Liputan6.com, Beijing - China akan mengundang misi diplomatik negara-negara Eropa di Beijing untuk mengunjungi Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur akhir bulan ini, kata Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Kunjungan itu akan menjadi yang pertama oleh sekelompok besar diplomat Barat ke wilayah itu, ketika China menghadapi kritik dari Barat dan kelompok-kelompok hak asasi manusia karena diduga mendirikan berbagai 'fasilitas' yang digambarkan oleh para ahli PBB sebagai pusat detensi yang menampung lebih dari satu juta etnis Uighur dan minoritas lainnya.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Rabu 20 Maret 2019, Kementerian Luar Negeri China mengonfirmasi undangan tersebut, mengatakan para diplomat dipersilakan untuk datang dan melihat situasi di wilayah barat jauh untuk diri mereka sendiri.
Advertisement
Baca Juga
"Dalam rangka meningkatkan pemahaman pihak Eropa tentang pencapaian Xinjiang dalam pembangunan ekonomi dan sosial, dan mempromosikan pertukaran dan kerja sama bilateral, China berencana dalam waktu dekat untuk mengundang utusan Eropa yang berbasis di China untuk mengunjungi Xinjiang," kata Kementerian Luar Negeri China dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari The South China Morning Post, Kamis (21/3/2019).
"Melihat adalah percaya. Kami percaya para diplomat Eropa akan menyaksikan fakta bahwa orang-orang dari semua kelompok etnis di Xinjiang hidup dan bekerja dalam kedamaian dan harmoni," lanjut pernyataan itu.
Pernyataan itu menambahkan bahwa kementerian tengah mengoordinasikan rincian jadwal dan pengaturan untuk kunjungan tersebut.
Beberapa sumber diplomatik mengatakan, undangan untuk berkunjung pada akhir Maret telah dikeluarkan secara informal, khusus untuk duta besar. Namun, pemerintah belum secara eksplisit mengatakan siapa yang akan mereka temui atau ke mana mereka akan pergi.
Juga tidak jelas apakah para diplomat Eropa akan menerima undangan itu, atau berapa banyak diplomat atau duta besar mereka yang akan pergi.
Beberapa diplomat yang mengetahui tentang undangan itu mengatakan, ada kekhawatiran bahwa diplomat Eropa dapat digunakan untuk tujuan propaganda, merujuk pada foto dan berita yang dibuat oleh media pemerintah tentang kunjungan baru-baru ini oleh diplomat asing lainnya ke Xinjiang.
"Tidak ada gunanya pergi jika kita hanya akan digambarkan sebagai pendukung kamp," kata seorang diplomat seperti dikutip dari Channel News Asia.
Tahun lalu, lebih dari selusin duta besar dari negara-negara Barat, termasuk Prancis, Inggris, Jerman dan utusan Uni Eropa di Beijing, menulis kepada pemerintah untuk mencari pertemuan dengan pejabat tinggi Xinjiang, Ketua Partai Komunis Chen Quanguo, untuk membahas keprihatinan mereka tentang situasi hak asasi manusia di sana.
Para diplomat mengatakan pemerintah tidak pernah menanggapi surat itu, selain mengecamnya di depan umum sebagai pelanggaran norma diplomatik.
Beberapa Diplomat dan Jurnalis Telah Berkunjung ke Xinjiang
Ada sejumlah kunjungan kelompok-kelompok termasuk diplomat Eropa ke Xinjiang tahun ini. Salah satunya adalah sekelompok kecil diplomat Uni Eropa, dan lainnya oleh sekelompok diplomat dari beberapa negara, termasuk negara anggota UE, Hungaria dan Yunani.
Setidaknya ada dua perjalanan lain ke Xinjiang untuk diplomat asing.
Seorang diplomat yang telah melakukan perjalanan yang diatur pemerintah ke Xinjiang mengatakan, selama seluruh program wartawan dari media pemerintah menemani mereka, mengambil gambar dan mencoba untuk mewawancarai para utusan.
