeti menjelaskan, fasilitas yang dipimpinnya mengajarkan tiga kurikulum utama: bahasa nasional, pengetahuan hukum nasional, dan keahlian vokasional.
Fasilitas di Xinjiang itu menyediakan asrama, dengan kamar-kamar yang difungsikan sebagai tempat istirahat. Bagian dalamnya cukup nyaman, meski para penghuni tak bebas keluar masuk.
Ingin Lebih Leluasa Beribadah
Abdul Qudus mengaku beragama Islam. Ia rajin salat, meski kerap bolong-bolong.
"Tapi karena ini merupakan sekolah dan merupakan fasilitas publik, maka saya di sini hanya untuk belajar," kata dia.
Warga Hotan itu mengaku tak leluasa beribadah saat berada di fasilitas. "Saat saya pulang ke rumah, baru saya salat," kata dia. Sehari dalam sepekan, Abdul Qudus dan siswa lainnya diberikan hak untuk pulang ke rumah.
Saat dikonfirmasi, direktur pusat pelatihan vokasional Hotan, Mahmud Memeti menegaskan, pihaknya tidak melarang salat.
"Karena China menerapkan kebebasan beragama maupun tidak beragama. Hanya saja, untuk beribadah dianjurkan di tempat-tempat khusus, tidak di fasilitas publik," kata dia.
Sementara itu, seorang pejabat badan diseminasi informasi untuk Partai Komunis China di Xinjiang, yang mendampingi rombongan jurnalis Indonesia mengatakan, "pemeluk agama tetap bisa beribadah sesuai kepercayaan masing-masing, namun, dilakukan pada tempat khusus seperti ruang privat atau fasilitas publik yang memang diperuntukkan untuk ibadah."
Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto, bagian rombongan ulama Indonesia yang berkunjung ke fasilitas serupa di Xinjiang atas undangan China akhir Februari lalu mengatakan, "dalam konstitusi Tiongkok, warga negara diberi kebebasan untuk beragama atau tidak beragama."
"Mau beragama apa saja boleh, mau tidak beragama juga enggak apa-apa, tapi fasilitas milik negara tidak boleh digunakan untuk kegiatan keagamaan termasuk beribadah," lanjutnya seperti dilansir outlet media yang dikelola Muhammadiyah, Suaramuhammadiyah.id pada 6 Maret 2019.
Masukan Ulama untuk Pemerintah China
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, bagian rombongan ulama Indonesia yang berkunjung ke fasilitas serupa di Xinjiang atas undangan China akhir Februari lalu, secara umum menilai positif tentang fungsi pusat pelatihan vokasional di Xinjiang yang ditujukan untuk "memberantas radikalisme, terorisme dan separatisme melalui sekolah pendidikan vokasional."
"Hanya saja, dalam upaya tersebut, masih terdapat pembatasan beribadah kepada para pesertanya karena dianggap menggunakan fasilitas negara," ujarnya seperti dilansir outlet media yang dikelola Muhammadiyah, Suaramuhammadiyah.id, pada 9 Maret 2019.
"Saya kira pemerintah Tiongkok memiliki upaya mengatasi persoalan di dalam negerinya. Mereka kemudian melihat separatis itu sebagai terorisme, mereka juga menggunakan pola mencegahnya melalui upaya-upaya mendidik masyarakatnya yang terpapar paham radikal itu lewat pelatihan vokasional," lanjut Trisno.
Oleh karena itu, menurutnya kriteria terpapar tersebut harus jelas. Sebagaimana yang telah didiskusikan delegasi yang berkunjung ke Xinjiang atas undangan Tiongkok, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
"Tim kami, delegasi yang hadir, MUI, Muhammadiyah maupun NU itu belum dijelaskan kriteria terpapar," katanya.
Trisno mengatakan bahwa konstitusi Tiongkok mengizinkan masyarakatnya bebas memilih dapat beragama maupun tidak beragama.
"Seharusnya mereka yang beragama itu diizinkan untuk melakukan aktivitas keagamaannya, setidak-tidaknya paling minimal ketika beribadah sehari-hari, khususnya umat muslim jika mereka harus masuk asrama atau mereka diminta harus dididik ulang di pusat pelatihan vokasional," jelasnya.
Di sisi lain, Lutfi Tamimi, Sekretaris Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) --gabungan 13 ormas Islam Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama, punya pandangan lain.
Lutfi juga merupakan bagian dari rombongan ulama Indonesia yang berkunjung ke fasilitas serupa di Xinjiang atas undangan China akhir Februari lalu.
"Saya rasa tidak ada masalah pada bagaimana para peserta (siswa) di fasilitas tersebut dalam hal menjalankan ibadahnya," jelasnya dalam wawancara bersama Liputan6.com di Kantor LPOI di Jakarta pada 6 Maret 2019.
"Dijelaskan kok bahwa ibadah di China itu tidak dilarang, hanya ya memang, jadwal vokasional di dalam fasilitas yang sangat padat bagi para siswa mengharuskan mereka untuk terus mengikuti kegiatan, sementara menyesuaikan rutinitas ibadah mereka."
"Kalau masalah itu tempat publik, maka salat bisa di kamar kan?," nilai Lutfi.
"Begini ya, dari yang saya pahami usai kunjunngan ke sana, para siswa itu kan beraktivitas dari pagi sampai sore. Di asrama, mereka bangun pagi, lanjut aktivitas sampai sore, kemudian masuk lagi ke kamar asrama. Mereka bisa salat Subuh di kamar sebelum keluar. Untuk Zuhur dan Ashar, karena bentrok dengan aktivitas, dirangkap saat sore ketika mereka masuk kamar. Kemudian lanjut Maghrib dan Isya pada malamnya."
"Soal penilaian apakah itu merupakan bentuk pembatasan terhadap salat, saya nilai begini, bahwa tekanan seperti itu juga berlaku bagi agama lain, tidak cuma Islam. Pemeluk agama lain juga mendapatkan perlakuan serupa."
"Dan patut diingat juga, bahwa mereka yang masuk ke dalam sana adalah terduga ekstremis, radikal."
"Selain itu, mereka kan tidak selamanya ada di dalam fasilitas, hanya sementara. Kalau sudah sepenuhnya keluar, dan memang sudah ada yang begitu, mereka bisa beribadah normal lagi. Bahkan bisa ke masjid."
Lutfi A Tamimi membandingkan pusat deradikalisasi di China dengan fasilitas sejenis di sejumlah negara.
"Sekarang begini, bahwa iya mungkin ada sedikit keterbatasan dalam menjalankan ibadah secara leluasa ketika peserta ada di dalam fasilitas itu (di Xinjiang). Tapi coba bandingkan dengan mereka yang ada di dalam penjara teroris di Guantanamo (di Kuba yang dikelola AS) dan penjara Abu Ghraib (di Irak yang juga dikelola AS pada Invasi AS ke Irak 2003). Giliran China, orang-orang di dalamnya malah diberikan pelatihan."
Seorang ulama top untuk China Islamic Association (organisasi masyarakat Islam di China yang disponsori pemerintah) mengatakan bahwa "tidak ada diskriminasi apapun terhadap kelompok pemeluk agama manapun di China, termasuk Islam," kata Wakil Presiden China Islamic Association Abdul Amin Jin Rubin saat ditemui di Beijing pada 18 Februari 2019.
"Setiap muslim di sini, termasuk di Xinjiang, bebas memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaannya," tegas Jin Rubin.
Beberapa imam masjid di Beijing dan Xinjiang yang diwawancarai Liputan6.com selama lawatan 10 hari akhir Februari 2019 ini juga telah menegaskan bahwa "warga tetap bisa salat di masjid karena pemerintah melindungi kebebasan beragama dan kebebasan untuk tidak beragama bagi semua warga," jelas mereka.
Advertisement