"Mustahil untuk menghindari mereka," kata diplomat itu seperti dikutip dari Channel News Asia.
Ada juga kekhawatiran bahwa utusan Eropa akan dibawa ke kamp-kamp dan lokasi yang sama dengan yang telah dilakukan delegasi asing sebelumnya dalam perjalanan yang dikontrol ketat dan dikoreografikan dengan hati-hati, kata sumber tersebut.
"Tidak ada gunanya pergi hanya untuk melihat tempat yang sama," kata diplomat lain yang akrab dengan undangan itu.
Semua diplomat berbicara dengan syarat anonimitas.
China juga telah mengundang sejumlah rombongan jurnalis, semisal kantor berita internasional Reuters, wartawan dari Pakistan, Malaysia, dan Indonesia, serta ulama dari RI.
Liputan6.com merupakan bagian dari rombongan itu untuk kunjungan lima hari ke wilayah Xinjiang barat-daya dekat perbatasan akhir Februari 2019. Dalam kunjungan, China membela dengan tegas pertanyaan eksploratif para jurnalis tentang dugaan pelanggaran HAM pada 'fasilitas' yang dimaksud di Xinjiang.
Tiongkok juga dengan tegas menolak tuduhan PBB serta Barat, dan membantah pengunaan definisi "kamp" atau "pusat detensi".
Pejabat China di tingkat pusat hingga lokal (termasuk di Xinjiang) mendefinisikan fasilitas sebagai "pusat pelatihan vokasional berasrama" untuk menanggulangi "radikalisme dan ekstremisme" yang dioperasikan sesuai hukum dan dengan menjamin hak para "siswa", kata seorang anggota badan diseminasi informasi Partai Komunis China di Xinjiang kepada sejumlah wartawan Indonesia.
Advertisement
Argumen PBB dan China
China telah dilanda "serangan terorisme berbasis radikalisme-ekstremisme" sejak 1990-an hingga beberapa tahun lalu. Beijing menuduh 'kelompok separatis-teroris Turkestan Timur di Xinjiang' yang terafiliasi kelompok teroris di Asia Tengah sebagai dalang aksi teror yang menelan korban jiwa di Tiongkok.
Merespons, China membentuk UU Anti-Terorisme pada 2015 untuk meredam berbagai peristiwa teror tersebut. Dan pada 2016, China dilaporkan telah mulai mendirikan fasilitas 'pelatihan dan re-edukasi' di Xinjiang.
Di sisi lain, Komisioner Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet mengatakan dia mencari akses ke China untuk memeriksa laporan dugaan "penghilangan dan penahanan sewenang-wenang," terhadap kelompok minoritas di Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur.
Komisioner Bachelet, yang mempresentasikan laporan tahunannya kepada Dewan HAM PBB di Jenewa pada 6 Maret 2019, mengatakan stabilitas dan pembangunan di Xinjiang dapat dibantu oleh kebijakan yang menunjukkan penghormatan pihak berwenang terhadap hak-hak minoritas.
"Area ini berada di pusat Inisiatif Belt and Road (Jalur Sutera Baru), memungkinkan koridor tanah ke Asia Tengah, Asia Selatan dan Eropa, dan saya yakin bahwa stabilitas dan keamanan di kawasan ini dapat difasilitasi oleh kebijakan yang menunjukkan penghormatan pihak berwenang terhadap hak-hak semua orang," kata Bachelet seperti dikutip dari Radio Free Europe (terafiliasi Voice of America).
Xie Zhangwei, seorang sekretaris pertama untuk misi diplomatik China di Markas PBB di Jenewa, mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB bahwa China menentang "ekstremisme", diskriminasi, kekerasan atau intoleransi.
"Berbagai kelompok agama, beriman dan tidak beragama, saling menghormati satu sama lain dan hidup dalam harmoni," tambahnya seperti dikutip dari Al Jazeera.
Simak video pilihan berikut: